Never Will

“Ah, selamat datang kembali. Bagaimana kabarmu?”

Seokjin meletakkan tas duffle yang sebelumnya menggantung pada pundaknya di atas lantai. Ia meregangkan tubuh untuk menghilangkan pegal akibat perjalanan jauh menuju camp musim panas di mana ia berada saat ini. Senyum tipis di wajahnya tersungging seraya menjawab, “Cukup baik. Kau sendiri?”

Berdiri di satu sisi tempat tidur dan tampak sibuk mengeluarkan pakaian dari dalam tasnya, Kim Namjoon mengangkat bahu ringan. “Seperti yang kau lihat, masih hidup dan bernapas,” canda teman sekamarnya tanpa beban.

Tahun ini adalah tahun keempat ia menghadiri camp musim panas yang sama—orang tuanya selalu mengatakan bahwa camp musim panas adalah jawaban tepat untuk melatih kemandirian juga mendapat lebih banyak teman. Seokjin tidak akan pernah memberi tahu bahwa selama ini ia tidak pernah bertukar nomor telepon dan menjalin pertemanan di luar camp dengan siapa pun yang berkenalan dengannya di sana.

Termasuk Namjoon, teman satu kamarnya empat tahun belakangan.

“Aku akan memastikan kau memberikan nomor teleponmu sebelum camp tahun ini berakhir,” ucap Namjoon dengan nada putus asa. “Ini tahun terakhir kita. Aku tidak mau kita berpisah tanpa memiliki cara untuk menghubungi satu sama lain selamanya.”

Tertawa menanggapi perkataan Namjoon, Seokjin ikut mulai membereskan barang bawaannya. Ia hanya perlu bertahan selama satu bulan di sini, sama seperti tiga tahun sebelumnya. Yang berbeda hanyalah kali ini ia harus mencari cara lebih cerdik untuk mengelak memberikan kontaknya pada semua teman yang dikenalnya di camp, karena sama seperti Namjoon, anak-anak lain pasti akan menuntut hal sama.

Selama ini, ia berhasil menghindari permintaan untuk bertukar kontak dengan berbagai alasan. Tidak menghafal nomor telepon, tidak memiliki media sosial, bahkan mengaku kehilangan catatan nomor kontak yang diberikan oleh teman-temannya—beruntung mereka tidak diperbolehkan membawa telepon genggam. Entah alasan apa yang harus ia berikan tahun ini, tapi ia pasti akan menemukannya.

Sayangnya Namjoon terlalu cerdas untuk tidak menyadari bahwa alasan-alasan yang ia berikan adalah rekayasa. “Aku tidak tahu apa masalahmu dengan anak-anak di camp ini sehingga kau menolak untuk menjaga komunikasi dengan semua orang,” pemuda yang lebih tinggi tersenyum masam. “Tapi kami temanmu, Seokjin. Setidaknya aku tahu aku temanmu. Benar ‘kan?”

Senyum di bibir Seokjin diulas dengan terpaksa. Namjoon tidak menyadarinya karena telah kembali sibuk mencari handuk yang kemungkinan besar lupa ia bawa dari rumah.

Melirik ke luar jendela, ia mendapati wajah-wajah familiar tengah bertukar sapa dan tertawa bersama. Mungkin suatu hari nanti ia akan merindukan suasana camp musim panas yang menjadi bagian besar masa remajanya ini, namun Seokjin tahu lebih baik dari siapa pun bahwa tempat istirahat memori adalah jauh di dasar lubuk hati.

Sepasang matanya menemukan satu sosok yang duduk di atas sebuah meja batu kecil—tertawa lepas hingga mata sipitnya tersisa segaris. Anak-anak camp lain mengelilinginya dan melontarkan candaan yang tidak dapat Seokjin tangkap, mereka semua telihat begitu akrab dan bahagia.

Sebelum iris mereka sempat menemukan milik satu sama lain, ia membuang wajah dengan gesit. Tangannya kembali bekerja merapikan barang bawaan ke dalam lemari agar dapat segera keluar dari kabin dan menghirup udara segar sore hari.

Kim Seokjin tidak butuh teman. Teman adalah sebuah titel sementara.

Semua orang akan pergi, tanpa terkecuali—sahabat hanyalah bualan bagi mereka yang diberi kesempatan untuk menyadari.

Setelah selesai merapikan semua barang yang ia bawa untuk keperluan camp selama sebulan ke depan, Seokjin menyapa teman-teman satu kabinnya sebelum mempersilakan diri menikmati pemandangan di sekitar area perkemahan. Untung saja camp musim panas ini tidak benar-benar mengharuskan mereka membangun tenda dan tidur bersempit-sempitan.

Ia berjalan seorang diri menjauhi area kabin, masuk lebih jauh ke dalam hutan untuk menikmati alam yang tidak dapat ditemui di kota besar. Suara burung berkicau sesekali terdengar, diikuti suara gesekan ranting akibat angin berhembus kencang.

