SEP-5

Bagian V

Karena bukan hari-hari penting, kuil tempat Ah Jue bersama kakak dan adiknya pergi tidak ramai dan sesak. Suasana tenang mengingatkan Ah Jue akan nuansa spiritual menjelang kematiannya. Akhir-akhir ini kata ‘kematian’ sering berada di benaknya. Ah Jue berjalan lambat-lambat karena tubuhnya semakin lemah namun Ah Jue masih bersikap tenang seolah tidak ada hal ganjal yang bisa dirasakan Ben.

Ah Jue tidak mengikuti Ben untuk berdoa dan Ben juga tidak memaksanya. Sebelum itu, Ben menyuruh Ah Jue untuk berkeliling tidak jauh dari tempat Ben berdoa. Ah Jue tidak merespon. Ia berkeliling dengan langkah seperti siput kemudian ia duduk di sebuah paviliun yang menampakkan pemandangan kota di bawahnya.

Orang lain mungkin tidak sadar, saat ini Ah Jue berjuang untuk bernafas dengan baik sembari menahan tangannya yang gemetar. Walaupun tidak ada orang di sekitar, Ah Jue tidak ingin pemandangan menyedihkannya terpapar. Sekitar waktu sepuluh menit, akhirnya pernafasan Ah Jue berlangsung normal. Mungkin Ben telah menunggunya maka Ah Jue bersiap untuk pergi. Hanya saja ketika ia berdiri matanya terpaku kepada sosok yang tiba-tiba memasuki paviliun.

Lelaki tampan itu lagi. Seperti takdir, untuk ketiga kalinya mereka bertemu di tempat yang Ah Jue tidak sadari.

Lelaki tampan itu jelas juga tidak mengharapkan kondisi ini. Sejenak ia terpaku saat sepasang mata jernih itu menatapnya dengan rumit. Hanya saja itu terjadi sesaat sehingga membuat lelaki tampan itu merasa berhalusinasi. Walaupun pertemuan ini sangat canggung sikap lelaki itu masih sama.

Wajahnya yang acuh tak acuh dengan sepasang mata yang malas menatap Ah Jue tidak peduli.

Ah Jue ingin mengatakan sesuatu tetapi ia menelan kata-katanya kembali. Tidak sangup menatap laki-laki itu lama-lama, Ah Jue berjalan melewatinya seolah tidak menyadari kehadiran lelaki tampan itu.

Tidak seperti biasanya, lelaki itu menghentikan langkah Ah Jue. “Tunggu sebentar.”

Ah Jue tersentak. Ia tidak menyangka bahwa lelaki itu akhirnya berinisiatif berbincang dengannya. Ah Jue membalikkan tubuhnya yang ringkih memandang lelaki tampan itu penuh rasa ingin tahu. Sedangkan lelaki tampan itu tiba-tiba merogoh saku jaketnya dan menyodorkan sesuatu yang terbungkus dalam plastik.

“Ini…” kata lelaki tampan itu dengan nada lambat.

Ah Jue menatap tangkai itu dengan suara rendah. “Itu tidak akan mengabulkan permohonan yang kali kedua.”

“Ini tangkai yang lain,” katanya masih acuh tak acuh.

“Terima kasih.”

Lelaki itu mengangguk pelan. “Hm.”

Tidak berniat lama-lama, lelaki itu meninggalkan Ah Jue tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.

Kali pertama Ah Jue bertemu dengan lelaki itu, Ah Jue memberikan tangkai semanggi empat daun itu tanpa sedikitpun merasa berat hati seolah-olah keberadaan semanggi empat daun itu tidaklah penting bagi kehidupannya. Selanjutnya kali terakhir Ah Jue bertemu dengan lelaki itu, malahan lelaki itu yang kemudian memberikan setangkai semanggi empat daun dengan sikap acuh tak acuhnya kepada Ah Jue.

Selain itu, kali pertama Ah Jue bertemu dengan lelaki itu, perpisahaan mereka berakhir dengan Ah Jue pertama kali menatap lama punggung lebar itu.

Dan sekarang kali terakhir Ah Jue bertemu dengan lelaki itu, perpisahaan mereka berakhir dengan Ah Jue juga menatap lama punggung lebar itu.

Ah Jue menatap semanggi empat daun di telapak tangannya dengan senyum pahit. “Sepertinya, kali ini benar-benar yang terakhir, ya, Lelaki Tampan?”

Suara itu perlahan hilang beserta hembusan angin yang menerbangkan daun maple di sekeliling Ah Jue.

“Ah Jue….” panggil Ben tiba-tiba. “Ayo pulang.”

Ah Jue menganggukkan kepalanya dan langsung menyembunyikan daun itu dalam jaket tebalnya.

