Lumpur-Lumpur Dosa #3


“Aku tahu, masa kecilmu bahagia. Rumahmu dekat masjid. Kau tentu taka sing dengan ayat-ayat suci Alquran, bukan?”

Novel tipis sekali telan. Dini hari tadi jam 1-2 pagi, selesai. Oleh karenanya konsistensi para karakter dengan cepat berubah dan dramatisasi gegas dilakukan. Novel jenis ini biasanya happy ending, sehingga arahnya tertebak. Lika-liku pelacur yang ingin tobat, mendapat badai pertentangan sebab orang mau menjadi baik selalu ada rintangannya. Di sini ujian tokoh utama adalah ingin keluar dari lumpur dosa, ingin menikah dengan pria baik sehingga masa lalunya sebagai pelacur bisa dibenamkan. Namun itu tak mudah fergussooo…

Kisahnya tentang Susi Aryanti yang pernah menikah dua kali, tapi cerai semua. Di usia 26 tahun suah dua kali menjanda. Menjadikannya pelacur high class. Di pembuka ia kena gerebek polisi untuk ditata sebab tempatnya mangkal illegal. Kebetulan sang pemimpin razia adalah Kapten Bagus Dewa, dan yang ketangkap salah satunya adalah Melanie (nama beken pelacurnya) alias Susi, alias mantan kekasihnyasewaktu sekolah dulu. Maka terjadilah perang batin.

Dewa usia 27 tahun sudah jadi kapten, masih lajang. Cintanya pada Susi begitu kuat dan susah move on. Maka penangkapan mantan kekasihnya ini malah menjadikannya kembali nostalgia. Seolah tangkapan special, sang kapten sendiri yang mengantarnya pulang. Dalam perjalanan terjadi gemuruh perang batin. Apakah etis, apakah tak takut namanya tercoreng? Cinta memang buta.

Malam itu dengan kesadaran penuh, setelah lama tak bertemu, mereka memadu kasih. Susi janda, Dewa jejaka. Mengikat diri untuk berumah tangga. Polisi dengan masa depan cerah ini memertaruhkan jabatannya, nganu pelacur yang ditangkap. Lebih meresikokan diri dengan melamarnya. Susi khawatir nantinya Dewa akan menyesal menikahi pelacur, dan meminta untuk memikirkan lebih mendalam, cinta memang buta. Maju terus!

Dewa meminta izin ke atasannya, dan boom! Letnan Kolonel Polisi Rustam atasannya adalah pelanggan Melanie. Betapa canggungnya dua insan ini dalam ruang tertutup. Bahkan sebelum menikah Sang Letnan meminta Melanie melayaninya demi mendapat surat izin, tapi ditolak dengan tegas. Begitu pula saat Dewa dipanggil, ditanyakan apakah tahu latar belakang calon istrinya? Tahu, cinta memang buta.

Ujian datang saat Susi di rumah sendirian, mantan suami yang seorang narapidana datang. Merayunya, meminta maaf. Hardjo kini ingin kesempatan kedua, padahal Susi sudah menyiapkan pernikahan. Meminta cium ditolak, meminta waktu dengan paksa. Hardjo yang berusia hampir setengah baya, yang cocok jadi ayahnya akhirnya berhasil meluluhkan hatinya. Nah, drama banget, kebetulan Dewa datang memergoki. Sungguh dramatisasi ala kadarnya. Dan dengan anehnya malah memutuskan hubungan. Lho.. lho.. semudah ini. cinta memang buta? Ketawalah.

Pada akhirnya Susi balik ke mantan suaminya yang tua itu. Memberi kesempatan kedua. Hardjo digambarkan sudah tua, loyo sehingga Susi yang masih segar di usia 26 tahun mencoba membangkitkannya. Dalam pengakuannya, Hardjo bilang mandul. Jadi anak siapa dari istri pertama itu? Lukcy secara KK adalah anaknya tapi ini malah memberitahunya bahwa istrinya menyeleweng. Lukcy punya dendam, sebab menyalahkan Susi sebagai akibat kematian ibunya. Nah, di sinilah sejatinya konflik cerita. Sang penjahat Lukcy merongrong ibu tiri.

Sementara Dewa yang susah move on malah tiba-tiba dikoneksikan oleh Susi di kafe dengan gadis cantik anak jenderal: Lia (keturunan Jawa – Manado) pastilah cantek. Dan yang katanya susah move on, eh kepincut dan di hari pertama kenalan langsung ngomongin persyaratan menjadi pasangan. Ada 3 kriteria. Dan begitulah, gampang amat.

Dengan segela konsekuensi dan permasalahan yang disajikan berhasilkah Susi keluar dari lumpur dosa? Apakah ada kesempatan kedua? Membayangkan janda 2x di usia 26 tahun sungguh membuat kerut kening, dan biarlah pesawat itu terbang ke Kanada.

Mengingatkanku pada ending cerita Sidney Sheldon, duduk di kursi pesawat menjadi ending yang (coba) menghentak.

Buku seperti ini menjadi menarik setelah baca buku Cantik itu Luka-nya Eka Kurniawan. Stensil mendukung adegan dalam novel. Makanya mulai tahun lalu saya beli beberapa buku sejenis. Kebetulan keduanya yang sudah kuulas isinya biasa saja. Gadis Hotel dan Lumpur Dosa masih sangat aman untuk konsumsi umum, tak ada adegan vulgar seperti buku jadul yang pernah kubaca karya Fredy S. Alurnya juga tak perlu berpikir sampai kerut kening, masalah umum keseharian manusia yang mengejar kebutuhan primer, dan kebutuhan batin: seks. Lumpur Dosa bahkan adegan seks hanya 3. Ketika kapten mampir ke mantan kekasih. Ketika mantan suami datang menyapa kembali. Dan adegan nyaris pembantu dan sopir. Selebihnya aman. Adegan kekerasan juga aman sekalipun ada yang terluka hingga tewas.

Penggambarannya sepintas dan serasa jauh, artinya sang tokoh utama hanya mendengar bahwa seseorang kena sabet hingga kritis, yang lantas mati. Jelas ini buku stensil yang sungguh soft.