Seokjin menghentikan langkah ketika ia mendengar suara asing di belakangnya, dengan cekatan memutar tubuh dan anehnya tidak mendapati siapa pun sejauh mata memandang.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Pertanyaan yang terdengar dari atas pohon itu mengundangnya untuk menengadah, lalu menemukan sosok yang sama dengan pemilik tawa beberapa jam lalu di luar jendela kabin kamarnya.

Park Jimin duduk di atas sebuah batang pohon besar—tidak terlalu tinggi, namun jelas tetap membutuhkan usaha ekstra untuk mencapai posisi di mana lelaki itu berada. Ia memandang wajah penasaran itu dengan pandangan sama bertanya, kau sendiri apa yang kau lakukan di atas sana?

Tapi Seokjin menyimpan pertanyaannya di dalam otak, menolak untuk membangun obrolan dan memutuskan untuk mengabaikan eksistensi Jimin dengan membalikkan badan.

“Itu bukan arah kembali ke kawasan kabin,” ujar Jimin dengan suara lantang, seolah takut Seokjin tidak mendengar apa yang ia katakan dengan jarak di antara mereka. “Kau mau ke mana?”

… Seokjin, aku tidak akan ke mana-mana.

Memejamkan mata, Seokjin menahan diri untuk bersikap jauh lebih tidak sopan dengan kembali tidak mengindahkan lawan bicaranya. “Ke mana pun aku pergi, itu bukan urusanmu.”

Jawaban yang ia berikan tidak dapat disebut ramah, namun ia membela diri bahwa jawaban itu lebih baik daripada kembali menutup mulut rapat. Seokjin mulai mengambil langkah, masuk lebih jauh ke dalam hutan dengan rasa percaya diri bahwa ia tidak akan tersesat.

“Hujan akan segera turun,” suara Jimin kembali terdengar. “Kusarankan kau segera kembali ke kabin jika tidak mau berakhir basah kuyup.”

Di tengah musim panas seperti ini? pikirnya meragu. Ia berakhir teguh dengan pendiriannya dan kembali melanjutkan perjalanan, memanfaatkan waktu kosong hari pertama camp sebelum dirundungi kegiatan-kegiatan padat yang akan segera mengisi kesibukan.

“Aku sudah mengingatkanmu.”

Satu jam kemudian, Seokjin kembali berada di dalam kabinnya dengan keadaan air membasahi sekujur badan—mengundang sumpah serapah Namjoon yang mencarinya sejak tetes hujan pertama turun membasahi tanah.

Menggunakan handuk untuk mengeringkan diri setelah membilas tubuh dengan air hangat di kamar mandi, Seokjin menggerutu, “Dia itu peramal cuaca atau apa sih.”

Pada satu malam di mana semua anak tengah berkumpul untuk menyantap makan malam bersama, Seokjin bergabung dengan beberapa anak yang telah menjadi lingkaran pertemanan tetapnya pada tiap musim panas.

Lapangan rumput besar yang berada di tengah-tengah area kabin adalah sebuah spot multifungsi yang dijadikan sebagai titik pusat perkemahan. Sebagian besar kegiatan rutin sehari-hari dilakukan di sana, sehingga tanpa tertulis resmi menjadi titik kumpul untuk memulai hari ataupun berjanjian.

Musim panas tahun ini cukup bersahabat. Tubuhnya yang tidak terlalu kuat menghadapi suhu dingin juga banyak membantunya beradaptasi dengan suhu tinggi nan lembab. Seokjin menyesal membawa banyak kaos tanpa lengan karena itu berartikan dengan sukarela menawarkan nyamuk untuk menyerangnya.

Baru saja mengambil tempat kosong di meja kayu yang bentuk dan letaknya tidak pernah berubah, ia disambut oleh pembahasan lebih dari sekedar sering yang tampaknya telah menjadi topik wajib musim panas.

Seokjin menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya, tidak berminat ikut berbincang namun diam-diam tetap mendengarkan.

“… Iya, lalu dia langsung berlari dan mencarikan kotak pertolongan pertama. Padahal dia juga terluka,” mata Heeyeon terlihat berbinar penuh semangat. “Aku tidak mengerti lagi. Bagaimana seseorang bisa begitu tampan, menarik, juga baik hati di saat bersamaan?”

Sambil memilah biji semangka, Hoseok hanya berkedik. “Bukan hal mengejutkan. Jimin memang sudah seperti itu sejak dulu. Karena itu semua orang selalu berusaha untuk menjadi teman dekatnya,” ujarnya sebelum mulai mengunyah. “Sifat dan cara bicaranya juga selalu ramah.”

Perbincangan seputar orang yang sama itu berlangsung hingga lima belas menit kemudian. Makanan yang sebelumnya memenuhi meja hampir tak bersisa ketika sosok yang menjadi topik pembicaraan mereka datang dengan kedua tangan mengangkat nampan.

