Pelabuhan Tiku: Bandar Lada yang Terlupakan

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Dulu berjaya, kini dilupakan. Begitulah kira-kira nasib Pelabuhan Tiku.

Penulis : Muhamad Destrianto | Penyunting : Sandy Maulana
Gambar 1. Pulau Sumatra (tahun 1706)
Sumber: raremaps.com

Namanya memang kurang populer jika dibandingkan dengan Malaka, Jambi, Palembang, Aceh, Barus, atau Padang. Disebut pun mungkin terasa asing di telinga. Namun jika kamu membaca literatur perdagangan abad pertengahan, khususnya di pesisir barat Sumatra, nama Tiku bakal muncul karena peran pentingnya bagi perekonomian Kerajaan Aceh dan perkembangan dunia maritim di Sumatra Barat. 

Dahulu, banyak orang datang berdagang di Tiku. Namanya sempat masyhur. Pelabuhannya ramai disinggahi pelaut Asia dan Eropa. Melihat peluang itu, Kerajaan Aceh melakukan ekspansi dan menguasai Tiku. Seiring bergulirnya waktu, aktivitas dagang di Tiku merosot. Tiku ditinggalkan dan nasibnya seolah dipinggirkan oleh sejarah karena ditutupi nama besar pelabuhan-pelabuhan lain. 

Pelabuhan Tiku

Pelabuhan Tiku berada di Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Pelabuhan ini memang jarang dikunjungi oleh kapal-kapal dagang besar. Sebabnya, Tiku berada di pesisir barat Sumatra yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia. Angin kencang dan ombak ganas adalah momok yang menunggu para pedagang jika memilih pesisir barat sebagai rute pelayaran mereka. Kalau nekat, nyawa menjadi taruhannya. Inilah alasan utama mengapa rute pesisir barat Sumatra jarang dilewati.

Barulah sekitar abad ke-16, pelabuhan-pelabuhan di pesisir barat Sumatra mulai ramai dikunjungi.  Dalam bukunya yang berjudul Asian Trade And European Influence: In The Indonesian Archipelago Between 1500 And About 1630, Meilink-Roelofsz menyebutkan bahwa terdapat konflik atau aktivitas bajak laut di pesisir timur Sumatra yang membuat resah dan menimbulkan rasa tidak aman bagi para pedagang jika melewati jalur tersebut. Atas kondisi tersebut, para pedagang, khususnya mereka yang berasal dari Asia Barat, memilih berdagang melalui jalur pesisir barat Sumatra—yang sebenarnya sudah mereka kenal karena pernah melakukan kontak dagang di Pelabuhan Barus, Tiku, dan Pariaman.

Ketika Malaka berhasil dikuasai Portugis yang diiringi pula dengan kemunculan kekuatan maritim baru, yakni Kerajaan Aceh, pelabuhan-pelabuhan di pesisir barat, seperti halnya Tiku kembali ramai oleh kegiatan perdagangan. Pada abad ke-16 hingga abad ke-17, Tiku bersama Pariaman masyhur sebagai bandar Lada. Selain itu, pelabuhan Tiku dan Pariaman juga dikenal sebagai penyalur emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau. Terkenalnya Tiku sebagai bandar lada sempat membuat Barus—pelabuhan dagang yang lebih dahulu populer berkat komoditas kapurnya—mengalami penurunan aktivitas, sehingga membuat beberapa produk lokal yang ada di Barus dibawa ke Tiku untuk diperdagangkan (Nayati, 1994).

Pada perkembangan selanjutnya, Pelabuhan Tiku masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh. Semua komoditas yang berasal dari pedalaman Minangkabau, dikumpulkan di pelabuhan Tiku, untuk kemudian dikirim ke Aceh. Karena dianggap memiliki potensi yang cukup besar dan dinilai sangat menguntungkan, Aceh memberi perhatian khusus kepada pelabuhan Tiku dengan menempatkan perwakilannya di sana.

Kontak dengan Bangsa Asing

Bagi bangsa asing yang ingin melakukan perdagangan di pelabuhan Tiku harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Kerajaan Aceh. Para pedagang yang berasal dari Inggris dan Prancis pernah mengajukan izin kepada Kerajaan Aceh untuk berdagang di Tiku. Dalam laporan perjalanan yang ditulis Sir William Foster, pedagang Inggris yang dipimpin oleh Lancaster, telah membuat perjanjian untuk bisa berdagang di wilayah pesisir barat Sumatra. Kemudian, pada tahun 1612, dua rombongan Inggris datang mengunjungi Tiku serta Pariaman (Foster, 1934). Sedangkan pedagang Prancis menyusul lima tahun setelahnya di bawah komando Augustin De Beaulieu (Lombard, 1991).