Dicetak tanpa ISBN, distribusi novel stensil tampaknya rapuh. Namun konsumen selalu ada, makanya zaman dulu buku sejenis ini terus dibuat, terus dijual. Pasar memang memerlukannya. Yang jadi pertanyaan, bagaimana di era digital sekarang? Dengan distribusi informasi secepat kilat, buku-buku cetak memang terancam. Bobot mutu menjadi lebih mahal, sementara kualitas stensil ya seperti ini, serba nanggung. Saya tak tahu apakah masih ada yang buat di era sekarang? Ataukah sudah berpaling laiknya sastra seperti yang Eka Kurniawan lakukan. Laku, dibalut seni. Apapun itu, perjuangan penulis lokal makin berat. Jayalah kalian para penjual buku. Thx.

Lumpur-Lumpur Dosa | by Mira Karmila | Penerbit Semarak, Jakarta | Cetakan pertama, 1994 | Setting M. Yohandi | Skor: 2/5

Karawang, 050624 – Teri Thornton – Where Are You Running?

Thx to Ade Buku, Bdg3 #30HariMenulis #ReviewBuku

#3 #30HariMenulis #ReviewBuku

Perfect Digestion #2


“Waktu terbaik untuk bangun adalah hal penting yang harus diperhatikan. Jam 06:00 adalah titik yang paling penting.”

Mulanya saya tak paham apa itu digestion. Beli karena diskon, dan nama Deepak Chopra beberapa kali muncul di lingkar jualan buku. Setelah kubaca pahamlah artinya, pencernakan (makan) sempurna. Pencernakan sendiri adalah proses metabolism untuk mengubah secara kimia atau mekanik suatu zat untuk jadi nutrisi. Ini buku tentang tata kelola makan agar tubuh sehat dan bugar.

Menukil banyak sekali, atau hampir semua hal bersandar pada Ajaran Ayuwerda kuno. Maka tagline ini berulang disebut, “Tanpa mekanan yang tepat, obat tidak berguna, dan dengan makanan yang benar obat tidak diperlukan.”
Saya baca santuy sebulan ini sebagai selingan di antara buku fiksi. Ternyata banyak sekali cara makan kita yang perlu diperbaiki. Seperti mengenali makna sentral intelegensi adalah seperti mengenali sebuah pohon yang terdiri dari elemen-elemen structural yang ebrlainan seperti cabang, kulit, daun, dan biji. Mengacu pada ajaran Ayuwerda yang mengakui enam rasa berlainan: manis, asam, asin, dan pahit adalah empat yang mungkin sudah kita kenal, ada dua lagi yaotu pedas dan astrigen. Semua makanan yang berbumbu panas adalah pedas, sedang astrigen adalah rasa yang memiliki kualitas mengeringkan dan menyebabkan mulut berkerut. Delima, miju-miju, apel, pir, dan buncis adalah contohnya. Dengan keanggunan yang khas bagi fungsi-fungsu alami, keenam rasa tersebut dicerna secara berurutan.

Dalam memutuskan makanan apa yang masuk dalam diet Anda, prinsip penting pertama adalah: semakin segar makanan, semakin baik. Tetapi ingat, segar tidak selalu berarti mentah. Sebaiknya makanan yang baru dimasak, seimbang, utuh dengan banyak sayuran dan padi-padian. Sebisa mungkin hindari makanan kemasan dan makanan yang dipersiapkan dengan zat kimia dan zat pengawet.

Ayuwerda mengandalkan beberapa faktor untuk menentukan urutan optimal makanan. Namun hal terpenting adalah makanan yang lebih “berat” harus disantap lebih awal dan makanan yang lebih ringan belakangan. Dalam beberapa hal, tubuh Anda selalu “mencerna” lingkungan tempat Anda berada, dan hal ini dilakukan melalui indra Anda. Maka penyeimbangan indra merupakan aspek penting guna menciptakan kesimbangan dalam keseluruhan fisiologi.

Setiap hari matahari terbit, matahari terbenam, dan tak terhingga banyaknya hal terjadi di antaranya. Alam sedemikian indah tertata sehingga seberapa pun berbedanya hal tesebut, mereka semua merupakan bagian dari satu irama pemersatuan tunggal… namun, banyak perubahan di dala tubuh yang masih menjadi misteri. Mengaoa orang biasanya lebih berat di malam hari? mengapa tangan kita lebih hangat di pagi hari jam 2? Dst… jawaban Ayuwerda adalah masing-masing dari kita memiliki siklus utama (master cycle) yang diatur tubuh mekanika kuantum (mechanical quantum body), dan tubuh berupaya mensingkronkan iramanya dengan irama alam. Kita ditakdirkan untuk mengendarai dan mengikuti gelombang alam, bukan melawannya.

Sinyal-sinyal itu muncul hanya dalam dua bentuk: menyenangkan dan tidak menyenangkan. Ajaran medis konvensional menyatakan bahwa buang air besar dua kali seminggu masih dapat dianggap normal. Namun menurut Ayurweda seyogyanya buang air besar setiap hari untuk mengeluarkan ampas dan toksin yang terbentuk dari hari sebelumnya. Sebaiknya mulai menata rutinitas yang akan mendorong kebiasaan alami ini.
Minum segelas air hangat segera setelah bangun tidur dapat mendorong buang air besar. Air hangat mengaktifkan refleks gastrokolika (refleks lambung usus besar) yang berarti merangsang usus besar dengan memasukkan sesuatu yang hangat di lambung.
Sebaiknya jangan membaca saat duduk di toilet sebab kegiatan membaca memerlukan sub-dosha Vata yang mengendalikan fungsi-fungsi mental, yang juga bertanggungjawab untuk aliran ke atas Vata.

Thabib Ayuwerda, Cherak; “Dengan berolahraga kita akan memperoleh perasaan ringan, kemampuan untuk bekerja, keteguhan, toleransi terhadap kesulitan, pengurangan pencemar fisik, dan penguatan pencernakan serta metabolism.

Olahraga termasuk seksi yang dibahas banyak di akhir. Duh, kangen olah tubuh di depan Perpus dengan palikasi HP. Maka tujuan olahraga bukan untuk menghabiskan semua energi Anda, tetapi menambahnya. Maka jangan pernah olahraga kapasitas total, berhentilah selagi Anda merasa masih segar dan nyaman, baik mental dan fisik. Saya sendiri mempunyai 3 olahraga rutin: Futsal (Rabu dan Jumat), Bulutangkis (Selasa), Senam (5 kali seminggu setiap pagi). Dan sesekali naik gunung, sesekali lari, sesekali jalan kaki keliling kompleks. Termasuk diusahakan ke Masjid jalan kaki kalau tak mefet waktu khomatnya. Ini termasuk bagus sebenarnya, hanya perlu konsistensi. Sama jalan kaki ke depan ruko sekitar 300 meter ketika belanja di alfamart/indomart.

