2 Komentar

Indonesia itu..

BAHKAN secara etimologis pun, ‘Indonesia’ awalnya adalah sebuah pikiran. Ia mencoba menjelaskan sebuah kawasan di sebelah tenggara benua India. Kawasan itu berbentuk kepulauan. Jadi: India kepulauan.

Catatan-catatan ekspedisi orang-orang Eropa abad 16 menyebut kawasan yang terbentang antara Persia dan Tiongkok sebagai Hindia. Asia bagian Selatan disebut ‘Hindia Muka’ dan daratan Asia Tenggara mereka namai ‘Hindia Belakang’.

Nah, daerah kepulauannya mereka namakan Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah Kepulauan Melayu (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais) (Hutagalung, R. Batara, Asal-usul kata Indonesia, Gagasan Nusantara, 3 Maret, 2006).

Penguasa kolonial Belanda secara resmi menamakan daerah ini Nederlandsch-Indie, atau Hindia-Belanda dalam bahasa melayu. Ketika tentara Jepang masuk dan menguasai [1942-1945], mereka menamakan taklukannya sebagai To-Indo (Hindia Timur)..

Sampai suatu saat, George Samuel Winsdor Earl, seorang etnolog Inggris yang meneliti kawasan India kepulauan itu, menerbitkan hasil penitiannya dalam sebuah artikel bertajuk On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nation. Di situ dia mengusulkan dua nama untuk menyebut kawasan ini , yakni Indunesia atau Malayunesia.

Indunesia diambil dari bahasa Yunani: Indi [India], Nesus [Kepulauan]. Demikian juga Malayunesia; Mela [hitam], Nesus [kepulauan].

Earl sendiri memilih Malayunesia.

Wilayah mana yang dicakup kata ‘Indunesia’ atau Malayunesia waktu itu? Earl merujukkan nama-nama itu untuk sebuah kawasan dan suku induk di penduduk India-Belanda bagian barat yang berasal dari Proto-Malaya (Melayu tua) dan Deutero-Malaya (Melayu muda). Sedangkan penduduk di wilayah India-Belanda bagian timur mereka kategorikan sebagai Melanesians, — juga diambil dari bahasa Yunani: Mela [hitam] Nesos [kepulauan]. Kepulauan orang-orang hitam.

Jelas bahwa Melanesians ditujukan kepada suku-suku yang menghuni kawasan yang sekarang disebut Indonesia Timur, yakni Papua, Timor, NTT, Maluku.

James Richardson Logan, rekan sekerja Earl, memilih kata Indunesia untuk menamakan wilayah ini dan penghuninya. Pada tulisan-tulisan berikutnya di jurnal tersebut, Logan mengubah kata ‘Indunesia’ menjadi ‘Indonesia’.

Beberapa lama berselang, seorang etnolog Jerman bernama Adolf Bastian menerbitkan laporan penelitiannya di wilayah India-Belanda. Laporan penilitian itu bertajuk ‘Indonesien, oder die Inseln des malaysischen Archipels’, terdiri dari 5 jilid, terbit di Berlin antara tahun 1864 – 1894.

Sejak penerbitan buku ini, kata Indonesia mulai sering diucapkan oleh para pelayar Eropa ketika menyebut kawasan India kepulauan ini.

Jelaslah, pada masa itu [1850] lahir sebuah gagasan tentang suatu bentangan wilayah dan kelompok etnis bernama Indonesia. Ini sebuah temuan dalam etnologi, yang merupakan cabang dari antropologi. Maka, saat itu Indonesia adalah sebuah kata keilmuan untuk menjelaskan sebuah sub-etnis dan habitatnya di belahan Barat India-Belanda.

Sub-etnis itu, seperti dijelaskan Earl, terdiri dari Proto Malaya [Melayu tua] dan Deutero –Malaya [Melayu muda]. Lihat: The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing Enquiries into the Continental Relations of the Indo-Pacific Islanders, dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, No. 4, tahun 1850.

