“You have to learn the rules of the game. And then you have to play better than anyone else.” Albert Einstein.
This is a short story about my life. my game.
The following took place between Friday 10.00 AM to 02.00 PM, sometime in January 2012. (and of course, this has nothing to do with The 24 series 🙂
I’ve just arrived at my desk. Then I logged in to corporate systems, and the world, through my tiny netbook. I clicked on online presence control. Yes, we are not a military institution, but we try to implement some basic disciplines rules. The online presence control will keep my check-in and check-out time at the office. Can I do it remotely, out of office? Nope. Simple IP checking ensure that anyone that click on the system is indeed inside the office during the process. I heard that the system could be cracked and someone could do it remotely. What a silly idea. Why bother and wasting energy to do such cracking-hacking activity. The company won’t cut our salary based on this presence system anyway.
[sorry, auto translation system cracked into this post and take over the rest of the story :D]
Aktivitas rutinku adalah setelah login, cek email, cek tugas-tugas atau disposisi dari Bos, dan cek agenda hari ini. Setelah itu buka kompas.com, detik.com dan twitter. Di saat bersamaan, barista andalan kami, kang Wahyu mengantarkan secangkir kopi hitam dan segelas besar air mineral. Masih 3o menitan sebelum jam kerja resmi kantor dimulai. Masih ada waktu untuk menyelinap sejenak ke musholla kecil di sebrang toilet untuk menunaikan shalat dhuha. Kebiasaan kecil dan ringan yang sudah mendarah daging. Sejenak berkontemplasi bahwa diriku tak ada artinya tanpa daya upaya dan kuasaNya.
Kembali ke laptop. Terbersit untuk mencari tau apa yang dipikirkan oleh putri sulungku. Terlahir di keluarga besar dengan 6 bersaudara, sepertinya ayah ibuku dulu sibuk bekerja keras membesarkan kami berenam. Komunikasi internal keluarga adalah hal yang bukan menjadi keahlianku. Aku tak biasa (*nyanyi). Kami terbiasa struggle menghadapi masalah apapun sendiri. Cenderung introvert memang. Kucoba berubah lebih terbuka kepada keluargaku. Tak pernah mudah. Seperti harus re-coding DNA.
Dan sekarang ada hingar bingar social media yang ice breaking gagap komunikasi ini. Meski tak interaktif. Minimal kutau apa yang dilakukan saudara kandungku nun jauh di ujung timur pulau Jawa dan di ujung barat benua Afrika. Silent communication. Dan putri sulungku cukup aktif berkicau di twitter. Jadilah aku pendengar setia kicauannya. I followed her. But not vice versa :D.
Selanjutnya kuarahkan kotak pencari twitter dan kutuliskan akun putri sulungku. What a surprise. I think she is in love. Sebagai certified IT auditor, kulakukan pelacakan, audit trail, cross check seluruh eviden. Sampai kutemukan juga siapa ‘pacar’nya. Tak berhenti di situ. Kulakukan juga asesmen seperti apa anak laki yang berani mati berurusan dengan putriku. Surprising seberapa terbuka kita saat ini dengan social media. Hobi anak itu, kesehariannya, jalan pikirnya, fans tim mana, semua dia (dan kita?) publikasikan ke seluruh dunia lewat social media. Termasuk tanggal berapa mereka jadian, belum lewat seminggu yang lalu ternyata.
Isi kepalaku berputar keras. Processor besar di dalam batok kepalaku melakukan berbagai what-if scenario atas cinta monyet ini. Memory recall juga kulakukan ke waktu lebih dari 25 tahun yang lalu, saat diriku masih bercelana pendek biru di jalan sumatera 40 Bandung. Apa yang kulakukan saat itu? Ngobrol di teras sekolah pulang sekolah. That’s all. Anak ABG saat ini? Istilah ‘sange’ pun mereka paham. Ngeri. Kulakukan juga benchmark ke teman-teman kantor yang sudah punya anak ABG. Bagaimana mereka deal dengan hal seperti ini? Menyelesaiakna urusan cinta mnyet ini seperti permainan game, dan kalah bukanlah pilihan.
Akhirnya kudapatkan case study dari salah satu teman di kantor. Bahwa ABG akan protes bila dilarang pacaran. Referensinya adalah ayah ibu mereka sendiri. Emang ayah ibu dulu nggak pacaran? Anak sekarang emang pinter-pinter. Gizinya bagus kayaknya. Fakta-fakta dapat mereka olah untuk memperkuat argumentasi mereka. Dan tidak bersiap menghadapi fakta-fakta itu sama saja dengan pergi perang tanpa senjata. Pasti habis terbantai.
