The Ugly Truth

Beberapa waktu lalu, mungkin karena terpikat dengan lemon cake buatan seorang teman dekat yang rasanya manis, segar dan memanjakan mulut, aku memutar film komedi romantis yang, buatku, rasanya seperti lemon cake. Jari telunjukku memilih “The Ugly Truth”.

Film yang dirilis 11 tahun lalu ini menceritakan mengenai seorang produser TV yang perfeksionis plus menginginkan sosok lelaki sempurna (Abby) dan pembawa acara TV yang mengungkapkan soal keinginan lelaki terhadap perempuan itu hanya berdasarkan seks (Mike Chadway). Awalnya mereka terlibat satu pertengkaran, tapi akhirnya Mike membantu Abby untuk mendapatkan sosok lelaki impiannya dengan tips ala Mike, demi karirnya.

Mike mendikte Abby untuk melakukan hal yang disuka lelaki seperti banyak tertawa walaupun tidak lucu – karena lelaki suka perempuan yang ceria, memanjangkan rambut agar tampak lebih feminin – supaya bisa ditarik juga, dan menyetujui apa yang dikatakan seorang lelaki – walaupun Abby tidak setuju dengan perkataan tersebut. Ugly truth! Menyebalkan, tapi betul.

Abby pun mengikuti rules yang diberikan Mike. Dan, sosok lelaki impian Abby akhirnya tertarik dengan “Abby versi Mike”, bukan Abby yang sesungguhnya. Ujung cerita, tentu dapat ditebak, Abby-Mike jatuh cinta dan menjadi pasangan.

Baru-baru ini, aku mengalami hal yang serupa dengan hasil yang berbeda tentunya. Memberikan masukan ke seorang lelaki mengenai perempuan dan hubungan dia dengan perempuan tersebut berdasarkan pengetahuanku mengenai perempuan dan pengalaman-pengalamanku. (Maaf, terlalu banyak kata perempuan). “Truth bombs and wise words,” katanya saat aku sebut “red flags” soal perempuan itu yang menelepon dia saat butuh dan menolak ajakannya saat dia ingin bersama perempuan itu, serta “make yourself happy first” soal dia yang selalu memprioritaskan urusan pacarnya yang dulu ketimbang dirinya.

Sebetulnya, menyenangkan banget rasanya ketika bisa sharing hal yang kita pahami ke seseorang agar orang tersebut tidak merasakan perih seperti yang pernah kita rasakan. Tapi, ketika ada rasa tertarik, sepertinya agak aneh kalau dilanjutkan. Sementara dia mabuk kepayang dengan perempuan lain dan kita hanya bisa mendengarkan dia yang bersemangat bercerita tentang perempuan itu. Dan aku ungkapkan itu. Dia bilang, “we just want the best for someone we care about”. Mungkin.

Apapun itu, mungkin juga waktunya tidak tepat dan hal itu dilontarkan oleh teman dekat yang mengenalkan kami, “you just came not in the right time.”

Mungkin, buatku, momennya memang tidak tepat. Tapi, mungkin, buat dia, aku hadir di saat yang tepat. Di saat dia membutuhkan dukungan untuk menepis rasa takutnya dan mengikuti perasaannya. Well, the truth is never pretty.

Leave a comment