Sesampainya di rumah, Ben bersama Ah Nan langsung pergi lagi. Katanya, Ben hari ini akan memasak semua makanan kesukaan Ah Jue. Ah Jue hanya mengangguk pelan tanpa merasakan sedikitpun kebahagian. Sebenarnya sejak dalam bus perjalanan pulang, Ah Jue merasakan nafasnya kembali melambat beserta nyeri yang tak tertahankan di tubuhnya. Oleh karena itu tanpa pergerakan lain, Ah Jue langsung berbaring di kasur besertai batuk yang terus berkepanjangan. Ah Jue merasa sangat lelah seolah-olah semua energi perlahan-lahan habis dan juga kesadaran Ah Jue menjadi samar-samar. Sebentar jelas sebentar kabur.

Di sela-sela batuknya, Ah Jue tersenyum pahit lalu meringis karena nyeri yang sangat membuat Ah Jue menderita tetapi ia tidak mau mengeluarkan suara apapun.

“Ah…… Sebentar lagi, ya?”

Seakan menyadari sesuatu, Ah Jue merogoh kantong jaketnya dan nampaklah semanggi empat dauh yang terbungkus dalam plastik bening kecil. Ah Jue mengeluarkan tangkai semanggi itu dan mencubit ujung tangkainya sehingga daun semanggi itu berdiri tegak di depan hidungnya.

Untuk pertama kalinya Ah Jue berpikir semanggi empat daun ini mungkin bisa mengabulkan permohonannya sebagaimana yang terus dibualkan oleh adik lelaki tampan itu dan juga temannya, Sofia, yang sering mengoceh sesuatu tidak penting yang bernama ‘keajaiban’.

Dengan suara yang nyaris seperti bisikan, Ah Jue berbicara, “Aku berharap… Tuhan membiarkan aku mati dengan damai.”

Seakan mendengar permohonan Ah Jue yang sangat sederhana, semua nyeri dan sesak nafas beserta batuknya tiba-tiba berhenti.

“Terima kasih,” bisik Ah Jue di depan daun semanggi itu dengan senyuman.

Untuk pertama kalinya sejak Ah Jue mengetahui ia menderita kanker, hari ini Ah Jue tersenyum dengan sangat tulus seakan ini yang diharapkannya sejak lama.

**

“Wah kuenya sangat cantik!!! Ah Nan juga mau kue yang seperti itu saat ulang tahun Ah Nan.”

Ben tersenyum menatap adik kecilnya. Ketika sampai di rumah, Ben membiarkan Ah Nan nonton televisi sementara Ben berjalan menuju kamar Ah Jue untuk memberikannya makanan kecil agar ia tidak kelaparan sebelum merayakan ulang tahunnya. Ketika Ben membuka pintu kamar, Ben melihat Ah Jue tertidur dengan tangan terlipat di depan perutnya. Ben tidak enak hati untuk membangunkan Ah Jue tetapi sebelum menutup pintu, Ben melihat selimut Ah Jue hanya berada sampai dilututnya. Maka, Ben berniat merapikan selimut Ah Jue terlebih dahulu.

Ben tidak memperhatikan wajah Ah Jue, ia langsung meraih selimut dan mendorongnya sampai ke dada Ah Jue. Ketika Ben mengambil tangan Ah Jue untuk diletakkan di luar selimut, pergerakan Ben terhenti.

Tidak!

Tangan Ben bergetar ketika ia merasakan tangan adik perempuannya sangat dingin. Seakan ia berilusi, Ben kemudian mengarahkan pandangannya ke dada Ah Jue. Hanya saja, tidak ada sedikitpun gerakan pernapasan di dada Ah Jue.

“Oh Tidak… Ah Jue???” Ben berkata dengan suara tercekat lalu dengan pelan memegang pipi Ah Jue dengan lembut. “Ah Jue.. Ah Jue.. Heii.. Bangun.. Bukankah kita akan merayakan ulang tahunmu?”

Suara Ben nyaris berbisik dan terus berulang berkata ‘bangun’ dengan tangannya yang menepuk lembut pipi Ah Jue yang dingin.

“Ah Jue.. Ayo bangun..” panggil Ben berulang kali.

Wajah Ah Jue yang tirus itu sepucat mayat. Matanya tertutup dengan bibir membentuk garis lurus. Ah Jue terus diam seakan-akan tidak mendengar panggilan Ben. Di mata dan pipi Ah Jue sudah ada bertetes-tetes air mata. Ben menatap Ah Jue dengan wajah yang menyiratkan rasa kesakitan. Sesuatu menahan tenggorokannya ketika suhu dingin di tubuh adiknya menyentakkan kebenaran menyakitkan.

Sesekali suara isakan lolos dari mulut Ben. Dengan tangan gemetar, Ben memegangi kedua pipi Ah Jue lalu menundukkan kepalanya untuk mencium kening Ah Jue.

“Pergilah dengan damai, Ah Jue-ku tersayang.”