“Boleh aku bergabung dengan kalian? Hari ini aku tidak memiliki tenaga untuk meladeni keisengan Taehyung dan Yoongi,” pintanya dengan bibir mengerucut dan sorot pandang penuh harap.

Setengah mati Seokjin berusaha untuk menahan diri berkata tidak dan memberi penolakan yang lebih cepat daripada proses kilat.

Namjoon menciptakan ruang di antara dirinya dan Sowon. “Tentu saja. Meja kami terbuka untuk semua orang yang didepak dari meja reguler mereka,” sambutnya jenaka dan membuat Jimin tak kuasa menahan tawa.

“Aku tidak didepak, tapi mendepakkan diri!”

Obrolan penuh antusias menguasai meja mereka dengan cepat. Jimin memang selalu luar biasa dalam membuka percakapan, juga mempertahankan perbincangan agar tetap menghibur semua pihak. Seokjin merasa telinganya tergelitik tiap mendengar suara Jimin yang begitu lembut juga ekspresif di saat bersamaan.

Memangku wajahnya pada satu tangan, ia memainkan sisa nasi di atas piringnya menggunakan sumpit dan menghela napas panjang.

Di antara lebih seratus remaja yang menghadiri camp musim panas, semua orang pasti menyetujui bahwa Park Jimin adalah sosok paling populer karena sikap ramah dan menyenangkan yang dimilikinya. Makan malam beberapa hari lalu menguatkan argumen ini hingga bersifat tak terbantah.

Seokjin juga tidak menutup mata akan hal itu. Ia dapat melihat bagaimana Jimin selalu dikelilingi oleh anak-anak lain, menawarkan senyum manis tiap bersitatap dengan seseorang, juga memberi bantuan tiap mendapati seseorang dihadapi kesulitan.

Bukannya ia memperhatikan dan menaruh perhatian. Hanya saja semua orang dapat melihatnya (dan membicarakannya) dengan jelas.

Ada sesuatu tentang lelaki itu yang tidak dapat Seokjin jelaskan. Suaranya, alunan nadanya ketika berbicara, paras dan gestur tubuhnya—tiap hal tentang Jimin seolah memiliki efek magis yang menyebabkan semua orang tertarik untuk mengenalnya lebih dalam.

Semua orang termasuk Seokjin, hanya saja ia menahan diri mati-matian. Ia tidak akan tertipu oleh kebaikan hati yang jelas-jelas diumbar dengan sengaja di hadapan semua orang. Jika Jimin memang sosok sehangat itu, seharusnya—

“Kelompok lima. Jeon Jungkook, Jung Eunbi, Kim Mingyu, Kim Seokjin, Moon Byulyi, dan Park Jimin. Kalian akan bertanggung jawab dalam mengurus pentas seni.”

Sial.

Namjoon menepuk pundaknya pelan. “Kau menunjukkan ekspresi itu lagi.”

“Ekspresi apa?”

“Terkejut, marah, terganggu. Entahlah,” pemilik marga sama dengannya itu memainkan rumput dengan malas. “Yang pasti kau hanya menunjukkan ekspresi itu ketika melihat atau mendengar nama Park Jimin.”

Mendecakkan lidah, Seokjin menepisnya dengan berkata, “Jangan mengada-ada.”

“Ya, ya. Terserahmu saja,” sahut Namjoon tanpa menekan lebih dalam. “Padahal dia anak yang baik. Aku tidak tahu apa masalahmu dengannya.”

Mereka berpisah karena diharuskan untuk berkumpul dengan teman kelompok masing-masing. Seokjin tidak mengerti mengapa mereka harus melakukannya sekarang di saat kelompok itu berfungsi untuk kegiatan pada minggu terakhir. Tampaknya panitia camp bersekongkol merusak camp musim panas terakhir seumur hidupnya, karena setelah itu mereka mengumumkan, “Kita akan bermain scavenger hunt agar kalian lebih akrab dengan teman sekelompok masing-masing!”

Mingyu, yang kebetulan jugalah teman satu kabinnya, mewakili protes semua orang dengan memutar bola mata jengah. “Lebih akrab apanya? Tiga perempat anak-anak yang mengikuti camp ini sama dengan yang ikut tahun lalu.”

Mendengar pernyataan sarkastis itu, Jimin tertawa dan merangkul pundak temannya. “Ikuti saja keinginan mereka. Tidak seperti kita memiliki pilihan lain.”

Setelah Byulyi berinisiatif mengambilkan kertas petunjuk, mereka berdiri membentuk lingkaran sambil membaca tiap perintah yang tertera bersama. Terdapat tiga puluh teka-teki tentang benda dan lokasi yang harus mereka cari, juga peraturan yang harus dipatuhi agar tidak didiskualifikasi.

