Pesona Dewi Peri dan Kearifan Lokal
Rindu menikmati alam seraya belajar dari masyarakat setempat? Salah satu pilihannya adalah Desa Wisata Penting Sari (Dewi Peri). Mari ikuti keriangan kami….
Dewi Peri menjadi persinggahan pertama kami keluarga kebun di perjalanan Maret 2017 lalu, sebelum tetirah sejenak di Taman Argasoka Kaliurang, yang dilanjutkan dengan meyesap kearifan lokal lereng Merapi dan berakhir di museum Ullen Sentalu. Desa wisata Penting Sari kami pilih karena lengkapnya informasi tempat ini di media masa buah dari postingan aneka pengunjung. Melalui panduan telpon Bapak Mardi sebagai kontak, pukul 11an kami memasuki Dewi Peri dusun Penting Sari, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY. Tidak perlu khawatir terlalu nyasar karena banyaknya papan penunjuk arah juga keramahan penduduk setempat. “mangga silakan berbalik arah terus belok kanan di pertigaan bla bla ibu bapak ditunggu di sekretariat Dewi Peri oleh sesepuh kami Mbah Mardi” terangnya dengan senyum.
Tarik nafas dalam-dalam reguk oksigen melimpah di udara segar di bawah tegakan pohon merimbun. Bebaskan pandang tatap hamparan hijau aneka gradasi warna dan ketinggian mari bilas pandangan mata dari keseharian dominansi layar komputer maupun gadget lainnya.
Sekretariat Dewi Peri
Sosok pekerja keras merbawani, Bapak Sumardi dengan grapyak sumanak menerima kami. Beliaulah pelopor Desa Wisata Penting Sari ini. Usia sepuh tak menghalangi karya, pensiunan suatu instansi ini tetap semangat menggagas kemajuan desanya. Berbagai bukti prestasi tingkat nasional maupun internasional terpampang di almari hias maupun pajangan di dinding rumah beliau. Terlihat plang kecil penanda sekretariat Dewi Peri dengan aksara Jepang menunjukkan kunjungan wisatawan Jepang yang cukup intens.
Sambil ngemil pisang godog, kacang tanah rebus plus penganan khas Cangkringan jadah tempe kami mendengarkan penjelasan beliau. “Dhahar siang dulu biar semangat menikmati desa kami” begitu ajakannya. Nyam nyam lahapnya kami makan siang merahapi pasugatan ala Dewi Peri, duduk bersila di amben (semacam dipan/bale-bale).
Oh ya rumah Pak Mardi juga menjadi home stay, kami melongok beberapa kamar yang beliau sediakan semua rapih, tempat tidur ditutup plastik jernih. “Kami mensyaratkan keluarga yang membuka home stay memiliki kamar khusus untuk tamu, jadi sewaktu-waktu tamu datang sudah siap. Bukan huyung-huyung penghuninya pindah kamar”
Sentra olahan kopi robusta dan hasil pertanian kelompok tani ‘Tunggak Semi’
Yook saatnya kami mengunjungi Sentra olahan kopi robusta dan hasil pertanian kelompok tani ‘Tunggak Semi’. Tunggak berarti pangkal batang usai ditebang, semi artinya bertunas. Tunggak semi, bahkan pangkal batang yang telah ditebangpun dapat bertunas. kami berjumpa ibu-ibu dari sepuh hingga petugas muda langkah regenerasi yang apik. Nyicip suguhan kopi robusta yang wangi, aneka oleh-oleh gula aren, kopi bubuk, jahe Merapi, kripik pisang dkk tersedia. Mau ikut menyangrai biji kopi, ngglepung/menumbuk kopi hingga menyaringnya tersedia papan workshop. Halaman dan pekarangan yang asri ditumbuhi aneka tanaman dari cantiknya anggrek tanah, ranumnya buah cokelat serta parade tanaman obat.
Saatnya bergeser kami melewati jalan desa yang asri, rumah jamur, rumah karawitan, serta home stay aneka rupa semisal omahe Simbok. Di halaman beberapa rumah penduduk nampak siswa/i salah satu SMA dari Yogyakarta sedang outbond dengan pemandu dari Dewi Peri. “Kami mempersiapkan murid-murid kami agar siap menghadapi ujian. Melalui outbond mereka berlatih mengenali kekuatan diri, kerjasama positif dengan saling mempercayai, membangun kepercayaan diri, mengelola rasa takut dan rasa aman” luar biasa Bapak Ibu guru yang mendampingi para teruna muda ini.