Sejatinya ajaran buku ini benar-benar duplikasi Ayurweda, disadur secara kasar poin-poinnya saja sehingga di daftar pustaka buku Ayurweda karya Kapoor LD dicantumkan. Ini buku pertama Deepak yang kubaca dan Ok. Menjaga kesehatan dengan mengatur pola makan, menjaga pencernakan agar seimbang jelaslah penting. Semoga bisa konsisten menerapkannya.

Ini adalah catatan kedua #30Menulis #ReviewBuku di hari keempat bulan Juni. Nah, untuk 2 tulisan pending mohon dimaklumi sebab hari libur saya naik gunung Gede jadi ya lelah, fokus istirahat. Dua tulisan itu akan saya selipkan dalam beberapa hari ke depan sehingga nanti hari ke-10, tanggal 10 Juni jumlah posting pun 10. Terima kasih.

Perfect Digestion | by Deepak Chopra, M.D. | Copyright 1995 | 00000948 | Pengalih bahasa Brahm Udumbara P. | POenyunting Kartika Simatupang | Desain Be | Penerbit Bhuana Ilmu Populer | xii, 164 hlm; 21 cm | ISBN 979-694-693-9 | Skor: 3.5/5

Karawang, 040624 – Dorothy Dandridge – That Old Feeling

Thx to Saut, Jkt2 #30HariMenulis #ReviewBuku

#2 #30HariMenulis #ReviewBuku

Dari Festival ke Festival


“Palajaran apa yang dapat kita ambil dari mengamati hubungan antara sejarah Amerika dan film-film Amerika. Bisakah analisis yang sama kita lakukan terhadap film-film kita?”

Alasan pertama saya beli buku ini adalah ini tentang film festival. Dulu tahun 2000an saya berpikir bahwa film festival adalh film-film seni, film anti-mainstream. Film yang tak tayang di bioskop umum, atau kalaupun tayang terbatas. Jadi saya penasaran seperti apa isinya. Ternyata ini buku cetak tahun 1994, jadi isinya banyak membahas film di tahun tersebut mundur. Festivalnya juga tak main-main, di banyak Negara. Penulis datang langsung, menonton langsung, sampai diskusi langsung. Jelas bukan orang sembarangan sebab untuk dapat menikmati film seni, tak semua orang bisa. Untuk tinggal beberapa hari di negeri orang jelas butuh modal gede. Dan yang terpenting, untuk bisa dapat tiket di festival penting sekali punya koneksi. Itu semua memberi gambaran bahwa Salim Said orang penting di masanya, di masa prime-nya jelas sahabat dan koneksinya luas.

Kedua, di zaman digital saat ini semua film-film seni yang dipapar pastilah lebih mudah dicari. Makanya, saya buat daftarnya. Film saat ini tetap saya ikuti, walaupun lebih banyak Oscars-nya, sesekali film mainstream. Atau film daging, tapi jelas selalu saya selipkan film jadul. Dengan buku ini, saya seolah disortirkan.

Ketiga, tatanan film festival jelaslah ada aturannya untuk masuk. Di sini kita tak dijelaskan bagaimana film-film itu dipilih. Apakah dikirimkan, apakah ditunjuk, atau apakah keduanya. Yang jelas butuh modal untuk promosi, butuh pertemanan untuk masuk. Nah, tahun 2010-an saya beberapa kali nonton film festival di Jakatarta. Selain masih miskin untuk travel ke kota-kota lain, apalagi luar Pulau Jawa, ke Jakarta memang banyak teman yang menyambut, makanya sesekali ikut nonton. Hasilnya? Memang bagus, seperti menghormati film-film bujet kecil. Film rekomendasi dari buku ini, saya catat lima saja yang belum kutonton: The Servant, The Kommisar, An Enemy of The People, Yun’s Town, dan Farewell to False Paradise. Selain lima ini tentu saja banyak, tapi tetap kudu pilah ketat sebab memang terlalu banyak tontonan, terlalu sedikit waktu.

Terakhir, ini bakalan jadi buku cult. Langka, dan ketika nantinya kujual bakalan naik. Kubeli 35 ribu, siapa tahu nantinya jadi 100 ribu atau lebih. Apalagi, minggu lalu sang Penulis pamit, makin menambah daya jual. Sejatinya untuk koleksi, tapi kalau ada yang nawar yo gas wae.

Well, saya tak akan membahas panjang lebar isi buku. Poin pentingnya adalah, Salim Said melakukan perjalanan ke laur negeri (dari Eropa, Amerika, sampai Asia Timur), menonton film-filmnya (jelas bukan subtitle Indonesia), lalu mengulasnya di sini. Bertemu bintang-bintang ternama dari Dedy Mizwar, Arifin C. Noor, Didi Petet sampai Rosihan Anwar. Karena itu sebagian besar informasi diperoleh lewat dialog. Sulit dihindari kesan kuat bahwa film ini kurang filmis. Film filmis, lebih banyak menyampaikan ceritanya, lebih banyak menggunakan bahasa gambar dengan sedikit dialog.

Nama Kurosawa berulang kali disebut ketika Jepang dibahas. “Film-film Kurosawa adalah menghibur, tetapi sekaligus karya seni yang tinggi.” Film Lawrence of Arabia bahkan diulas khusus. Nama Rosihan Anwar disebut lebih sering, dimaklumi sesama orang Indonesia yang ditugaskan ke sana. Dan saat ulik film Perang, maka Vietnam bakalan dikupas. “Lewat peliputan perang Vietnam, kematian yang sering amat mengerikan merupakan tontonan tetap – lewat layar televise – sebelum orang-orang Amerika berangkat tidur setiap malam.” Film Apocalypse Now mengangkat persoalan ke tingkat filosofis, teror meupakan bagian dari hidup manusia, dan bukan hasil suatu kejadian historis.