Akhirnya kudapatkan ‘senjata’ yang cukup untuk berbicara dengan putri sulungku. Kupikir perlu timing yang pas. Ojol-ojol ngajak bicara serius tentang cinta kuatirnya message-nya malah gak nyampe. Timing itu datang juga waktu sang putri bilang sepatu basketnya udah kekecilan, dan sakit kalo dipake. OK, let’s go. Di waktu lunch time kujemput dia untuk pergi ke toko olahraga. Bukan urusan gampang cari sepatu basket yang feminim. Basket sepertinya memang olahraga yang didominasi cowok, model sepatunya aja kali ada 98% buat cowok, sisanya buat cewek, dan ditaruh di tempat yang paling tidak strategis. Setelah melongok ke Sport Stations, Nike, Adiddas, balik lagi ke Sport Stations di mall yang berbeda, akhirnya ditemukan juga sepatu basket yang fit dengan selera si putri sulungku.
Cinta Monyet - pimpmyspace.org
Saat pulang, kubelokkan putriku ke counter JCo. Kuajak beli beberapa donut, dia pilih satu jenis minuman dan kupilih kopi. Perlu waktu menunggu pesanan siap. Good. Kuajak ke salah satu meja. Setelah duduk, langsung saja kuajak bicara serius.
“Papa tau soal si Gading (bukan nama sebenarnya, red)”, kataku. Dia membelalakkan mata. Tak siap untuk diajak bicara tentang hal itu.
“It’s just too fast. You gave your heart to easily…” kataku lagi. Ngetes apakah Kumon English Level H-nya menyisakan bekas di otaknya.
“Mau papa yang beresin urusan ini, atau mama aja?” kali ini mulai terkokang senjata. Berurusan dengan mamanya, sama aja dengan memulai perang dunia ke-3. Mamanya tak ragu untuk mengaktifkan seluruh sumber daya untuk mewujudkan keinginannya. Darah timur tengahnya yang kental membuat baik diriku maupun si putri sulung tau, apa yang akan terjadi seandainya mamanya tau hal ini dan mengambil alih penyelesaian perkara. Preemptive strike, pastinya. Persis George Bush yang ngawur nyerbu Irak dan Afghanistan. Dan ujung-ujungnya adalah perang berkepanjangan yang entah kapan ujungnya.
“Jangan,” katanya lirih.
“OK, kalo gitu dengerin papa. Ini terlalu cepat buatmu. Percaya sama papa, kau akan temukan orang yang tepat. Tapi pastinya bukan sekarang. Jangan batasi semestamu di sekolahmu sekarang. Akan ada banyak pria yang lebih baik dalam segala hal yang dapat kau pilih. Papa akan membantumu.” mulailah peluru-peluru kecil meluncur dari lidahku. Mungkin melukai, sedapat mungkin, tidak mematikan.
“Kamu masih mau masuk SMA 2 kan?” Tanyaku lagi. Dia mengangguk cepat. “Bagus. Sekarang kita fokuskan saja energi kita ke situ. Jangan biarkan dirimu menjadi lemah karena urusan laki-laki. Selesaikan hubunganmu dengannya. Move On. Bisa?” Tanyaku lagi. Dia tak menjawab, hanya menganggu lemah.
“Perjalanan hidupnya masih panjang. Raih cita-citamu. Dan kau akan menemukan orang yang tepat suatu saat nanti. Satu hal yang pasti, bukan sekarang !” kataku lagi. Lagi-lagi dia tak menjawab. Sepertinya masih shock dengan serangan fajar menjelang sore ini.
“Maaf Pak, pesanannya sudah siap…,” pelayan JCo memanggil kami tiba-tiba. “OK, saya ke sana.” Jawabku cepat. Kutatap mata putri sulungku. “Jangan kecewakan papa ya,” kataku pelan sambil menyentu pipinya. “Iya pa…” Jawabnya. Kamipun beranjak pergi ke parkiran di basement.
Sepanjang perjalanan mengantarnya kembali ke parkiran motornya, kukisahkan cerita-cerita rumitnya hubungan pria-wanita. Kuajak dia berpikir tentang kegagalan pernikahan yang terjadi di keluarga besar kami. Juga ketidakharmonisan antara mertua-menantu yang terjadi. Kucoba membuka wawasan putriku bahwa menjadi seorang wanita adalah tugas yang sangat rumit. Dan untuk bersiap menghadapi tugas rumit itu, perjuangan berat menanti di hadapannya. Kocoba fokuskan energi dan pikirannya untuk mencapai cita-cita. Dan kutegaskan bahwa aku sepenuhnya berada selangkah dibelakangnya untuk menggapai cita-citanya.
Cinta monyet ini memang harus berakhir cepat. Itu yang terbaik untuknya. Perjalanan hidupku yang lebih dari 40 tahun meyakinkanku akan hal ini.