“Kurasa lebih baik kita berpencar dan berbagi tugas untuk menemukannya,” usul Jungkook yang kini terbakar motivasi untuk keluar sebagai pemenang. “Aku akan pergi dengan Mingyu. Byulyi dan Eunha, Jimin bersama Seokjin. Bagaimana?”

Seokjin belum sempat memprotes ketika Jimin menyerukan setuju, diikuti anggukan tiga orang lainnya. Ia berdeham canggung. “Bukankah ini permainan kelompok? Kita harus selalu bersama agar dapat mengakrabkan diri?”

Tersenyum miring, Jungkook melambaikan kertas petunjuk di tangannya. “Tidak ada di peraturan, berarti tidak ada masalah. Apapun selama kelompok kita menang.”

Kesimpulan itulah yang akhirnya menyisakan Seokjin berjalan beriringan bersama Park Jimin, satu robekan kertas berisi sepuluh teka-teki di tangan si pemilik surai biru tua, dan kedua pundak lunglai karena sama sekali tidak bersemangat.

         Riddle 1. Tidak memiliki kepala, tapi memiliki leher dan bisa menggunakan topi.

“Menurutmu ini apa?”

“Jangan tanya aku.”

“Kenapa?”

Dengan wajah datar, Seokjin menatap Jimin yang ikut menghentikan langkah. “Aku tidak tertarik mengikuti permainan ini,” ucapnya tak berminat, lalu mencebik jengah.

Jimin mengerutkan dahi tak setuju. “Lalu apa yang akan kau lakukan? Kembali ke kamar dan meninggalkan permainan?”

Mengerti maksud pertanyaan Jimin yang berindikasi bahwa toh ia harus tetap menyelesaikan kegiatan ini meski enggan melakukannya, Seokjin mengambil kertas di tangan lawan bicaranya dan mulai berusaha memecahkan teka-teki dengan berpikir keras.

“Botol,” ia bersuara sejurus kemudian. “Nomor satu jawabannya botol.”

Alih-alih berdiskusi mengenai benar atau tidaknya tebakan Seokjin, Jimin justru menangkap pergelangan tangan sang Kim yang langsung menegang layaknya terhampar setruman tegangan tinggi. Sepasang netra mereka menangkap milik satu sama lain, saling berusaha menyelami tiap rahasia yang tersembunyi jauh di balik ekspresi wajah masing-masing.

“Apakah kau membenciku?”

Iris gelap Jimin menunjukkan sendu, tapi sekali lagi, Seokjin tidak akan tertipu. Ia meraih tangan Jimin dan melepaskan sentuhan lelaki itu dengan perlahan, tidak cukup lembut namun juga menolak bersikap kasar.

“Benci terdengar berlebihan,” kertas di tangannya ia sodorkan kembali pada lelaki di sampingnya. Seokjin memiringkan kepala, menatap Jimin dan bertanya-tanya emosi apa yang selalu menguasainya tiap mereka bersitatap.

Namjoon bilang ekspresinya menunjukkan amarah, keterkejutan, atau mungkin perasaan tak nyaman. Semua itu mungkin benar, hanya saja terdapat sesuatu yang lebih mendominasi di atas segalanya.

“Lalu apa yang kau rasakan sekarang?” Suara derap langkah dan seruan keras di berbagai penjuru arah keduanya abaikan dengan sengaja. “Apa yang kau rasakan tentang kehadiranku berdiri di sini, berbicara denganmu seperti kita tidak memiliki satu pun masalah?”

“Daripada benci,” Seokjin kembali berpikir sejenak. “Kurasa hampa adalah jawaban yang lebih tepat.”

Ada sedikit rasa bersalah menghampiri Seokjin ketika melihat ekspresi terluka di wajah Jimin—siapa yang peduli? Ia menelan sesak di dalam dada dan meninggalkan lelaki itu seorang diri.

Jimin duduk pada tepi dermaga danau, memandangi permukaan air yang tenang tanpa sedikit pun hiasan gelombang. Pantulan bulan sebagai penerang malam telihat begitu jelas akibat minimnya riak.

Ingatannya berputar pada seminggu lalu di saat kelompoknya memenangkan permainan pertama camp musim panas—Seokjin berakhir memecahkan semua teka-teki dan mencari tiap benda juga lokasi seorang diri, sepenuhnya menolak untuk ditemani.

Tindakan temannya itu wajar disebut kelewatan, karena orang-orang tidak tahu apa yang pernah terjadi di antara mereka.

Senyum sedih terulas di wajahnya, membayangkan reaksi bertolak-belakang yang akan ia dapatkan jika mereka tahu bahwa ia tidak pantas diperlakukan demikian.

Seokjin terlalu baik. Mungkin apabila posisi mereka terbalik, Jimin akan memukul pemuda itu berkali-kali tanpa belas kasih.

Sejak mereka bertemu kembali pada musim panas empat tahun lalu, ia pikir Seokjin akan melakukan sesuatu padanya. Apapun. Marah dan berteriak. Makian dan tangisan. Atau sekecil apapun kemungkinannya, pelukan dan setumpuk pertanyaan.