Saat membahas sejarah, tentunya Chaplin terdepan. “Chaplin pada dasarnya adalah orang yang membuat film dengan prinsip audience approach. Istilah tahun tujuh puluhan yang terdengar santer di Direktorat Film, Departemen Penerangan (Deppen). Bedanya Chaplin adalah audience approach yang baik dilandasi pengamatan tentang objeknya yaitu materi yang diolah dalam film.”

Perkembangan film Indonesia sendiri patut diapresiasi setelah mati suri tahun 90-an. Bangkit 2000-an hingga sekarang. Dan festival film menjamur, seperti pengadakaan konser musik yang sudah lazim. Salut, itu semua peran banyak tangan. Salah satunya ya dari kritikus, bukan hanya dari yang profesional seperti buku ini, tetapi juga kekuatan kritik nitizen di era sekarang. Dengan sedikit teliti mengamati film-film nasional kita, sebenarnya kita dapat membaca masyarakat kita di sana. “Pemerintah seharusnya tidak membuat pilihan bagi masyarakat. Biarkanlah konsumen memilih sendiri.”

Sebab pada akhirnya, dan kenyataannya, film adalah industri. Dan untuk itu berlaku secara ketat prinsip-prinsip ekonomi. Maka semakin banyak film dibuat maka akan disortir oleh waktu, dihukum penonton. Buku ini, saya yakini cult. Dan syukurlah ada di rak saya.

Dari Festival ke Festival: Film-film mancanegara dalam pembicaraan | by Salim Said | 210 hlm: ilus.; 21 cm | Jakarta, 1994 | 791.430 79 | Desain cover Arsono dengan reproduksi lukisan Gerhard Image Abtraites 1990 | Foto dokumentasi Salim Said | Dicetak PT Penabar Swadaya | Penerbit Pustaka Sinar Harapan | Skor: 4.5/5

Untuk Herawaty dan A.H. Amparita

Basecamp Gn Gede – Bogor, 310524 – Billie Holiday – Stormy Weather

Thx to Tino, Tangerang

Obama in His Own Words


“Awalnya kami sudah menjadwalkan The Rolling Stones, tetapi kami batalkan karena membayangkan Barack Obama akan membuat tiket lebih banyak terjual.” – John Lynch (Gub. New Hampshire)

Kumpulan kutipan. Ya begitulah, terlalu umum dan mudah didapat di media sosial atau web saat ini. Sudah tak relevan zaman. Mau setenar Obama atau se-snob penulis Eropa Timur, namanya kutipan ya isinya sekadar kumpulan omon-omon. Sumbernya variatif. Dari wawancara, tulisan buku, pidato, sampai debat umum. Semua itu sah dan mewakilkan, tapi apa esensinya? Well, bagiku buku kumpulan kutipan di era digital ini hanya untuk koleksi saja. Tak akan enak dicerna sebab tak berkelnjuta. Begitulah, kira-kira gambaran untuk buku kecil ini. Lantas kenapa tetap kubeli? Pertama, ini Obama. Orang yang pernah fenomenal di jelang Pemilu Amerika 2008. Dan dulu sempat pula mengikuti sepak terjangnya. Kedua, ini terbit tahun 2007 yang artinya bisa saja ditunggangi untuk kampanye, membuat penasaran seperti apa kata-kata memikatnya. Ketiga, Obama kini sudah selesai menjabat dua periode Presiden USA sehingga apa yang dibaca sejenis sensasi usai. Keempat Lisa.

Hasilnya? Sama saja. kutipan, tetap saja kutipan. Tak memberi dampak lebih. Ini sekadar perjalanan, catatan perjalanan orang yang pernag tumbuh di Indonesia. Tak lebih. Dibuka dengan perjalanan hidup Obama, dilanjut alasan kenapa dibukukannya, dan berlanjut pada intinya. Dengan tiap tema isi kutipan, walau rancu juga sebab banyak yang beririsan semisal tentang politik, sementara tema yang lain tentang Bush, lalu lainnya tentang Timur Tengah. Ya itu juga politik semua, jadi pemberian tema terasa tak relevan. Mending sih, dibuat runut saat diucapkan/ditulis sehingga tahu perkembangan Obama. Niatnya ok, tapi tak maksimal.

Pendahuluannya ngeri, atau bisa dibilang kata-kata bombastis seorang gubernur sampai menunda tempat konser Rolling Stones sebab akan mengundang Obama sebagai pembicara. Sesuatu yang lebai, yang secara langsung bilang Obama adalah sensasi saat itu. Obama memiliki daya jual lebih, karena meyakini tiketnya lebih akan sold old. Edun, politikus.

Buku terdiri 200-250 kutipan ucapan, 75 kategori dan didahului pengantar singkat. Dikumpulkan berbagai sumber sejak terpilih jadi PResiden Havard Law Review 1990, disertai wawancara Radio, transkip dari televise sampai di surat kabar dan majalah, pidato sampai pengumpulan dana. Macam-macam. Dan sudah dicek dan ricek itu kata-kata Obama.

Saya sendiri tertarik sama penulisnya, Lisa Rogak. Orang yang pernah menulis biografi tak resmi Dan Brown (dipinjam teman dan belum kembali). Tulisan di sana lebih menarik sebab runut dan enak diikuti. Jadi jelas ini sebuah penurunan. CV Lisa, dibaca di belakang buku ternyata sedang saja. mirip Alberthiene Endah, yang bukunya banyak tukang nulis bio, dst. Well, saya mau baca salah satunya bulan depan: Athirah.

Saya tak akan ketik satupun kutipan di sini, biar kalian miliki sendiri, atau baca di mana, atau koleksi saja sekalian. Jadi ulasan ini singkat saja sampai di sini. Yang pertama terpikir adalah Jokowi, fenomenanya mirip. Media darling. Dan kalian tahu kan ujungnya….

Obama in His Own Words: Ucapan dan Pikiran Barack Obama tentang Berbagai Hal | Disunting oleh Lisa Rogak | Copyright 2007 | Alih bahasa Rani R. Moediarta | GM 207 08 007 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Desain sampul Wedha | Setting Vineyard | Jakarta, 2008 ISBN 978-979-22-4079-5 | Skor: 3/5

Karawang, 300524 – Peggy Lee – They Can’t Take Away From Me

Thx to Ade Buku, Bandung

Zen dalam Seni Menulis


“Masalah bagi penulis mana pun dalam bidang apa pun adalah dibatasi oleh apa yang sudah ada sebelumnya dan apa yang dicetak pada masa itu di dalam berbagai buku dan majalah.”