Sedangkan untuk penghuni India-Belanda bagian Timur, yakni Flores, Timor, Maluku dan Papua, kata yang dipakai adalah Melanesia, yang berarti kepulauan orang-orang hitam. Eduard Douwes Dekker, dalam bukunya “Max Havelaar” menggunakan kata Insulinde untuk menyebut India-Belanda wilayah Barat, dan Melanisa untuk menyebut India-Belanda wilayah Timur.

Belakangan, kata Indonesia mulai populer di kalangan kaum pergerakan. Secara sederhana, mereka menggunakan kata itu untuk menamai sebuah bangsa sekaligus wilayahnya yang tengah mereka gagas.

Namun sebelum beranjut ke situ, kita perlu menelusuri hal-ihwal gagasan kebangsaan ini muncul, yakni ide tentang sebuah entitas yang lepas dari kekuasaan kolonian Belanda; sebuah entitas yang mandiri, sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Suatu hari pada tahun 1922. Soekarno muda sedang berjalan-jalan di Jalan Braga, Bandung. Di depan sebuah gedung, tiba-tiba pandangan matanya tertumpu pada papan nama bertuliskan Algemene Levensverzekering Maatschappij Indonesia.

Yang membuat si Bung tertarik adalah penggunaan kata ‘Indonesia’ yang kala itu tergolong langka. Maka, Soekarno pun mampir dan berkenalan dengan pemilik perusahaan asuransi di gedung itu, Gerungan Saul Samuel Jacob Sam. Lelaki yang akrab dipanggil Sam itu pun berkata, “Itulah ideku, yakni agar Tanah Air kita yang terdiri dari beribu-ribu pulau itu bersatu dan diberi satu nama. Namanya telah saya tetapkan bersama pemuda-pemudi kita yang berada di Eropa, yaitu Indonesia.”

Maka, Sam adalah orang Indonesia pertama yang berani memperkenalkan nama Indonesia secara resmi di depan publik.

Tapi, dari mana gagasan dan klaim Sam Ratulangi atas ‘tanah air kita yang terdiri dari beribu-ribu pulau itu’? Adakah ia gagasan yang sudah terbangun di kalangan kaum pribumi? Kalau ia, bagaimana asal-muasal terbentuknya.

Bagaimana mungkin tejadi lompatan pemikiran, meskipun dipisahkan jarak penjajahan begitu lama, dari kesadaran tentang negara-negara lokal ke sebuah gagasan wilayah yang menyatukan itu semua?

Kesadaran akan wilayah tanah air, tak pelak lagi, terkait erat dengan faham Nasionalisme. Faham ini tumbuh menyebar segera setelah revolusi Prancis abad 18, dengan Eropa sebagai pusatnya. Pelajar-pelajar ‘Indonesia’ yang sedang belajar di Belanda, terimbas pusaran ide ini, karena memang jargon filosofisnya sangat menawan: egalitare, equality, justice. Bayangkan jargon ini masuk ke pikiran orang-orang yang negerinya terjajah.

Kebijakan Pemerintah kolonial Belanda fase akhir yang membuka kesempatan bersekolah kepada siswa-siswa Nusantara di Belanda, apa boleh buat, menghantam dirinya sendiri. Terimbas oleh pemikiran-pemikiran revolusi Prancis dan faham Nasionalisme, para pelajar Indonesia di Belanda mulai terasuki Nasionalisme. Namun pada awalnya, ada yang mengganjal: jika manusia harus mencintai bangsa dan tanah airnya, manakah bangsa dan wilayah tanah air itu bagi pelajar-pelajar Nusantara?

Tak sulit bagi orang Cina, India, Mesir, Arab, Iraq, Iran, untuk segera menyambungkan ide Nasionalisme dengan alam sekeliling karena bangsa dan tanah airnya sudah tersedia. Bagi pelajar-pelajar Nusantara, rasa dan faham Nasionalisme seperti tak punya pijakan. Bangsa dan tanah air itu belum ada. Bingkai pikiran [mindset] tentang bangsa dan tanah air masih diisi bayangan wilayah dan himpunan rakyat kerajaan dan kesultanan abad 16.

