Negeri Seribu Misteri

murdermysterymadness.com

Oleh Kurnia JR

Negeri ini tak ubahnya ruang tanpa jendela. Salah satu dindingnya adalah kaca satu arah: dari dalam layaknya cermin, dari luar kaca tembus pandang. Melalui kaca itu, mereka yang ada di luar dapat mengamati kita yang menghuni ruang ini.

Orang yang prihatin meyakini mereka yang ada di balik dinding kaca tersebut adalah penguasa sesungguhnya republik ini. Para pemimpin yang bersama kita di dalam kamar adalah boneka-boneka yang nyaris tanpa otoritas menangani berbagai masalah kebangsaan dan kenegaraan.

Para pemimpin politik ataupun aparat hukum bekerja hanya pada urusan-urusan rutin. Perkara-perkara besar yang krusial malah dilewatkan. Rakyat terpaksa hanya menelan kekecewaan. Kaum intelektual pun sekadar berdiskusi tanpa henti sebab secara intuitif menyadari bahwa, pada hakikatnya, keputusan dan kendali tidak di tangan mereka yang kita pilih dalam seremoni lima tahunan. Sekelompok orang yang duduk di Dewan selaku wakil rakyat justru kerap terjerat skandal.

Ruang ini menyesakkan: sarat pertanyaan tanpa jawaban. Tidak ada pemimpin yang tergerak memecahkan kebekuan dan kebuntuan situasi. Sejumlah kasus besar meledak dan berlalu di tengah berbagai slogan dan janji pemerintah. Desakan media massa dan masyarakat tak membuahkan hasil. Pemerintah dan anggota parlemen seperti bersekutu menghadapi rakyat.

Periode lima tahunan bagi pemerintah berlangsung bagai jet peluncur. Mereka melesat sambil mengocok jantung sebagai sport belaka. Apa yang terjadi di bilik- bilik pucuk pimpinan, pejabat- pejabat lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, beserta aparat penegak hukum, yakni para jenderal polisi, jaksa, dan hakim dalam lima tahun itu? Hanya yang bersangkutan, dan Tuhan, yang tahu. Manakala waktu telah habis dan pemilihan umum digelar kembali, suasana yang muncul tetap sama. Rakyat menjadi komoditas politik dan korban ambisi-ambisi hedonistis.

Segala hal seakan-akan berjalan lancar di jalur yang benar. Sejak Orde Baru tumbang, tidak ada koreksi sejarah yang dilakukan sungguh-sungguh atas inisiatif ”pemerintah reformasi”. Pun tiada koreksi mendasar terhadap lembaga-lembaga strategis, termasuk dalam hal pelaksanaan undang-undang yang strategis.

Nyaris tidak ada kebaruan jika dibandingkan periode-periode sebelumnya. Kebocoran anggaran justru kian deras dan kentara. Jurang laju pembangunan di perkotaan dan daerah-daerah tertinggal tetap menganga. Apalagi di kawasan-kawasan perbatasan yang kian rawan dalam intaian negara-negara jiran. Padahal, pemerintah memiliki menteri- menteri yang khusus mengurusi bidang-bidang tersebut.

Tak syak lagi, hati kecil kita digoyahkan keraguan: apakah pemerintah benar-benar memiliki apa yang disebut ”otoritas”, dan inisiatif? Sangat kuat kesan bahwa mereka lembam dan seperti trance—tetapi, siapakah yang menghipnosis mereka?

Dibiarkan jadi misteri

Persis praktik rezim Orde Baru, konflik warga dengan perusahaan tambang masih ditangani aparat keamanan. Padahal, masalahnya tak sekadar ekonomi rakyat. Di sana ada aspek adat, tradisi, dan tertib sosial yang harus dihormati.

Tiga hari selepas Idul Fitri seorang warga sipil tewas tertembak ketika bentrok dengan polisi di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Kasus anak-anak meninggal akibat gizi buruk juga tak ditanggulangi dengan program berskala nasional. Seakan-akan tragedi demi tragedi hendak dibiarkan lindap menjadi misteri di benak anak-cucu kelak.

Polisi, jaksa, dan hakim sukses menjebloskan teroris ke sel atau ke depan regu tembak, tetapi negara bungkam seribu bahasa atas banyak kasus besar warisan rezim Orde Baru: tragedi pembantaian pasca-Gerakan 30 September 1965, represi terhadap rakyat di Aceh dan Papua, kejahatan ekonomi dan lingkungan di Sumatera dan pulau-pulau lain akibat hak pengusahaan hutan yang dimanfaatkan dengan cara sewenang-wenang.

Belum lagi proyek perkebunan, tambak udang, dan lain-lain yang menghancurkan lingkungan sehingga rontok tata kehidupan budaya dan ekonomi masyarakat adat. Penindasan gerakan emansipasi sosial berbasis agama pun ada dalam ingatan kolektif. Pada akhir masa rezim Soeharto meledak kasus pembantaian bertendensi rasial. Tak satu pun dituntaskan di pengadilan.

Bagai dihantui arwah Orde Baru yang bergentayangan menebar kutukan, pemerintah enggan menyentuh semua kasus gelap dari masa lalu. Daftar misteri malah ditambah dengan pembiaran perkara pembunuhan Munir, kasus Bank Century, mafia hukum, mafia pajak, mafia anggaran, dan ”peradilan sesat” Antasari Azhar. Entah apa yang bakal terjadi dengan perkara surat palsu di Mahkamah Konstitusi dan kasus suap M Nazaruddin serta dua pejabat di Kemnakertrans.

Para petinggi negara tampak kikuk, menghindari semua perkara yang berantai ke figur-figur penting. Akibatnya berkembang desas-desus tentang aktor di balik semua misteri. Kita pun hanya bisa menebak-nebak sosok-sosok di balik cermin dan apa yang mereka lakukan terhadap para pembesar sehingga tak berkutik.

Di negeri seribu misteri, sukar untuk menyangsikan bahwa para pemegang kendali kekuasaan di belakang cermin bukanlah sosok-sosok hipotetis. Mereka adalah alter ego pemilik modal dan kuasa politik. Mereka menyandera negara ini dan menjegal setiap ikhtiar reformasi.

Kurnia JR Sastrawan

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.