Dear Jul…

IMG_1503-1

Jul bertengger di pohon medang. Foto: Rahmadi

“Jul datang, itu Jul,” teriak girang Musadat, sembari menunjuk pohon medang (Litsea sp.) yang tingginya sekitar lima meter. Sontak, mobil bergardan dua yang baru saja membawa kami melintasi pemukiman Suku Batin Sembilan, Hutan Harapan, Jambi, berhenti mendadak. Tanpa perlu komando, kami yang berada di dalam mobil bergegas keluar. Sementara, rekan yang berada di bak belakang terbuka segera melompat. Semua berpacu, melihat Jul lebih dekat.

Ibarat selebritis yang sudah dinanti, Jul pasang aksi. Ia keluarkan kemampuan terbaiknya di depan kamera. Kadang ia balik kiri, lalu putar kanan, dan sesekali mengembangkan sayap. Tidak sedikitpun rasa takut terpancar dari gerak tubuh Jul kala kami memfotonya. Burung liar paruh besar ini memang luar biasa.

“Jul istimewa,” ucap Musadat kembali. Sekitar Desember 2011 lalu, Jul terjatuh dari sarangnya ketika ia belum mampu terbang. Kala itu, warga Batin Sembilan bernama Sumo menemukan Jul tergeletak di tanah saat mencari getah jernang. Selanjutnya, Jul kecil bersama seekor anak rangkong badak diserahkan Sumo kepada Musadat dan rekannya untuk dirawat sekaligus sebagai penghuni baru kamp Hutan Harapan.

Sayangnya, hanya Jul yang bertahan sedangkan anak rangkong badak itu mati. Selanjutnya, Jul diajarkan mencari makan secara alami dengan cara menggantungkan buah pakannya di pohon jambu air. Awalnya, Jul diberikan buah berupa pepaya, semangka, atau juga pisang sebagaimana yang kita makan. Namun, buah-buahan itu diganti dengan buah yang ada di hutan seperti buah ara yang berkerabat dengan beringin. Tujuannya, agar Jul terbiasa dengan makanan hutan dan tidak kehilangan sifat liarnya.

Namun, lanjut Musadat, meski Jul sudah beberapa kali dilepasliarkan, ia selalu kembali terutama saat makan siang. Tanpa sungkan, ia mendekat. Bahkan, turun ke tanah. Ya, sifatnya yang menyenangkan ini, kami lihat kala mengunjungi Munce, warga Batin Sembilan, saat duduk di tenda tak jauh dari kamp Hutan Harapan. Tiba-tiba, Jul mendarat di tanah dan melompat-lompat ke samping. Kadang ke kiri, kadang ke kanan, mengitari tenda biru. Sesekali ia mematuk. “Sifatnya yang ‘mudah bergaul’ ini membuat Jul menjadi Maskot Hutan Harapan,” tutur staf Hutan Harapan ini.
**
Hutan Harapan merupakan rumahnya flora dan fauna di Indonesia. Sekitar 446 jenis pohon ada di sini, termasuk jenis yang dilindungi. Diantaranya adalah jelutung, bulian, tembesu, serta surian.

Hutan ini merupakan inisiatif restorasi ekosistem hutan produksi pertama di Indonesia yang berlokasi di Jambi dan Sumatera Selatan. Hutan seluas 98.555 hektar ini merupakan harapan bersama guna menyelamatkan hutan tropis dataran rendah Sumatera. Burung Indonesia bersama Konsorsium BirdLife yang telah memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Kawasan tersebut dinamakan Hutan Harapan yang pengelolaannya dilakukan oleh PT Restorasi Ekosistem (REKI). Tujuannya adalah memulihkan kawasan Hutan Harapan agar ekosistemnya kembali seperti semula.

