Makna Fisis Hisab Posisi Hilal dan Kriteria Imkan Rukyat


T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi Astrofisika, LAPAN

Anggota Tim Falakiyah, Kementerian Agama RI

Data hisab posisi hilal pada hari rukyat 23 April 2020 untuk wilayah Jakarta.

Menjelang awal Ramadhan, Syawal, dan Idul Fitri posisi bulan selalu menjadi perhatian para peminat ilmu falak atau astronomi terkait penentuan awal puasa dan hari raya. Metode hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan) pun banyak diperbincangkan. Saat ini hisab dan rukyat sudah dianggap setara. Hisab bisa membantu rukyat dan rukyat bisa mengkonfirmasikan hasil hisab. Namun, kadang banyak yang tidak faham dengan makna fisis data-data hisab, seolah dengan menghitung dan diperoleh data posisi hilal, selesailah penentuan awal Ramadhan, Syawal, atau Dzulhijjah. Padahal untuk sampai menyimpulkan awal Ramadhan, Syawal, atau Dzulhijjah kita masih perlu menggunakan kriteria yang disepakati.  Bagi pengamal rukyat, perlu juga memahami makna data tersebut untuk memahami kondisi hilal yang akan dirukyat.

Dua parameter pokok yang perlu diperhatikan dari data hisab adalah tinggi bulan dan elogasi (jarak sudut bulan-matahari) pada saat matahari terbenam (maghrib). Tinggi bulan terkait dengan faktor gangguan cahaya senja (cahaya syafak). Semakin rendah posisi bulan artinya gangguan cahaya syafak semakin kuat akibat hamburan cahaya matahari oleh atmosfer. Elongasi terkait dengan tebalnya sabit bulan (hilal, crescent). Semakin dekat dengan matahari, hilal akan semakin tipis. Keberhasilan rukyat bergantung pada kontras antara kuat cahaya hilal yang sangat tipis dengan gangguan cahaya syafak. Itu sebabnya pada kriteria ada batas minimal ketinggian dan elongasi bulan agar hilal dapat terlihat dan awal bulan bisa ditentukan.

Kita ambil contoh data hisab awal Ramadhan 1441 yang dihitung dan diamati pada 23 April 2020 (gambar di atas). Di wilayah barat Indonesia tinggi bulan sekitar 3 derajat dan elongasi sekitar 5 derajat. Apa makna fisisnya? Data astronomi menyatakan rekor rukyat yang datanya dianggap sahih tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Jadi tinggi bulan sekitar 3 derajat bermakna bulan berada pada batas cahaya syafak yang umumnya mulai agak redup. Tetapi elongasi sekitar 5 derajat bermakna sabit hilal sangat tipis, lebih tipis daripada rekor pengamatan hilal. Jadi sangat mungkin sabit hilal yang sangat tipis itu tidak bisa mengalahkan cahaya syafak atau tidak mungkin dirukyat di Indonesia.

Pada saat sidang itsbat (penetapan) awal Ramadahan 1441 dilaporkan bahwa hasil rukyat pada saat maghrib 23 April 2020 dari sekitar 80-an lokasi pengamatan umumnya menyatakan hilal tidak terlihat, kecuali 3 lokasi yang melaporkan melihat hilal. Itu pun hanya enam saksi yang melihat dengan mata telanjang tanpa alat. Sedangkan tim pengamat yang menggunakan teleskop dan kamera tak satu pun yang berhasil merekam hilal. Lalu hilal apa yang dilihat para perukyat tersebut? Saya menyebutnya itu  “hilal syar’i”, yaitu hilal yang secara syar’i (hukum Islam) sah menjadi dasar keputusan sidang itsbat karena semua saksi sudah disumpah oleh hakim Pengadilan Agama. Tentang hilal fisisnya perlu dibahas berdasarkan data astronomi.

Untuk memberi gambaran hilal fisis kebetulan ada laporan rukyat dari kota As-Suwayriqiyah, Arab Saudi disertai dengan hasil foto yang diperoleh dengan teleskop dan kemera CCD (kamera elektronik) dari situs ICOP (International Crescent Observation Project). Pengamat mengikuti posisi bulan sejak siang hari dengan menggunakan teleskop, kamera CCD, dan filter inframerah (IR) untuk menyerap cahaya biru langit. Dan alhamdulillah berhasil juga direkam pasca maghrib saat bulan berada pada ketinggian sekitar 4 derajat dan elongasi sekitar 6 derajat. Artinya, cahaya hilal mulai agak tebal sehingga cukup untuk mengalah cahaya syafak yang lebih redup. Inilah laporan di situs ICOP tersebut.