Tapi hari itu, Seokjin hanya bergeming di tempatnya—menatap Jimin dengan sebersit kecewa, juga harap yang telah terkubur dalam. Seokjin menghabiskan delapan puluh tiga detik berusaha mengkonfirmasi penglihatannya, kemudian meninggalkan dirinya tanpa sepatah kata.

Kemudian mereka tidak pernah berusaha meraih satu sama lain atau berbasa-basi melempar sapa. Seokjin menjaga jarak sejauh mungkin dan Jimin enggan menjadi pihak yang mengungkit perih. Setidaknya ia berhutang satu hal itu pada Seokjin.

Sejujurnya, Jimin lebih memilih Seokjin membencinya alih-alih tidak merasakan apapun tentang dirinya. Benci berartikan mengakui eksistensi. Benci berartikan perasaan khusus yang tertuju pada satu orang dengan berbagai latar belakang mewakili. Sedangkan hampa…

Hampa adalah kosong. Hampa adalah ketidakberadaan itu sendiri. Bagi Seokjin, eksistensinya saat ini hanyalah satu kepingan tak berarti.

Kau akan menepati janjimu, ‘kan? Kau tidak akan meninggalkanku seperti Kakak?

Seokjin, aku tidak akan ke mana-mana.

Jimin menghela napas, membuka seluruh pakaiannya sebelum melompat ke dalam danau tanpa berpikir panjang.

Meski tidak ada sapuan ombak juga pasir putih yang dapat mengobati rindu, dinginnya air setidaknya terasa nyaman di kulitnya. Air tawar memang tidak terlalu ramah untuk siripnya, namun ia telah menghabiskan waktu cukup lama untuk belajar merasa puas.

Sepasang kaki kini seutuhnya lenyap, digantikan sirip biru elegan senada dengan warna rambutnya.

Setelah menyelam hingga dasar danau dan menghabiskan beberapa saat di sana, Jimin memutuskan untuk kembali ke permukaan—

“Kau… seorang mermaid?”

—hanya untuk menemukan Kim Seokjin mengerjap lugu di atas dermaga.

“Astaga, berhenti mengikutiku!” Seokjin berseru kesal, menghentakkan kaki cukup keras hingga menarik perhatian beberapa anak yang kebetulan lewat. Ia tidak membuang waktu untuk mengucapkan maaf, terlalu sibuk menyalurkan keki pada Jimin yang tampak ingin meringkuk seperti bayi dalam kandungan.

Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu setelah memastikan kini hanya tersisa mereka berdua di balik kabin entah milik siapa, Seokjin melipat kedua tangannya di depan dada. “Aku sudah bilang,” nadanya terdengar tidak sabar. “Aku tidak akan memberi tahu siapa pun. Jadi kumohon, ini sudah tiga hari. Jangan mengikutiku seperti anak anjing tersesat.”

“Aku benar-benar ingin mempercayaimu,” tandas Jimin memulai argumen pembelaan. “Tapi bagaimana bisa aku mempercayaimu ketika kau hanya berkata oh lalu pergi setelah melihat makhluk yang sering kali disebut hanya fiksi belaka?!”

“Apa lagi yang harus kulakukan? Pergi ke pasar dan mencarikan rumput laut untuk memberimu makan?”

“Aku juga tidak tahu! Tapi orang normal pasti akan melakukan sesuatu ketika melihat hal magis terjadi di depan mata mereka!”

Seokjin memijat batang hidungnya, berusaha meredam gondok yang menghantui sejak ia melakukan kesalahan dengan mengunjungi danau pada beberapa malam sebelumnya. Ia sekedar ingin berjalan-jalan ketika kemudian menemukan Park “Populer” Jimin tengah berenang dengan sirip ikan menggantikan kedua kakinya.

Benar-benar kesalahan besar karena setelah malam itu, Jimin menolak untuk beranjak dari sisinya kecuali batas jam malam telah tiba.

Sebenarnya, Seokjin berbohong jika ia mengatakan bahwa ia tidak terkejut dan ingin berteriak di saat melihat mermaid (demi Tuhan, ia masih setengah tidak mempercayai penglihatannya) secara nyata, bukan melalui layar kaca. Terlebih mermaid itu adalah orang yang ia kenal, bukan sekedar satu hari melainkan beberapa tahun lamanya.

Ternyata itu alasan mengapa Jimin dapat menebak cuaca. Bahkan mungkin kepopuleran Jimin juga berasal dari identitas aslinya sebagai seorang mermaid—itu ‘kan yang dikatakan legenda tentang makhluk laut tersebut?

Tapi apa yang Jimin harapkan? Tentu kedua kakinya terasa lemas dan tiba-tiba bobot tubuhnya terasa dua kali lipat lebih berat. Tentu ia memiliki banyak sekali pertanyaan juga keraguan dalam benaknya. Tentu ia merasa antusias juga panik di saat bersamaan. Namun bukan berarti ia harus menunjukkannya terang-terangan.

