Buah dan Perang

Judul Soegija itu hanya synecdoche, hal kecil yang seharusnya membawa kita ke dunia yang lebih besar, Hindia Belanda/Indonesia pada masa Perang Dunia 2 dan setelahnya. Mirip dengan judul “Rambo”, misalnya, nama/judul simpel yang membawa kita ke dunia perang dingin/dekolonisasi/rekolonisasi yang ruwet. (Btw, sekilas Rambo dan Soegija sama2 org Jawa yang namanya cuma satu, Rambo, Sugiyo. Tapi nama2 itu pun sebenarnya synecdoche dari nama panjang mereka John Rambo dan Albertus Soegijapranata :)).

 

Kenapa Garin menggunakan nama Soegija, bukan “Pak Besut” (sosok historis, penyiar RRI legendaris) atau “Koster Toegimin” (sosok mungkin fiktif, pembantu Soegija) sebagai synecdoche buat masa peralihan dari jaman kolonial ke jaman merdeka ini? Mungkin untuk menyorot peran pejuang sipil non-kolaborasionis yang saat itu/selama ini dalam historiografi Indonesia jadi pelanduk di tengah2 perebutan/persaingan kekuasaan antara gajah2 Tentara Rakyat Indonesia, dgn hero mereka Jendral Soedirman, vs pejuang2 sipil borjuis kolaborasionis macam Soekarno-Hatta.

 

Sepertinya Garin ingin bercerita tentang pejuang yang “tanpa pamrih” (“layan, layan, jangan layani saya,” perintah Soegija kepada altar boysnya supaya membantu pengungsi dulu sebelum membantu dia), atau ingin membayangkan bahwa pejuang macam itu memang ada. *putus asa* *makan srikaya*

 

Padahal sebenarnya kan semua langkah2 diplomatis Soegija yang sepertinya tanpa pamrih mendukung rikiblik yang masih bayi (eg, mendatangkan perwakilan Vatikan ke Gedung Agung Jogja untuk menyatakan dukungannya buat proklamasi Indonesia–Vatikan jd negara Eropa yang pertama yang melakukan ini) bisa juga diinterpretasikan sebagai langkah politik ciamik untuk memperkuat posisi gereja Katolik dalam Republik Indonesia yang akan datang. Pada saat itu kan semua orang kasak-kusuk melakukan hal yang sama–ke-Daerah Istimewa-an Yogyakarta bisa juga diinterpretasikan sebagai hasil lobi kuat dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai penguasa Ngayogyokarto Hadiningrat kepada penguasa2 kartel baru Republik Indonesia.

 

Lebih tanpa pamrih mana misalnya, Soegija (sosok priyayi Jawa (keluarganya abdi dalem Kasunanan Surakarta Hadiningrat), berpendidikan, bernetwork luas) atau karakter child soldier buta huruf yg “isone gelut” itu? Apa mungkin Garin berpendapat bahwa semakin privileged kita, semakin banyak kepentingan kita dan semakin sulit untuk berjuang tanpa pamrih? (Ingat pemuda isone gelut itu mengeluh kepada seorang pemuda melek huruf yg sedang mengumpulkan coin-a-chance kemerdekaan: “wong pinter kok njaluki duwit rakyat.”)

 

*makan srikaya*

 

Dan film ini kayaknya juga berhubungan erat dengan tema “agama yang membutakan (ke)manusia(an)” yg lebih dulu digali Garin di Mata Tertutup. Kali ini Garin lebih idealistik, membayangkan/bermimpi tentang agama yang membuka mata.

 

Soegija memang tidak pernah dimaksudkan sebagai sebuah biopic. Sejak kapan kita percaya judul film sesuai dengan isinya? Oya, sejak Mr Bean Kesurupan Depe tentunya :P. Berkah dalem.

 

Leave a comment