Jauh sebelum itu, pada tahun 1529, orang-orang Prancis sempat singgah dan berdagang di Tiku. Mereka berada di Tiku dalam rangka melakukan ekspedisi mencari rempah-rempah dan meruntuhkan monopoli perdagangan rempah yang dilakukan oleh Portugis (Nothnagle, 1988). Namun bisa dikatakan ekspedisi ini mengalami kegagalan. Misi perdagangan yang diemban tak berujung sukses. Bahkan, Jean dan Raoul Parmentier, dua pemimpin ekspedisi, meninggal dunia karena terserang penyakit (Nothnagle, 1988). Sumber lain menyebut Parmentier bersaudara dibunuh oleh orang Minangkabau di Tiku (Reid, 2010: 65).

Gambar 2 . Peta Pusat dan Jalur Pelayaran Abad XVI-XVII
Sumber: Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia



Lain halnya dengan nasib para pedagang Asia Barat yang mendapatkan perlakuan khusus. Oleh Kerajaan Aceh, mereka dikenakan pajak rendah. Beberapa pedagang bahkan tidak dikenai pajak ketika melakukan kontak dagang di rute pesisir barat Sumatra, termasuk Tiku. Hal tersebut dikarenakan para pedagang ini merupakan sekutu dari Kerajaan Aceh dan juga merupakan pedagang muslim. Keberadaan mereka pula yang mengakibatkan Kerajaan Aceh ditempatkan dalam jalur perdagangan lada di dunia Islam. Sebagai tempat hilir mudiknya pedagang muslim, Pelabuhan Tiku menjadi salah satu gerbang masuk dan berkembangnya ajaran Islam di wilayah Minangkabau.

Wajah Pelabuhan Tiku Hari ini

Sejalan dengan berkembangnya teknologi, bergesernya komoditas, dan punahnya hasil hutan, membuat beberapa pelabuhan di pesisir barat Sumatra, seperti Barus, Tiku, Muaro Padang, dan Pariaman menjadi limbung dan ditinggalkan (Pradjoko & Utomo, 2013). Memudarnya kekuasaan Aceh di pesisir barat Sumatra dan perubahan kondisi alam juga merupakan dua faktor lain yang menyebabkan aktivitas di Pelabuhan Tiku surut (Nur, 2014).

Keadaan itu diperparah dengan kebijakan Belanda yang menjadikan Padang sebagai pos dagang terpenting di pesisir barat Sumatra. Belanda merasa Padang lebih potensial dari segi ekonomi dan dinilai strategis untuk langkah sosial politik yang dibuat oleh Belanda. Nama Tiku pun makin tenggelam.

Hari-hari ini, Pelabuhan Tiku dimanfaatkan sebagai tempat bersandarnya kapal nelayan dan menjadi bandar ikan. Jejak-jejak kejayaan masa lalunya sudah sulit ditemukan. Yang tersisa hanya cerita bila dahulu pelabuhan ini adalah tempat orang-orang mencari dan berdagang lada (Bahar, 2009). Banyak orang yang telah melupakan Tiku. Ditambah dengan sedikitnya literatur yang membahas pelabuhan ini. Tulisan ini adalah pengingat kompleksitas perdagangan bahari Nusantara dari sudut pandang Tiku, bandar lada yang dahulu kondang.

Referensi :

Bahar, Yusfa Hendra dan Fauzan Amril. 2009. “Peninggalan Maritim Pantai Sumatera Barat”, Amoghapasa ed. 13 Thn XV. Batusangkar: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar.

Foster, Sir William, C.I.E (ed.). 1934. The Voyage of Thomas Best to the East Indies 1613-14. London: Hakluyt Society.

Lombard, Denys. 2008. Kerajaan Aceh, Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Meilink-Roelofsz, M. A. P., 1962. Asian Trade And European Influence: In The Indonesian Archipelago Between 1500 And About 1630.  The Hague: Martinus Nijhoff.

Nayati, Widya. 1994. “The Archaeology of Trading Sites In The Indonesian Archipelago in The Sixteenth And Seventeenth Centuries: Possibilities And Limitations Of The Evidence.” Tesis. Australia: Australian National University.

Nur, Mhd. 2014. “Bandar Tiku di Bagian Barat Sumatra: Kejayaan Ekonomi yang Telah Hilang”, Analisis Sejarah, Volume 4, No. 2, hlm. 16-34.

Nothnagle, John. 1988. “Two Early French Voyages to Sumatra” The Sixteenth Century Journal, Vol. 19, No. 1. USA: Truman State University

Pradjoko, Didik dan Utomo, Bambang Budi. 2013. Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah Di Indonesia. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Reid, Anthony. 2010. Sumatera Tempoe Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu.

Tentang Penulis

Muhamad Destrianto
Suka laut tapi gampang kedinginan. Suka berkhayal tapi sukar menerima kenyataan. Seperti saat ini yang masih berharap dan bermimpi, suatu saat Juventus akan memenangkan Liga Champions.








Leave a comment