Akhirnya, malam itu Seokjin hanya menelan ludah dan mengangguk tanpa sadar. Menggumamkan, “Oh.” Dan meninggalkan Jimin yang tampak lebih kalut daripada dirinya.

“Jimin, aku benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa,” ungkapnya kehabisan akal untuk memberi kepastian bahwa ia akan menjaga rahasia sang Park selamanya. “Lagipula orang-orang hanya akan menganggapku gila jika aku menyebarkan berita bahwa kau adalah seorang mermaid. Atau merman. Astaga, entahlah.”

Lekukan bibir Jimin yang merengut menunjukkan bahwa lelaki itu tersinggung. Seokjin sama sekali tidak memiliki niat untuk meminta maaf atau membujuk. “Sekarang tinggalkan aku sendiri, oke?”

Pada saat ia berpikir Jimin akhirnya menyerah, Seokjin hanya dapat mengerang tertahan ketika suara tenor Jimin kembali terdengar. “Seokjin,” namanya yang dilafalkan oleh pemuda itu terdengar salah. “Kau tidak ingin menanyakan apapun padaku?”

“Pertanyaan seperti apa?”

“Seperti kenapa aku meninggalkanmu.”

Seokjin, aku tidak akan ke mana-mana.

“Dulu,” tenggorokannya terasa kering dan paru-parunya seolah menolak untuk berfungsi. “Kau adalah teman baikku, bahkan mungkin lebih,” sambungnya dengan suara lemah.

“Tapi kau meninggalkanku, Jimin. Tanpa perpisahan. Tepat sehari setelah kau berjanji untuk tidak akan meninggalkanku seperti yang kakakku lakukan,” tangannya terkepal kuat di kedua sisi tubuhnya. “Kejadian itu tidak akan pernah berubah.”

“Seokjin—”

“Kau sudah pergi. Apa lagi yang harus kupertanyakan?”

Tanpa sanggup menatap wajah di depannya, sekali lagi Seokjin memperlihatkan punggungnya dan berlari menjauh ke pusat perkemahan.

Pertama kali mereka bertemu adalah di umur delapan tahun.

Dua anak lelaki kesepian yang kebetulan tinggal di lingkungan sama. Pertemanan lugu yang dimulai dengan mengulurkan tangan untuk berbagi bekal pada jam istirahat sekolah.

Pertama kali Seokjin mengerti arti ditinggalkan adalah di umur sebelas tahun.

Luka yang menganga tak kasat mata dalam dirinya tak pernah benar-benar sembuh. Kakaknya pergi meninggalkan dunia dikarenakan penyakit kronis setelah berjuang bertahun-tahun. Selain orang tuanya, Jimin adalah satu-satunya pilar di mana ia dapat bergantung.

Pertama kali Seokjin mempercayakan hatinya pada orang lain adalah di umur dua belas tahun.

Jimin adalah teman baiknya, sosok yang selalu menemani hari-harinya dan terus memberikan dukungan bahwa ia tidak sendirian. Di umur peralihan menjadi remaja itu, ia belajar mengenai satu perasaan hangat yang membuatnya ingin tersenyum seharian.

Pada umur yang sama, Seokjin mengerti bahwa hubungan hanyalah sesuatu yang bersifat sementara.

Semua orang akan pergi. Jimin membuktikannya dengan menghilang setelah memberikannya sebuah janji pahit berkedok manis.

“Jangan pernah meninggalkanku sendiri.”

“Tidak akan.”

“Kau akan menepati janjimu, ‘kan? Kau tidak akan meninggalkanku seperti Kakak?”

“Seokjin, aku tidak akan ke mana-mana.”

Jam malam telah berlaku sejak dua jam lalu. Jimin telah menghabiskan jumlah jam yang sama dengan mengapung di atas permukaan danau, memandangi langit malam dengan pendengaran yang sengaja dipertajam agar terhindar dari kesalahan sama. Sayangnya bintang yang bertaburan terlalu indah hingga membuatnya terlena sesaat.

“Hei, Jimin.”

Suara familiar itu nyaris membuatnya kehilangan keseimbangan. Jimin menolehkan kepala, mendapati Seokjin tengah mendudukkan diri pada tepi dermaga. Kehadiran lelaki itu membuatnya berpikir tengah berhalusinasi akibat kantuk yang menyerang.

Tapi setelah beberapa kali mengedipkan mata, Seokjin masih berada di sana dan memandanginya dalam diam.

Ia kembali menengadah, menghadap hamparan langit gelap seraya bertanya, “Apa yang kau inginkan?”

Pertanyaan itu terdengar lebih ketus dari yang diniatkan, namun Jimin pikir, hubungan mereka tidak akan dapat menjadi lebih buruk daripada sekarang.