Jambu hutan, tumbuhan yang ada di Hutan Harapan. Foto: Rahmadi

Jambu hutan, tumbuhan yang ada di Hutan Harapan. Foto: Rahmadi

Terhitung dari 2011 hingga 2013, PT REKI telah menanam bibit aneka jenis di Hutan Harapan sebanyak 30 ribu bibit. Ada tiga tempat persemaian di sini yaitu di Sungai Kapas, Sungai Beruang, dan Sungai Kandang. Menurut Hery Kuswanto, Supervisor Persemaian Hutan Harapan, bersama rekan-rekannya mereka menanami kembali Hutan Harapan agar “sembuh” sebagaimana sebelum ditebang.

Pentingnya Hutan Harapan terlihat dari luasnya hutan dataran rendah Sumatera. Saat ini luas hutan dataran rendah Sumatera yang tersisa adalah 500 ribu hektar, 98.555 hektar di antaranya berada di Hutan Harapan. Jadi, bila Hutan Harapan terganggu maka berdampak juga pada hutan dataran rendah Sumatera.

Prof. Ani Mardiastuti, Ketua Dewan Perhimpunan Burung Indonesia, dalam “Seminar International Restorasi Ekosistem di Hutan Tropis” di Bogor akhir 2013 lalu menyatakan bahwa hutan alam merupakan aset berharga yang harus dikelola secara lestari. Hutan tidak hanya memberi manfaat bagi masyarakat namun juga berperan sebagai habitat flora dan fauna.

Indonesia mempunyai potensi sumber daya hutan yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kesejehteraan masyarakat. “Restorasi Ekosistem diharapkan memberi solusi atas permasalahan kerusakan hutan Indonesia yang terjadi saat ini” ucap Avian Ecologist ini.

Di lain kesempatan, Prof. Dudung Darusman, Guru Besar Tetap Institut Pertanian Bogor (IPB), menjelaskan bahwa restorasi ekosistem merupakan solusi pemulihan hutan alam produksi Indonesia. Melalui restorasi ekosistem, upaya pengembalian unsur hayati (flora dan fauna) dan nonhayati (tanah, iklim, tofograpi) suatu kawasan kepada jenis aslinya berikut keseimbangan hayati dan ekosistemnya akan tercapai. Restorasi ekosistem juga berpeluang menyatukan bentang hutan alam yang terpisah bahkan mengurangi laju deforestasi dan emisi karbon.

Bila selama ini kayu sebagai primadona, melalui restorasi ekosistem banyak jenis manfaat yang bisa dipetik. Mulai dari tanaman biofarmaka (obat) dan bioenergi, penyerap karbon, ekowisata dan ilmu pengetahuan, hingga jasa lingkungan. Hasil kayunya juga dapat dimanfaatkan berbarengan dengan komoditas hasil hutan bukan kayu (non-timber forest products) seperti madu, jernang, rotan, bambu, getah, dan buah-buahan.

Kementerian Kehutanan melalui SK.5040/MENHUT-VI/BRPUK/2013 tanggal 21 Oktober 2013 telah mencanangkan areal hutan produksi yang akan di restorasi seluas 2.695.026 hektar. Hingga saat ini, dua belas izin telah diterbitkan dengan total areal 480.093 hektar.
**

Jul adalah satu dari 305 jenis burung yang hidup damai di Hutan Harapan. Ia tidak pernah kesulitan mencari pakan. Tidak hanya burung, harimau sumatera (panther tigris sumatrae) juga ada di sini. Bersama Musadat juga, kami melihat jejak kakinya yang masih segar di sekitaran Sungai Penyerukan. Kami senang sekaligus was-was kala menemukan bekas kaki “kucing” besar itu.

Lama tidak mendengar kabar Jul, kami coba mencari tahu bagaimana kondisi terakhirnya. Wajar, tingkah Jul yang manja meski burung liar, membuat siapa saja yang mengenalnya akan jatuh cinta. Setiap orang yang berkunjung ke Hutan Harapan pasti akan bercerita tentang Jul. Termasuk kami, meski baru sekali bertemu.