Kehidupan pedesaan yang bersandar pada pertanian secara terpadu diekpose dengan cantik. Pekarangan dengan pepohonan menjulang, toga tanaman obat keluarga laiknya apotek hidup, rumah pangan lestari dengan sajian tanaman sayuran dalam polibag. Air yang melimpah di lereng Merapi ditunjukkan dengan minapuspita di salah satu pekarangan. Juga keberadaan ternak besar, sedang, kecil hingga unggas sebagai bagian siklus hidup. Dewi Peri mengajarkan kepada setiap pengunjungnya bagaimana potensi lokal dikelola menjadi sarana kemakmuran sungguh kearifan lokal yang menghidupi warga lereng Merapi ini.
Joglo Herbal
Tujuan kami berikutnya adalah Joglo Herbal. Kami diterima oleh Pak Doto (karena Pak Rahman yang kawogan (pakarnya) sedang tidak ada di tempat) dan kawan. Mendapat penjelasan aneka macam tanaman obat alami. Melihat beberapa koleksi bahkan tersedia bibit yang bisa dibeli, beberapa tanaman parijoto segera berpindah ke bagasi kendaraan. Betapa tanaman di seputar kita disediakan Tuhan melalui alam sebagai pemeliharaan kesehatan kita.
Ooh dunia sangat luas sekaligus tak terlalu luas, ternyata antara Pak Doto dan kami beberapa dulur kebun terhubung oleh trah nunggal guru saat nyantrik di padepokan kota hujan, tentunya beliau adik kelas cukup jauh. Pak Doto saat menerima kami baru datang dari memenuhi undangan sosialisasi dan pendampingan desa wisata di NTT. Beliau juga berbincang akrap dengan sahabat kebun yang mendampingi desa wisata di seputar Candi Ceto Karanganyar.
[adalah yunior putri kebun yang sulit malafalkan nama emak kebun, si cantik mungil berbisik kebundanya sambil menunjuk emak kebun itu ibu peri, hehe…ketularan indang dewi peri]
Hampir pk 14an kami undur diri, mohon pamit Pak Mardi, Pak Doto dan sahabat pokdarwis Dewi Peri. Dewi Peri menunggu kehadiran para sahabat, mau sekedar dolan seperti kami, atau out bond, belajar aneka ketrampilan dari bertani hingga kerajinan janur, seni. Atau menginap dan paginya mengikuti Merapi lava tour dari berburu fajar lereng Merapi. Belum lagi beberapa petilasan sejarah semisal luweng, batu dakon juga nama Penting Sari yang berkenaan dengan perannya dalam perang gerilya Pangeran Dipnegoro. Ah Pesona Dewi Peri…
kutukamus said:
Karena Pak Rahman kebetulan sedang berhalangan lalu hadirlah Pak Doto eh lha kok jebulnya.. Yang begitu sering terjadi ya Bu Brih, kita dapat/nemu sesuatu secara ‘tak sengaja’..
rynari said:
Betul sekali Mas Kuka…dunia tak seluas daun kelor. Seperti ‘perjumpaan’ dengan ahli kamus yang menyamar jadi paman hantu yg ternyata tetanggaan Salatiga hehe… Ketaksengajaan yang menyenangkan.
bersapedahan said:
desa wisata ini tertata dengan baik termasuk program2 yang disediakan.
Jadi pengen nginep dan ikut aktifitas di desa Dewi Peri
rynari said:
Menginap dan ikut aktivitas sambung gegowesan sekitar Cangkringan asyiik loh. Mangga
Hendi Setiyanto said:
ijo royo-royo, kampungku dulunya mirip2 seperti ni tapi sekarang sudah berganti ruko2 wkwkwk
rynari said:
Desaku yang kucinta….ijo royo-royo subur makmur ya Hen.
Ruko tertata rapi juga apik ya
Hendi Setiyanto said:
Lahan bermain sdh g ada..eh aku kn ga zamannya lg main2 😂
adelinatampubolon said:
Desa yang kompak dan apik. Mereka bersama-sama membangun daerahnya menjadi desa yang ramah pengunjung dengan wisata perkebunan yang cukup beragam.
rynari said:
Sama2 mengagumi kekompakan dan kreativitas masyarakat Pentingsari ya Lina.
chris13jkt said:
Omahe Simbhok itu nama homestay toh Bu? Aku pikir tadinya simbhok siapa? 😆
Ngomong-ngomong sajiannya bikin aku ngiler, Bu . . .
rynari said:
Hehe…simboknya para tetamu Pak, betul home stay yg menawan. Sajian khas lereng Merapi disantap dg hati riang tambah lezat
Johanes Anggoro said:
Sepertinya nama Dewa Peri tidak asing di telinga saya mbak Prih. Adem ya suasananya, apalagi di lereng merapi. Berbagai macam wisata banyak disana.
rynari said:
Betul Mas Jo, Dewi Peri cukup terkenal. Aneka suasana belajar dan refreshing alam tersedia. Kalau yg nulis mas Jo pasti sensaninya luar biasa. Salam