“Aku minta maaf,” ucap Seokjin pelan, menyebabkannya menahan napas. “Maaf karena kemarin aku bersikap kekanakkan. Tapi kau benar, banyak hal yang ingin kutanyakan.”

Sepasang matanya terasa panas. “Kau tidak perlu meminta maaf,” bisiknya meski ragu Seokjin dapat mendengarnya atau tidak. “Apapun alasanku, aku meninggalkanmu di saat kau paling membutuhkanku. Untuk hal itu, Seokjin, maafkan aku. Kau memiliki seluruh alasan untuk bertindak sekasar apapun.”

Seokjin mendengus, namun Jimin menangkapnya sebagai pertanda bagus. Teman kecilnya itu terdiam selama beberapa saat, mungkin berusaha merangkai pertanyaan dalam otaknya dan memilah yang mana yang paling mendesak untuk mendapatkan jawaban.

“Hari itu aku harus meninggalkanmu,” ia memutuskan untuk memberi penjelasan lebih dulu. “Keluargaku harus pindah ke daerah yang lebih dekat dengan laut karena umurku rentan terhadap transformasi mendadak. Sedikit cipratan air dan aku akan berubah menjadi mermaid di tempat.

“Makhluk seperti kami, tentu saja kami tidak dapat menunjukkan eksistensi secara terang-terangan. Orang tuaku membawaku pergi malam itu juga—kau ingat hujan deras setelah kita berpisah? Untung saja aku sudah sampai di halaman rumah.”

“Dan pada saat itu kita belum memiliki handphone untuk memberi kabar.”

“Benar. Aku juga tidak mungkin menyeret siripku ke depan rumahmu untuk memberi tahu aku akan pindah.”

Terbahak mendengarnya, Seokjin menggelengkan kepala. Ia bergeming menikmati bagaimana cahaya rembulan yang menerpa Jimin membuatnya berkali lipat lebih menawan hingga sulit mengalihkan pandangan.

“Berarti kita bertemu di camp musim panas ini adalah kebetulan?”

Jimin beranjak dari posisinya, berenang mendekati dermaga dan berhenti tepat di hadapan Seokjin yang menunduk untuk menatapnya. “Kupikir aku tidak akan bertemu denganmu lagi selamanya,” tangannya menyentuh kaki Seokjin yang menggantung di atas air danau. “Dan kupikir setidaknya kau akan memukulku jika terjadi satu keajaiban di mana kita tanpa sengaja dapat menemukan satu sama lain.”

“Seolah aku akan membuang energi untuk melakukannya,” sanggah Seokjin seraya mengerlingkan mata, menikmati sentuhan ringan Jimin yang berusaha memastikan bahwa percakapan ini adalah nyata.

Ia tidak ingat kapan ia berhenti mengharapkan Seokjin untuk membuka hati dan memaafkannya. Jimin mengaku terlalu takut untuk memulai lebih dulu karena kesalahan sepenuhnya berada pada dirinya. Sekarang mereka meluruskan semua salah paham dan berusaha merubuhkan tembok yang menciptakan jarak bertahun-tahun lamanya, ia terus menahan diri untuk tidak tersenyum lebar.

Dadanya terasa hangat. Ia ingin segera naik ke daratan dan duduk di samping Seokjin, memuaskan rasa penasaran tentang satu sama lain yang dipastikan takkan habis meski hari telah berganti.

“Kemarin… aku ingat kau mengatakan teman baik, bahkan mungkin lebih.”

Seokjin menyipitkan mata dan mengancam, “Aku akan melempar celana dalammu ke dalam air.”

“Tolong jangan.”

Berbaring bersampingan di atas dermaga, seminggu telah berlalu sejak Seokjin dan Jimin mulai berusaha memperbaiki hubungan yang sempat retak. Keduanya baru saja selesai mengurus perihal pentas seni untuk malam api unggun ketika memutuskan untuk menikmati angin sore di spot baru favorit mereka.

“Di mana orang tuamu sekarang?”

“Sekonyol kedengarannya,” Jimin tertawa ringan. “Mereka kembali ke dasar laut.”

Berusaha untuk gemi akibat topik yang sensitif, Seokjin meraih tangan Jimin dan menggenggamnya erat. “Kenapa kau tidak ikut bersama mereka?”

Semilir angin menggoda helai biru Jimin untuk menari di udara. Seokjin pikir bukan hanya karena fakta bahwa lelaki di sisinya adalah seorang mermaid, melainkan Park Jimin memang dilahirkan begitu menawan layaknya mimpi di tengah siang.

“Karena kemungkinan untuk menemukanmu di dasar laut adalah nol besar.”

Tubuh bersandingan. Tangan saling menggenggam. Seokjin memiringkan badannya, membuka ruang lebih banyak untuk memandang Jimin yang ikut melakukan hal sama.

“Apakah kau merindukannya? Mereka dan juga lautan?”