Citra sabit bulan siang hari dipotret pukul 13.34 Waktu Arab Saudi. Gangguan cahaya biru langit diserap dengan filter inframerah (IR). Citra diperoleh setelah menumpuk 42 gambar.

Hilal yang sangat tipis di ufuk barat harus mengalahkan cahaya syafak. Hilal tidak terlihat secara visual, maka digunakan teleskop yang sudah terprogram untuk mengarahkan ke posisi bulan.

Hilal awal Ramadhan 1441 berhasil direkam 13 menit setelah matahari terbenam. Citra hilal diperoleh dengan penumpukan 84 gambar.

Kalau kita perhatikan, citra hilal tersebut sangat-sangat tipis. Itu pun diperoleh setelah penumpukan 84 gambar. Bisa kita bayangkan citra pada satu gambar redupnya kira-kira 1/84 kalinya. Sehingga hilal tersebut sangat tidak mungkin terlihat secara kasat mata. Secara astronomi, kita boleh meragukan kesaksian hilal di Indonesia, walau secara hukum kita sah menggunakannya untuk penetapan awal Ramadhan jatuh pada 24 April 2020.

Lalu bagaimana kita memaknai kriteria awal bulan, khususnya kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal)? Kriteria adalah batasan untuk menetapkan masuk atau tidaknya posisi bulan sebagai pertanda awal bulan. Di Indonesia saat ini ada dua kriteria utama: kriteria Wujudul Hilal (tinggi bulan sekitar 0 derajat, digunakan Muhammadiyah) dan kriteria tinggi minimal 2 derajat (digunakan NU dan beberapa ormas lainnya serta Taqwim Standar Pemerintah). Dengan kriteria tersebut ada potensi seragam awal Ramadhan 1441, karena tinggi bulan sudah di atas 2 derajat. Namun kita juga bisa melihat kriteria imkan rukyat berbasis data astronomi untuk melihat potensi awal bulan secara global. Misalnya kriteria Odeh dan kriteria Rekomendasi Jakarta 2017.

Kriteria Odeh adalah kriteria yang bersifat optimistik. Artinya, bila memenuhi kriteria Odeh hampir pasti hilal terlihat kalau cuaca cerah. Berdasar kriteria Odeh pada saat maghrib 23 April 2020 hilal tidak mungkin teramati di Arab Saudi, walau pun menggunakan alat bantu optik. Nyatanya, ada pengamat di Arab Saudi yang berhasil memotretnya seperti diulas di atas. Sedangkan kriteria “Rekomendasi Jakarta 2017” memprakirakan di Arab Saudi ada peluang hilal teramati. Itu terbukti dengan hasil pengamatan hilal awal Ramadhan tersebut di atas. Kriteria “Rekomendasi Jakarta 2017” memang merupakan kriteria yang bersifat optimalistik, yaitu berdasarkan nilai minimum data tinggi dan elongasi bulan.

Kriteria Odeh memprakirakan pada saat maghrib 23 April 2020 hilal baru teramati di sebagian besar benua Afrika dan Amerika. Di Arab Saudi hilal belum bisa teramati walau menggunakan alat bantu optik.

Kriteria “Rekomendasi Jakarta 2017” memprakirakan pada saat maghrib 23 April 2020 hilal akan teramati di sebagian besar benua Afrika dan Amerika serta Arab Saudi dan sebagian Eropa.

3 Tanggapan

  1. “Secara astronomi, kita boleh meragukan kesaksian hilal di Indonesia, walau secara hukum kita sah menggunakannya untuk penetapan awal Ramadhan jatuh pada 24 April 2020.”
    Mohon maaf Prof., bila secara astronomi kesaksian hilal di Indonesia kemarin dapat diragukan, harusnya kesaksian tsb ditolak krn secara astronomi hilal mustahil utk dapat dirukyat. Tapi menurut saya, kesaksiannya diterima karena Kemenag masih menggunakan kriteria MABIMS, bukan kriteria Rekomendasi Jakarta 2017. Saya pikir LAPAN perlu gencar menyosialisasikan rekomendasi tersebut, jgn seperti kriteria LAPAN 2010 yg masih belum bisa membuat Kemenag berpaling dari kriteria MABIMS.

    • Implementasi kriteria memerlukan kesepakatan. Itu yang terus diupayakan. Sementara kita gunakan kesepakatan kriteria yang ada, walau belum sempurna, agar Pemerintah punya pedoman dalam penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Selangkah lagi insya-a Llah kita bisa mewujudkan kriteria baru yang disepakati.

  2. […] Kriteria RJ2017 teruji pada kondisi hilal di dekat perbatasan kriteria (tinggi hilal saat itu sekitar 4 derajat, elongasi sekitar 6 derajat). Hil…. […]

Tinggalkan komentar