Luar biasa. Selalu menyukai penulis mencerita proses kreatif. Terutama, tentu saja penulis-penulis keren. Ray jelas salah satu yang terhebat di zaman kita. Konsisten menulis, karyanya buanyaaak. Alhamdulillah, sudah baca karyanya, walau hanya 1. Buku paling terkenalnya, Fahrenheit 451. Sejatinya pengen juga menikmati buku-buku lainnya, belum kesampaian saja. Nah, di buku Zen ini kita disodori banyak sekali kisah di balik karya, proses kreatif, dan tips and trick menulis tanpa menggurui. Salah satunya bahkan terdengar keren, membaca karya-karya bermutu setiap hari selama 1000 hari akan mengubah pola pikir.

Judul buku sendiri adalah artikel penutup dimana dalam menulis ada 3 hal yang dipegang, di sini Ray menyebutnya Zen dalam seni menulis: Bekerja. Relaksasi. Jangan berpikir. Bisa meletakkan urutannya dengan apapun, jadi bisa dibolak-balik.
Kita akan bahas secara acak, segala hal tentang proses menulis. Sedari pembuka sudah ditekankan bahwa menulis adalah seni. Menulis adalah kelangsungan hidup. Tentu seni apapun, karya apa pun yang baik, adalah kelangsungan hidup.

Dan yang utama memang terus menulis, terus melatih sebab jika ia tidak berlatih setiap hari maka ia sendiri akan tahu, jika ia tidak berlatih selama dua hari, kritikus akan tahu, setelah tiga hari, audiens-nya akan tahu. maka Kau harus tetap mabuk dalam menulis sehingga kenyataan tidak mampu menghancurkanmu.

Kita semua punya daftar penilus idola. Ray juga punya daftar penulis favorit; Dickens, Twain, Wolfe, Peacock… well, kalau saya inginnya penulis di zaman kita untuk memudahkan sortir, maka bila dipaksa menyebut tiga maka saya akan sebut: Haruki Murakami, Mahfud Ikhwan, eheem… Stephen King. King novelnya tebal-tebal dan seringkali berputar. Nyatanya memang bagus. Terakhir yang benar-benar membuat shock ya kumpulan cerpen Night Shift. Itu wooow banget. Dan membuka mata, cerpen horror bisa semenakjubkan itu.

Beberapa nasehat saya ketik ulang, seperti ilmu kadal: “Apa yang bisa dipelajari dari kadal dan terbangnya burung? Dalam kecepatan itu ada kebenaran. Semakin cepat kau berbicara tanpa pikir panjang, semakin lekas kau menulis, maja semakin jujur jugalah dirimu. Dalam keraguan itu ada pikiran. Dalam penundaan, muncullah upaya untuk menemukan gaya, ketimbang melompat menggapai kebenaran yang merupakan satu-satunya gaya yang patut diperjuangkan dan diburu.”

Lantas memberi ‘nyawa’ pada karakter, “Saat aku memperlajari daftar kata-kata berdaku itu, dan kemudian mengetahui lebih lanjut bahwa tokoh-tokohku akan melakukan pekerjaan itu sendiri, kalau tak kuganggu mereka, kalau kuberi mereka pikiran, yang berarti kuberi mereka fantasi dan rasa takut.”

Mengenai sudut pandang, “Memang agak sulit untuk menerangkan bagaimana kau bisa memberi makan sesuatu yang tidak ada. Tapi hidup kita dikepung paradoks. Satu paradoks lagi tentu tak akan merugikan kita. Dua manusia, seperti yang kita tahu, melihat kecelakaan yang sama, melaporkannya dengan rujukan silang yang berbeda, di bagian alfabel alien mereka yang lain.”

Mengenai konsisten, “Dimulai dengan Tn. Electrico, aku menulis seribu kata dalam sehari. Selama sepuluh tahun, aku menulis setidaknya satu cerita pendek seminggu, agak mengira-ira bahwa akan datang suatu hari saat aku akhirnya benar-benar lolos dan menuliskan cerita itu. Kalau semua itu sterdengar mekanis, sungguh sama sekali tidak demikian. Jadi, ide-idekulah yang mendorongku seperti ini. Semakin banyak yang kulakukan, semakin banyak yang ingin kulakukan. Kau menjadi rakus, kau menjadi demam. Kau kenal keriangan. Kau tidak tidur saat malam karena ide-makhluk buas itu ingin keluar dan menghampirimu di tempat tidur. Sungguh cara megah untuk hidup.”

Salah satu yang terbaik Proses kreatif novel Fahrenheit 451 yang dinamaninya dengan ‘investasi recehan’, sebab untuk menulis perlu menyewa mesin ketik! Di mana setiap berapa menit sekali akan ada pengingat waktu akan habis, lalu perlu memasukkan uang receh untuk melanjutkan ketik. “Akhirnya aku menemukan tempat itu, ruang mengetik di ruang bawah tanah perpustakaan Universitas California, Los Angeles. Di sana berbaris rapi, ada delapan atau lebih mesin ketik Remington atau Underwood tua yang disewakan, satu sen untuk setengah jam… maka aku terusir dua kali; oleh anak-anak agar meninggalkan rumah, dan oleh sebuah mesin ketik yang dijaga oleh perangkat penghitung waktu mesin ketik sehingga menjadi maniak saat memukul huruf-huruf. Waktu adalah uang.”

Tentang tempat yang nyaman untuk menemukan ide, “Sebagian besar kota itu hijau, pepohonan memang bersentuhan di tengah jalan. Jalan di depan rumah tuaku masih berlandaskan batu bata merah. Kalau begitu, kenapa kota ini istimewa? Jelas, aku lahir di sana. Kota itu adalah hidupku.”

Sering kali disebut, apa itu seni? “Estetika seni mencakup segala hal, ada ruang di dalamnya untuk tiap horror, tiap kegembiraan, jika ketegangan yang mempresentasikannya dibawa ke perbatasan terjauhnya dan dilepaskannya dalam tindakan. Aku tak meminta akhir yang bahagia, aku hanya meminta akhir tepat berdasarkan penilaian yang patut akan energy yang terkandung dan diberi detonasi.”
Ray sendiri merasa bahwa selain butuh ketekunan maka penulis kudu bisa mengedit tulisannya sendiri, “Aku selalu merasa bahwa aku adalah editor yang baik untuk karyaku sendiri.”