Rona tipis pada wajah Jimin (yang kemungkinan besar juga dapat ditemukan di wajahnya) terlihat begitu menggemaskan. Dengan pemandangan seperti ini, musim panas resmi menjadi musim baru favoritnya.

“Laut akan selalu menjadi rumahku, tapi kau,” senyum lembut di depannya menyebabkan Seokjin sedikit salah tingkah. “Kau adalah satu-satunya tempatku untuk pulang.”

Dari sudut matanya, Seokjin dapat melihat Namjoon berjalan mendekatinya. Jimin baru saja pergi untuk mengambil kayu bakar sebagai cadangan apabila api unggun redup di tengah acara, menyisakan Seokjin seorang diri dengan satu tusuk marshmallow di sebelah tangan.

“Sejak kapan kalian akrab?” tanya pemuda yang lebih tinggi penasaran.

Seokjin memilih untuk tidak menjawab. “Persiapan kelompokmu sudah aman?”

Namjoon hanya mengangguk, lalu ikut mendudukkan diri di sisi Seokjin yang langsung bergeser untuk memberi ruang lebih lebar. “Tidak terasa hanya tersisa tiga hari lagi,” ia berucap sebelum menegak soda kaleng yang sengaja dibawa ke mana-mana untuk menghilangkan dahaga.

“Mm. Tahun ini terasa cepat.”

“Apakah kau akan mengelak lagi? Tidak akan memberi kontakmu pada siapa pun?” tanya Namjoon penuh harap. “Kau benar-benar tidak mau menjalin pertemanan denganku di luar camp?”

Menyeringai kecil, Seokjin menggigit marshmallow dan mengecap manis yang menguasai lidahnya. “Aku akan memberikannya dengan catatan tidak boleh menghubungiku di atas jam dua belas malam dan meminta dijemput karena mabuk.”

Mereka tertawa bersama setelahnya, berbincang mengenai beberapa hal hingga Namjoon harus pergi melanjutkan tugas yang diberikan untuk kelompoknya. Seokjin memandang nanar tumpukan kayu api unggun dalam diam, teringat hanya tiga hari tersisa sebelum ia harus kembali ke realita.

Tidak pernah sebelumnya ia berpikir bahwa satu bulan tidak cukup untuk menjalani camp musim panas.

Sebagian besar pikiran itu muncul dikarenakan Jimin, tapi Seokjin mengaku bahwa banyak hal dari camp ini yang cukup berarti melebihi sekedar memori. Mungkin sebelumnya ia memang bersikap terlalu skeptis.

“Apa yang kau lamunkan?”

Jimin melemparkan tubuh untuk duduk di sampingnya, menyebabkan lengan mereka bertabrakan dan hampir menjatuhkan tusukan marshmallow di tangannya. Seokjin mengaduh, hanya bisa mendengus ketika mendapati lelaki di sampingnya tertawa meminta maaf.

Ia tidak tahu apakah ia dapat kembali mempercayai orang lain. Ia juga tidak tahu apakah hubungan memang hanyalah sebuah hal semu yang tidak cukup berharga untuk dijalani. Jimin pernah berjanji dan mengingkarinya, seharusnya Seokjin tidak menaruh harap ketika pemuda itu berkata akan mengikutinya ke mana pun mulai sekarang.

Tapi terkadang perasaan adalah satu hal rumit yang sulit untuk diarahkan. Seokjin tahu ia terus mengulang dalam otaknya bahwa ia tidak percaya, namun ia juga tahu bahwa hatinya akan tetap merasa kecewa apabila ketakutannya menjadi kenyataan.

“Bagaimana… bagaimana jika kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama?”

Api unggun mulai dinyalakan, kilat merah perlahan merambat membakar tiap potong kayu yang telah disirami minyak tanah. Lengan mereka yang bersentuhan entah mengapa menimbulkan nyaman terlepas dari arah pembicaraan yang menyiratkan keraguan. “Aku juga sering memikirkan hal itu belakangan ini.”

Seokjin dapat merasakan Jimin menyandarkan kepala pada pundaknya. Ia menarik napas dalam, menyandarkan kepalanya di atas kepala Jimin dan bertanya, “Apakah menurutmu kita akan menemukan jalan keluarnya?”

“Aku tidak akan berhenti berusaha selama kau juga tidak berhenti,” jawab Jimin tegas, satu tangan singgah di atas lutut Seokjin dan mengusapnya menggunakan ibu jari secara perlahan, menyalurkan rasa aman dan berusaha meyakinkan.

Mungkin, mungkin itu hanyalah bualan. Seokjin telah mendapatkan pelajaran hidup bahwa kata-kata tidak dapat menjamin apapun kecuali perasaan tenang sesaat. Tapi sekali lagi, hatinya berbisik menggoda. Ini yang terakhir.

Menghela napas pasti, Seokjin membulatkan tekad. “Aku tidak akan berhenti.”

Leave a comment