Jul merupakan burung julang emas, jenis rangkong, yang berukuran mencapai 100 cm. Nama Jul diambil dari julang emas. Cirinya adalah ekor putih, perut hitam, kepala krem dengan bulu halus kemerahan bergantung di tengkuk. Jenis ini tersebar di Kalimantan dan Sumatera serta cukup umum di hutan dataran rendah dan perbukitan hingga ketinggian dua ribu meter.

sarang buatan untuk rangkong. Foto: Rahmadi

Sarang buatan untuk rangkong di Hutan Harapan. Foto: Rahmadi

Bagi hutan, rangkong merupakan satwa yang memiliki andil besar untuk regenerasi hutan. Menurut para ahli, dalam seharinya julang emas (Aceros undulatus) dapat terbang dalam radius 100 km persegi. Artinya, seekor rangkong dapat menebar biji buah ara, pakan favoritnya, hingga 100 km. Margaret F. Kinnaird dan Timothy G. O’Brien dalam “The Ecology and Conservation of Asian Hornbills: Farmers of The Forest” menjuluki rangkong sebagai petani hutan karena kehebatannya menebar biji.

Jul sendiri merupakan satu diantara sembilan jenis rangkong yang ada di Sumatera. Jenis tersebut adalah enggang klihingan, enggang jambul, julang jambul-hitam, julang emas, kangkareng hitam, kangkareng perut-putih, rangkong badak, rangkong gading, dan rangkong papan.

Achmad Fachmi, Ecosystem Restoration Resource Center Assistant Burung Indonesia yang bertugas di Hutan Harapan, menuturkan bahwa Jul muncul kembali di penghujung Februari. Seminggu sebelumnya, ia dilepasliarkan di daerah Bato, sekitar 30 km dari kamp, yang masih wilayah Hutan Harapan, agar ia hidup liar di alam.

“Pagi itu Jul datang. Kepak sayapnya buk.. buk… buk.. laksana helikopter menandai kemunculannya,” ucap Fahmi. Mungkin, Jul rindu dengan suasana kamp Hutan Harapan. Dari pagi hingga sore, Jul berkeliaran dari sekitar kamp hingga Mitrazone (desa yang dibangun dengan pola kemitraan PT REKI dengan Suku Batin Sembilan), yang jaraknya sekitar dua kilometer.

Meski agak kurus, Jul terlihat lebih agresif. Bisa jadi karena nalurinya sebagai burung liar telah menyatu dengan alam. Atau, ia telah berkumpul dengan teman-temannya sesama jenis rangkong. Sebab, salah satu kegemaran burung ini adalah sering berbaur dengan rangkong lain di pohon buah. Namun, tiada yang berfirasat, bila inilah hari terakhir Jul.

Baru saja malam menyambangi Hutan Harapan, Jul ditemukan membujur kaku. Berita buruk yang sama sekali tidak diinginkan. Semua asumsi muncul, berbagai teori berseliweran mengenai kematiannya. Bisa jadi Jul salah makan, atau ada yang tidak suka dengannya. Tapi, bukti fisik menunjukkan ada lebam bekas pukulan di kepalanya. “Satu yang pasti, dua tahun Jul memberi nilai persahabatan berarti,” ujar Fahmi.

Sardi Duryatmo, redaktur pelaksana majalah pertanian terkemuka di Indonesia, kaget bukan kepalang mendengar kepergian Jul. Meski baru pertama melihat, Sardi langsung menyukai dan mengangkat Jul sebagai profil ceritanya. “Biarlah, Jul tetap kita kenang sebagaimana adanya,” tutur Sardi. Ya, akhir 2013 lalu, kami memang melakukan liputan bersama ke Hutan Harapan.

Selamat jalan, Jul. Semoga kamu senang di tempat barumu. Sebagaimana kisah masyur Ashabul Kahfi yang masuk surga bersama hewan yang mengiringinya, kami juga berandai demikian. Kami akan selalu merindukanmu. Merindukan tingkahmu yang lucu. Merindukan jasa-jasamu menebarkan biji di Hutan Harapan. Merindukanmu sebagai petani hutan tropis yang tangguh.

Dear Jul, semoga kamu baik-baik saja di sana.*

** Berdasarkan Buku Laju Deforestasi 2008 keluaran Departemen Kehutanan, Indonesia telah kehilangan sekitar 1,17 juta hektar hutan setiap tahunnya.

Leave a comment