Di lain sisi, rasa Nasionalisme serasa tidak nyambung dengan rujukan lama seperti itu, di mana kekuasaan dan wilayah, dalam beberapa hal, lebih merupakan wilayah kecil paguyuban-paguyuban.

Maka, timbul keinginan memiliki tanah air dan ‘bangsa’, agar kecintaan ini punya tempat diri; agar jiwa tidak terasa mengambang di lautan pikiran yang tak bertepi; agar dorongan ini punya arah.

Lawan ide Nasionalisme adalah kolonialisme. Dan kekuatan yang sedang menduduki wilayah tempat para pelajar itu berasal adalah Belanda. Maka wujud paling nyata Nasionalisme bagi mereka adalah melawan kolonialisme Belanda.

Maka gagasan ikutannya adalah mengusir belanda dari semua wilayah koloninya di Nusantara. Dan itulah konsep ‘tanah air’ yang muncul. Ikutannya sangat logis: bangsa tempat mengabdi adalah masyarakat yang menghuni wilayah koloni Belanda di Nusantara.

Nasionalisme bukan hanya menimbulkan pengaruh besar di Nusantara. Dia lah yang melahirkan Indonesia.

Pertemuan dengan Sam menyisakan kenangan berkesan di hati Soekarno. Setelah terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, dalam salah satu pidatonya Soekarno pernah menceritakan lagi pertemuan tersebut. Bahkan, Soekarno menyebut Sam sebagai gurunya di bidang politik.

2 comments on “Indonesia itu..

  1. Saya kira, penemuan Sukarno pada konsep “nation” Sam, telah membawa kita pada sebuah struktur yang rawan, terutama dalam usaha memandang ribuan kebudayaan yang tumbuh secara adaptif terhadap ;ingkungan-lingkungan kecilnya. Interpretasi bangsa dalam konsep NKRI lebih banyak membunuh kreatifitas lokal, seni etnik, dan otoritas budaya. Ini sekaligus menjadi penyebab mandulnya kita sebagai bangsa pencipta, penganeka, dan berdaulat menurut adat. Hal-hal yang bersangkutan dengan HGU. HGB, HTI, HPH, dst telah meminggirkan lingkungan budaya. Nation yang dulunya menjadi batas, kini malah menjadi pintu masuk yang lebar bagi kekuasaan asing, sehingga tanah dan air kita secara de facto tak lebih lagi dari 20%.

  2. Pada dasarnya manusia hidup berbagsa-bangsa, dimana keberadaan bangsa-bangsa didunia merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun juga, karena memang tidak ada seorang manusia pun yang bisa menciptakan suatu bangsa. Bangsa adalah ketetapan Sang Maha Pencipta di muka bumi oleh karena itu setiap bangsa memiliki perjalanan hidupnya masing- masing, setiap bangsa memiliki sejarahnya masing-masing.
    Demikian juga dengan bangsa indonesia, bangsa indonesia memiliki perjalanan sejarah yang menyerupai perjalanan hidup seorang anak manusia yaitu diawali dengan kelahiran, kemudian beranjak dewasa baru mampu menetukan arah hidupnya sendiri. Bangsa Indonesia terlahir pada 28 Oktober 1928 melalui pernyataan Sumpah Bertumpah darah yang Satu, Berbangsa yang Satu dan Berbahasa yang Satu kemudian mengalami proses pendewasaan hingga hampir 17 tahun, dan baru mampu menentukan arah hidupnya sendiri dengan menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dengan membentuk Negara Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945 dengan disahkannya UUD’45 dimana tujuan daripada kelahiran, kemerdekaan dan dibentuknya NKRI bagi Bangsa Indonesia adalah untuk Mengangkat Harkat dan Martabat Rakyat Indonesia.

Tinggalkan komentar