Dan tugas untuk menyelesaikan, “… ada dua seni: yang pertama menyelesaikan sesuatu, dan seni hebat kedua adalah belajar bagaimana memotongnya sehingga kau tak akan membunuhnya atau menyakitinya dengan cara apa pun… menyambar pisau bedah dan menyayat pasien tanpa membunuhnya adalah tantangan intelektual.”

Tentang citra, dan itu disandingkan dengan drama/puisi/film, dan sejenisnya, “Ada hubungannya puisi-puisi hebat dunia dan naskah drama hebat: keduanya berurusan dengan citra-citra ringkas.Dalam Lawrence of Arabia, seluruh adegan saat Lawrence kembali ke gurun dan menyelamatkan kusir unta: tak sebaris pun dialog. Adegan itu berlanjut lima menit, dan semuanya citra… musik bangkit dan jantungmu pun bangkit. Seperti itulah yang kau cari.”

Dan pendapatnya bahwa buku itu hebat, tapi well, ada tapinya…. “Ia adalah seorang romantik yang gagal; ia pikir buku bisa menyembuhkan apa saja. kita semua berpikir begitu pada suatu titik dalma hidup kita ini. kita pikir… hanyalah membuka
Injil, atau Shakepeare atau Emily Dickinson, dan kita pikr, “Wow! Mereka tahu semua rahasia.””

Dan bagaimana memandang efek buku yang terbit, sabar dan tabah, “Kau memang menginginkan kemasyuran dan uang, tapi hanya sebagai imbalan setelah bekerja dengan baik dan benar-benar selesai. Ketenaran dan rekening bank yang gendut hanya boleh datang setelah semua yang lain selesai dan rampung.”

Saya menyukai buku yang membahasa proses kreatif seperti ini. Saya jelas memasukkan nama Ray dalam buku-buku yang perlu diantisipasi. Sayangnya belum banyak yang diterjemahkan ke Indonesia. Maka Basa-basi hadir dengan banyak terjemahan oke. Terjemahan orang-orang hebat. Saya suka.

Zen dalam Seni Menulis | by Ray Bradbury | diterjemahkan dari Zen in the art of Writing | Terbitan Joshua Odell Editions, 1996 | Penerjemah An Ismanto | Penyunting Tia Setiadi | Pemeriksa aksara Daruz Armedian | Tata sampul sukutangan | Tata isi Aliya | Pracetak Kiki | Cetakan pertama, Agustus 2018 | Penerbit Basabasi | 212 hlmn; 14 x 20 cm | ISBN 978-602-5783-23-4 | Skor: 5/5
Untuk guruku yang paling baik, Jennet Johnson, dengan cinta.

Karawang, 290524 – Dinah Washington – Mad About the Boy

Thx to Daruzarmedian, DIY

How to Make a Millions Before Grandma Dies: Upaya Menjadi Peringkat Satu

“Family is calling”

Dibuka di pemakaman, ditutup dengan pemakaman. Kisah bahagia apa yang bisa dipetik dari orang mati? Sebuah peringkat. Hufh, tanggal 22 Mei 2024 saya tasbihkan sebagai Furi(osa) Day, pengen nonton hari pertama. Rencananya sama istri. Namun Hermione kukira bermalam panjang ke rumah nenek, ternyata pengen ikut nonton. Karena Furi rating 13+, terpaksa pilih film yang SU, dan tersedialah film ini. Dari segala review positif, katanya film mengandung bawang. Hermione sendiri sudah beberapa kali lihat ulasan di Youtube, katanya jadi kangen nenek, jadi makin sayang nenek, dll. Jadi akhirnya kami buktikan sendiri.

Kisahnya gamblang, segalanya jelas. Tak ada adegan tersirat, kecuali dua metafora sandal yang diganti yang mengakibatkan peringat berubah dan buah yang tumbuh di depan rumah. Namun tetap tak signifikan, sebab akhirnya dijelaskan. Ini adalah film dengan daya cerna mudah, taka da kerut kening untuk berpikir. Hanya menantang penonton siapa peringkat pertamanya? Siapa yang akhirnya dapat warisan. Dan yang utama hukum tabor tuai diberlakukan. Jadi siapa bilang ini film tear jerker? Mau relate atau tak relate, ini masih sama berkutat tentang materialisme. Uang jadi tolok ukur kasih sayang, uang jadi derajat kemapanan, dan buruknya: uang jadi syarat mutlak untuk ikatan persudaraan. Miris, tapi nyata.

Di sebuah pemakaman, nenek Taew (Usha Seamkhum), dipanggil amah, bercerita kepada keturunannya tentang keinginan dimakamkan di pemakaman mewah (sejenis pemakaman San Diego Hills) agar oleh orang lain, keluarga ini dianggap kaya, keturunannya mampu. Sebuah jalan gengsi yang akan dipertaruhkan sepanjang dua jam film. Sementara anak-anak dan cucunya menganggap, apa bedanya dimakamkan di mana, yang namanya mati, ya berarti kehidupan di dunia selesai. Tinggal tugas keturunan kirim doa.

Digambarkan amah terjatuh kala menabur bunga sehingga perlu perawatan ke rumah sakit. Di sana semua orang sok sibuk sehingga saling dorong, siapa yang mau nungguin di rawat inap? Anak perempuan Chew (Sarinrat Thomas) ditugaskan. Kejutannya, amah ternyata didiagnosa sakit kanker, sudah stadium akhir pula. Kabar mengejutkan ini diolah oleh semua orang dengan beragam respons, tapi ada 1 titik temu: warisannya akan jatuh ke tangan siapa?

Amah hidup sendiri, rumah tua dekat stasiun. Lokasi strategis yang menjadikannya komuditi panas. Kesehariannya di masa tua, menjual panganan khas. Buatan sendiri, bangun sejak subuh, menjualnya di pinggir jalan. Memiliki pelanggan setia, sering sold out. Sebuah gambaran kemandirian di usia senja. Bisa menabung, baik ditaruh di lemari (yang nantinya dicuri, 200 ribu bath!), dan juga ke bank. Uang itu memang tak membuatnya kaya, tapi jelas bisa menghidupinya tanpa menyusahkan anak-anak. Salut.

