“Aku tahu, masa kecilmu bahagia. Rumahmu dekat masjid. Kau tentu taka sing dengan ayat-ayat suci Alquran, bukan?”
Novel tipis sekali telan. Dini hari tadi jam 1-2 pagi, selesai. Oleh karenanya konsistensi para karakter dengan cepat berubah dan dramatisasi gegas dilakukan. Novel jenis ini biasanya happy ending, sehingga arahnya tertebak. Lika-liku pelacur yang ingin tobat, mendapat badai pertentangan sebab orang mau menjadi baik selalu ada rintangannya. Di sini ujian tokoh utama adalah ingin keluar dari lumpur dosa, ingin menikah dengan pria baik sehingga masa lalunya sebagai pelacur bisa dibenamkan. Namun itu tak mudah fergussooo…
Kisahnya tentang Susi Aryanti yang pernah menikah dua kali, tapi cerai semua. Di usia 26 tahun suah dua kali menjanda. Menjadikannya pelacur high class. Di pembuka ia kena gerebek polisi untuk ditata sebab tempatnya mangkal illegal. Kebetulan sang pemimpin razia adalah Kapten Bagus Dewa, dan yang ketangkap salah satunya adalah Melanie (nama beken pelacurnya) alias Susi, alias mantan kekasihnyasewaktu sekolah dulu. Maka terjadilah perang batin.
Dewa usia 27 tahun sudah jadi kapten, masih lajang. Cintanya pada Susi begitu kuat dan susah move on. Maka penangkapan mantan kekasihnya ini malah menjadikannya kembali nostalgia. Seolah tangkapan special, sang kapten sendiri yang mengantarnya pulang. Dalam perjalanan terjadi gemuruh perang batin. Apakah etis, apakah tak takut namanya tercoreng? Cinta memang buta.
Malam itu dengan kesadaran penuh, setelah lama tak bertemu, mereka memadu kasih. Susi janda, Dewa jejaka. Mengikat diri untuk berumah tangga. Polisi dengan masa depan cerah ini memertaruhkan jabatannya, nganu pelacur yang ditangkap. Lebih meresikokan diri dengan melamarnya. Susi khawatir nantinya Dewa akan menyesal menikahi pelacur, dan meminta untuk memikirkan lebih mendalam, cinta memang buta. Maju terus!
Dewa meminta izin ke atasannya, dan boom! Letnan Kolonel Polisi Rustam atasannya adalah pelanggan Melanie. Betapa canggungnya dua insan ini dalam ruang tertutup. Bahkan sebelum menikah Sang Letnan meminta Melanie melayaninya demi mendapat surat izin, tapi ditolak dengan tegas. Begitu pula saat Dewa dipanggil, ditanyakan apakah tahu latar belakang calon istrinya? Tahu, cinta memang buta.
Ujian datang saat Susi di rumah sendirian, mantan suami yang seorang narapidana datang. Merayunya, meminta maaf. Hardjo kini ingin kesempatan kedua, padahal Susi sudah menyiapkan pernikahan. Meminta cium ditolak, meminta waktu dengan paksa. Hardjo yang berusia hampir setengah baya, yang cocok jadi ayahnya akhirnya berhasil meluluhkan hatinya. Nah, drama banget, kebetulan Dewa datang memergoki. Sungguh dramatisasi ala kadarnya. Dan dengan anehnya malah memutuskan hubungan. Lho.. lho.. semudah ini. cinta memang buta? Ketawalah.
Pada akhirnya Susi balik ke mantan suaminya yang tua itu. Memberi kesempatan kedua. Hardjo digambarkan sudah tua, loyo sehingga Susi yang masih segar di usia 26 tahun mencoba membangkitkannya. Dalam pengakuannya, Hardjo bilang mandul. Jadi anak siapa dari istri pertama itu? Lukcy secara KK adalah anaknya tapi ini malah memberitahunya bahwa istrinya menyeleweng. Lukcy punya dendam, sebab menyalahkan Susi sebagai akibat kematian ibunya. Nah, di sinilah sejatinya konflik cerita. Sang penjahat Lukcy merongrong ibu tiri.
Sementara Dewa yang susah move on malah tiba-tiba dikoneksikan oleh Susi di kafe dengan gadis cantik anak jenderal: Lia (keturunan Jawa – Manado) pastilah cantek. Dan yang katanya susah move on, eh kepincut dan di hari pertama kenalan langsung ngomongin persyaratan menjadi pasangan. Ada 3 kriteria. Dan begitulah, gampang amat.
Dengan segela konsekuensi dan permasalahan yang disajikan berhasilkah Susi keluar dari lumpur dosa? Apakah ada kesempatan kedua? Membayangkan janda 2x di usia 26 tahun sungguh membuat kerut kening, dan biarlah pesawat itu terbang ke Kanada.
Mengingatkanku pada ending cerita Sidney Sheldon, duduk di kursi pesawat menjadi ending yang (coba) menghentak.
Buku seperti ini menjadi menarik setelah baca buku Cantik itu Luka-nya Eka Kurniawan. Stensil mendukung adegan dalam novel. Makanya mulai tahun lalu saya beli beberapa buku sejenis. Kebetulan keduanya yang sudah kuulas isinya biasa saja. Gadis Hotel dan Lumpur Dosa masih sangat aman untuk konsumsi umum, tak ada adegan vulgar seperti buku jadul yang pernah kubaca karya Fredy S. Alurnya juga tak perlu berpikir sampai kerut kening, masalah umum keseharian manusia yang mengejar kebutuhan primer, dan kebutuhan batin: seks. Lumpur Dosa bahkan adegan seks hanya 3. Ketika kapten mampir ke mantan kekasih. Ketika mantan suami datang menyapa kembali. Dan adegan nyaris pembantu dan sopir. Selebihnya aman. Adegan kekerasan juga aman sekalipun ada yang terluka hingga tewas.
Penggambarannya sepintas dan serasa jauh, artinya sang tokoh utama hanya mendengar bahwa seseorang kena sabet hingga kritis, yang lantas mati. Jelas ini buku stensil yang sungguh soft.
Dicetak tanpa ISBN, distribusi novel stensil tampaknya rapuh. Namun konsumen selalu ada, makanya zaman dulu buku sejenis ini terus dibuat, terus dijual. Pasar memang memerlukannya. Yang jadi pertanyaan, bagaimana di era digital sekarang? Dengan distribusi informasi secepat kilat, buku-buku cetak memang terancam. Bobot mutu menjadi lebih mahal, sementara kualitas stensil ya seperti ini, serba nanggung. Saya tak tahu apakah masih ada yang buat di era sekarang? Ataukah sudah berpaling laiknya sastra seperti yang Eka Kurniawan lakukan. Laku, dibalut seni. Apapun itu, perjuangan penulis lokal makin berat. Jayalah kalian para penjual buku. Thx.
Lumpur-Lumpur Dosa | by Mira Karmila | Penerbit Semarak, Jakarta | Cetakan pertama, 1994 | Setting M. Yohandi | Skor: 2/5
Karawang, 050624 – Teri Thornton – Where Are You Running?
Thx to Ade Buku, Bdg3 #30HariMenulis #ReviewBuku
#3 #30HariMenulis #ReviewBuku