Sore kemarin, kita bermain tebakan demi membunuh terang menuju malam. 

“Aku tebak, tempat kesukaanmu adalah pantai!” Semangat pada kalimatmu tidak dapat disembunyikan. Kamu merasa menang.

“Hmmmmm….Pantai bisa jadi, tapi bukan yang utama. Kenapa bisa berpikir begitu?”

“Lho bukannya suara ombak menenangkanmu lebih dari apapun?” Cepat kamu menyela.

“Ya, suaranya yang gagah itu mampu melemahkan suara dalam kepalaku, suara ombak seperti menjelma Tuan Penggembala yang menjinakkan binatang liar.” 

Kamu terganggu dengan jawabanku karena kemenanganmu terusik. Tetapi buat menyerah, ah itu sama sekali bukan tabiatmu. “Tunggu tunggu, kalau bukan pantai lalu apa? Di gunung? Di ketinggian saat semua yang kamu lihat, jadi tampak lebih kecil dan kamu lebih dekat dengan langit, dengan Nya?”

“Itu juga suka! Tapi belum, belum menjadi kesukaan yang paling nomor satu. Kamu mau menyerah nih?” Aku meledek.

“Di sampingku? Haha. Kamu ini! Main tebak-tebakan kok malah gombal.”

Pipimu merah bersemu. Di saat yang bersamaan langit menyuguhkan semburat merah tanpa malu. Jangan-jangan manusia dan langit bersaudara? Jangan-jangan saat matahari terbenam, langit juga sedang malu?

“Aku tidak siap meruntuhkan imajinasimu, tapi maaf ya tebakanmu masih meleset.” 

“Eh tapi… bukan berarti di sampingmu aku tidak senang. Hanya saja bukan itu kesukaanku nomor satu,” cepat aku mengoreksi sebelum permainan tebakan ini menjadi perdebatan panjang tentang kita berdua. 

Kamu mulai mengancam, “Jadi apa dong? Kamu jangan mengelak cuma supaya aku kalah ya. Nanti aku gelitikin sampai mual.” 

“Jendela.”

“Hah? Jendela? Jendela tempat burung kakak tua hinggap?” Kamu merujuk pada lagu anak tersohor itu. 

“Jendela tempat nenek kehilangan gigi hahaha!”

Kita berdua tertawa sampai burung camar yang tadinya mengitari terbang terbirit saking kagetnya.

“Jendela yang ku maksud adalah jendela yang berjalan.” 

Kamu terdiam sebentar berusaha mencerna kalimatku barusan. Wajahmu kalau sedang bingung, lucu juga ya. Tapi jangan bingung terus, kamu tidak harus selalu bingung untuk jadi lucu kok.

“Begini. Tempat kesukaanku adalah di samping jendela saat aku sedang bergerak. Jendela mobil, jendela kereta api, jendela pesawat terbang. Aku bisa berdiam di sana sangat lama, mengamati hal yang terjadi di luar, mencernanya dengan segenap perhatianku tanpa mengintervensi.”

“Tunggu sebentar. Kalau di pantai atau di gunung misalnya, kamu juga bisa mengamati sekitarmu, kan? Apa bedanya dengan jendela?” Kamu masih belum terima.

“Iya, pengamatan sejatinya bisa dilakukan di mana saja. Bahkan dari tempat paling terbuka sekalipun. Tetapi ketika aku berdiam di sana dalam waktu yang lama, aku bukan lagi pengamat. Aku bagian dari fenomena yang terlibat di ruang dan waktu yang sama. Tidak ada keterpisahan. Saat aku mengitar dari balik jendela yang terus bergerak, aku seperti berada di ruang hampa yang tidak terhubung sebab dimensi ruangnya tidak sama meskipun ada dalam satu linear waktu.” Aku mengintip ke dahimu. Kerutnya lambat laun mengendur seakan kamu mulai mengerti.

Kamu masih bertanya, “Apa pentingnya tidak mengintervensi?”

“Pertanyaan bagus. Kamu harus janji untuk traktir aku martabak coklat kacang biar ku jawab. Deal?”

“Martabak bukan masalah. Deal. Cepat aku mau tahu jawabannya.” Kamu mendesak.

“Setiap waktu, spesies kita berevolusi untuk memanipulasi situasi, mengintervensi sampai titik paling maksimal hanya untuk membuat kita hidup lebih nyaman di besok harinya. Tidak mengintervensi seperti memberi ruang agar segalanya bergerak dengan organik. Aku seperti mundur beberapa langkah, tapi tidak benar-benar mundur karena aku tidak benar-benar pergi. Pada jarak yang paling sehat itulah, kita bisa melihat dan merasakan segala sesuatu bergerak dan berubah sebagaimana mestinya bukan sebagaimana maunya kita. Meski yang terjadi tidak selalu benar menurut kita atau hati nurani kita, tapi di momen itu tugas kita hanya mengamati. Tidak lebih dan tidak abai. That’s just the way it is, Tupac Shakur said.”

Aku menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi.

“Kepasrahan.” Kamu bergumam.

Exactly. Ada keindahan dalam kepasrahan. Itu yang aku temukan dari balik jendela bergerak.”

Kita lalu melempar pandang pada matahari yang tinggal seperempat diri. Ia seperti berpamitan sebelum beberapa detik setelahnya menghilang di balik garis laut. Awan, matahari, dan semua yang ada di kerajaan langit bergerak tanpa kehendak. Satu yang membuat mereka tidak pernah terlambat untuk bangun di pagi hari dan pergi saat petang adalah kepatuhan pada pasrah. 

Sekarang aku menengok ke wajahmu. Aku memang tidak pernah mengatakan tentang perasaanku padamu atau kemana kita membawa hubungan ini. Tetapi melihat dalam matamu kali ini, aku meraba ujung jalan kita dan aku mau ke sana.

“Ngomong-ngomong, naga di perut tidak pasrah dan sudah meronta-ronta minta diberi makan.”

“Hahaha yuk, saatnya kita berburu martabak!” 

Kamu menggandeng tanganku dan kita berlalu. Menyisakan jejak langkah dua kaki di atas pasir putih. Juga kepiting yang sedari tadi mengintip dan curi dengar dari lubang kecilnya. Kepiting, kamu sedang berada di tempat kesukaan!

Jimbaran, 22 Nov 2020

Image: Private Doc.

Leave a comment

Trending