Amah memiliki tiga anak: pertama Kiang (Sanya Kunakorn). Secara ekonomi, nama baik, derajat, dan sejenisnya jelas yang paling sukses. Memiliki istri cantik, tapi slek terus sama keluarga besar. Memiliki anak kecil imut, jelas bintang keluarga ini Rainbow. Pekerjaan mapan, rumah elit, mobil ok, dst. Kalau boleh bilang dalam satu kalimat, Kiang: ketika kau menjadi kaya, kau menjadi pengecut! Gambaran anak emas yang menjadi kebanggaan keluarga. Kesayangan Amah, jelas sekali. Tampak dari sandal yang dulu pernah dibelikan, dipakai terus meskipun sudah kekecilan.

Kedua: Chew, perempuan, seorang single parent. Seorang pegawai toko, tampak sering kali dikorbankan untuk mengurus amah. Ya, namanya juga satu-satunya perempuan dalam keluarga sehingga secara emosional dekat sama ibunya. Memiliki anak tunggal M (Putthipong Assaratanakul) sang tokoh utama, M akan kita urai kemudian.

Ketiga, Soei (Pongsatirn Jongwilas). Pengangguran. Masih lajang, sukanya bikin onar. Punya utang banyak. Mekanik gagal, hopeless. Ini bisa jadi adalah benalu keluarga. Sebagai anak bungsu yang merepotkan semua orang. Dalam sebuah kesempatan, bahkan berani mencuri uang besar. Dan itupun belum bisa melunasi utangnya.

Nah, tokoh utamanya adalah M. Pemuda lulus sekolah, hobinya main gim di HP dan komputer. Belum bekerja, masih mengandalkan uang saku ibunya. Kere di masa bebas. Gambaran anak muda zaman now. Cuek, egois, orientasi uang. Maka ketika mendapat pesan dari sepupunya Mui (Tontawan Tantivejakul) bahwa tv milik sesepuh Agong rusak, ia membantu. Tampak Miu menjadi pelayan setia, all out menemani masa tua Agong. Kepedulian yang tampak janggal, sebab Miu itu cantek, muda, bermasa depan cerah. Kenapa tak cari kerja yang menghasilkan uang banyak, malah terjebak mengurusi orang tua. Well, tonjokan pertama film ini muncul di sini. “Itu yang saya lakukan!”

Benar saja, Agong meninggal dunia. Miu kaya mendadak sebab sebagian besar warisannya dikasih ke dia. Di sini, istilahnya Miu adalah peringkat pertama, melayani dengan sepenuh hati (padahal jelas motifnya uang). Sampai di pengiriman doa, membakar rumah-rumahan kertas, uang kertas, pokoknya Miu all out seolah orang paling sedih, seolah orang paling peduli pada almarhum. Wow, ada ya bisnis seperti ini. Ini mematik jiwa muda M untuk mengikuti jejaknya.

Perjuangan dimula, monitor komputernya dijual untuk modal. Sampai dicium bye bye saking sayangnya. Lalu tinggal sama neneknya. Keputusan yang mengejutkan banyak orang, terutama ibunya dan Amahnya. Tumben sekali sang cucu mau seatap, padahal dulunya acara temu keluarga tiap hari Minggu aja tak pernah datang. Begitulah, film ini lalu menyorot keseharian M di rumah neneknya. Bangun pagi bantu jualan panganan. Belikan ikan untuk makan, ikan favotinya di pasar dengan antrian panjang. Dicurangi beli ikan di tempat lain yang sepi, ketahuan. Antar periksa rutin ke rumah sakit, panjang antrian luar biasa. Nasib pemakai BPJS. Kemoterapi, bahkan sampai berdebat sama ibunya kala latihan otot di kolam renang, dstnya. Sebuah pengorban luar biasa demi menjadi peringkat satu.

Menit-menit berharga itu juga menyingkap banyak hal: Kiang tetap menjadikan uang sebagai tuan sebab dalam doa-doa di kuil menuliskan kesuksesan keluarga tertinggi, dan motif melayani untuk memindahkan Amah pindah ke rumahnya juga peringkat. Lalu Amah dan lingkar pertemanan dengan sesama orang tua, sungguh senjakala adalah perjuangan hidup yang sesungguhnya. Lalu kepahitan masa lalu Amah kala berkunjung ke rumah saudaranya. Karaoke, makan-makan, dan boom! Uang. Dan yang utama, dalam kisah ini rumah itu akhirnya tak berbentuk warisan sesudah Amah meninggal sebab ada kebutuhan urgent yang memaksa Amah melepasnya. Semua demi anak-anak. Memang, cinta ibu sepanjang masa.

Ini memang cerita sedih, terutama adegan final dengan ketuk petinya. Berbias rasa sedih, tentu saja, tetapi (ada happy ending) dengan kegembiraan yang meluap. Makanya sedih tak sampai tersedu-sedu. Apa yang ditangisi dari kematian nenek-nenek? Di film jelas dia bukan kesayangan semua orang, kecuali jelas kejutan M mengutarkan peringkat. Itupun setelah M melakukan semaksimal mungkin untuk jadi nomor satu, dan gagal mendapat warisan. Lihat kelakuan Kiang, uang melulu. Lihat tindaktanduk Chew, miskin dan perlu uang. Melayani ibunya sebagai kepatuhan. Apalagi si bungsu Soei, betapa jahatnya mengambil uang milik ibunya. Lihat, tak satupun benar-benar sayang kepada beliau. Jadi kala kematian datang, apanya yang bikin sedih? Apakah kejutan telepon dan adegan kereta api bolak-balik itu? well, lagi-lagi ini bicara materialistik. Uang-uang-uang. Orang jelang 80 meninggal dunia, dunia yang wajar. Tagline, “family is calling” terasa tak pas. Definisi lebih akuratnya adalah “money si calling.”

Namun bagaimana-pun, ini film bagus. Jelas sekali disusun dengan rapi dan enak diikuti. Cuma masalahnya, happy ending dan money oriented yang memuakkan. Ada empat adegan yang kusuka, bisa saja lebih seandainya kereta api itu tak melintas disamping M, tapi melindasnya. Pertama, saat pamannya di panti jompo kasih seamplop uang ke M, M dengan jantan menolaknya. Sebab sekarang tak ada lagi yang akan membantunya. M trengginas memotong penjelasan itu dengan sebuah kesimpulan hati-hati. M jauh lebih dewasa ketimbang pamannya, dan itu tidak hanya sekali. Pernah pula pamannya yang kaya juga dengan sombong memberinya uang untuk perawatan dan salut akan penolakannya. Saya suka hal-hal yang melawan uang, tak semua bisa dibayar duit bosqu. Kata-kata M mengendap di dalam benak.

Kedua, keterkejutan M kala Amah berpakaian bagus menanti depan pintu. Sederhana sekali pemikiran anak muda ini, dijelaskan oleh ibunya bahwa anak-anak dan cucunya akan datang berkunjung, dan bagaimana bisa M tidak pernah hadir di acara sepenting itu. Itu ikatan terakhir dalam keluarga lho, berkumpul sekadar arisan keluarga kek, ke tempat wisata kek, makan-makan kek, ada kumpul hajatan kek, poinnya ngumpul keluarga. Penting sekali, sebab kalau tak dilakukan waktu yang kejam akan melepas simpul terakhir itu. M dengan konyolnya mendaki peringkat, jelas kalau kepedulian diukur ia adalah juru kunci.

Ketiga, ketika Amah meminta tolong ke kakaknya. Itu sinis, itu perlu keberanian tinggi. Hubungan yang rapuh itu ditegaskan putus gara-gara uang. Sepintas lalu penonton pasti marah, Amah baru kena musibah uangnya dicuri, sakit keras kena kanker, lalu ditampol keras oleh saudaranya. Menghamba untuk secuil harap.

Keempat, impian sederhana sekaligus mewah Amah untuk dimakamkan di San Diego Hills. Itu juga sejatinya demi nama baik keluarga, tapi tetap dipaksa upaya. Dan pada akhirnya setimpal. Kebanyakan orang juga tak terlalu peduli dimakamkan di mana, sebab amal jariahlah yang dibawa, bukan bagus tidaknya makam. Nah, kala Amah bicara itu, M membalasnya, kita tak pernah menyangka justru M adalah pemegang kunci terwujud tidaknya impian terakhir Amah. Memang hati orang tak ada yang tahu.

Ini adalah film pertama bioskop yang kutonton, dan Ok. Kabarnya saat ini sudah tembus 2 juta penonton, menjadikan film Thailand terlaris di sini mengalahkan The Medium. Laik, selamat!

How to Make a Millions Before Grandma Dies | Thailand | 2024 | Directed by Pat Boonnitipat | Screeenplay Pat Boonnitipat | Cast Putthipong Assaratanakul, Usha Seamkhum, Tontawan Tantivejakul | Skor: 4/5

Karawang, 280524 – Anita O’Day – Tenderly

Pirgi dan Misota


“Apa sebenarnya yang kau pikrkan? Katakan, apa yang ada dalam kepalamu itu.”

Ini tentang kepribadian gadis galau di masa terpenting dalam hidup, usia 20an. Sedari kecil sudah bercita ingin menjadi penjaga toko roti dengan topi jamurnya. Tak seperti keinginan ibunya yang mengingin jadi sekretaris, bekerja di kantor. Maka cinta makin membuatnya menjauhi harapan orangtua, cinta membuatnya menuruti nafsu, dan itu bisa membuatmu gila. Hati-hati terhadap apa yang namanya cinta, apalagi cinta pandangan pertama, dengan pasangan gap usia jauh.

Kisahnya tentang Pirgi, gadis 22 tahun penjaga Toko Roti Mari Mampir yang suatu hari dirayu oleh jejaka lapuk, Nodee 45 tahun. Penulis dengan gaya sering beli buku dipamerkan ke target, di beberapa tempat menikmati buku. Nodee jelas menabur cinta, dan Pirgi yang ingusan terjerat. Ibunya tak setuju, tapi yang namanya cinta memang buta.

Bahkan di hari pertama Pirgi berhasil digaet ke kamar, langsung diciumnya. Berjalannya waktu, Pirgi nekat menikah dengan sang penulis. Tinggal dalam kesederhanaan. Yang namanya penulis, begitu akrab dengan sederhana (tak enak kalau ditulis miskin). Mereka menjalani keseharian dengan batasan yang lucu. Semisal, Misota jangan diajak ke rumah. Atau ibunya yang tak setuju cuekin saja. Atau yang utama, masalah jamur. Jamur menjadi bahasan penting sebab menjadi ikon perubahan mental.

Yang namanya rumah tangga pasti ada konfliks, masalah bisa runyam kalau komunikasi tak sehat. Berulang kali Nodee minta pisah, berulang kali pula Pirgi menolak sebab merasa kasihan, suaminya tua dan bisa gila. Keputusan final akhirnya harus diambil ketika terjadi cekcok, dan muncul kalimat sakti dari suaminya, “Dengar, mulai sekarang kau sebatang jamur ya. Bukan sebatang jamur biasa, kau bisa berubah menjadi jamur raksasa dan menghancurkan semuanya. Itu yang harus kamu percayai, Pirg.”

Boom! Pirgi mengamuk di toko, banyak ulat mengganggunya. Sesama pekerja, dimarahi, roti-roti terbang, dan akhirnya divonis sakit jiwa. Nah, di sinilah kesalahan novel. Seolah bilang: singkat kata, singkat cerita: masuk RSJ 3 bulan, dipecat dari toko, cerai, dst. Kejadian-kejadian penting yang bisa digali itu justru di-skip maksimal. Duh! Tahu-tahu dikenalkan teman Misota, seorang terapi mental: Zo.

Endingnya sendiri mencoba twist, jati diri Misota. Namun tak mengejutkan, ketegangan sudah lewat, dan kekhawatiran nasib Pirgi sudah tak ada. Masa lalu ibunya, masa lalu Misota seperti di judul bab, sekadar catatan. Kamu bisa membuka kedok atau latar belakang seseorang sebagai ujung tampol cerita, tapi ketika ending sebenarnya tentang nasib tokoh utama sudah diketuk, rasanya kurang afdol. Untuk sebuah novel tipis Oklah, tapi untuk detail panjang bak lari marathon, nope. Kuharap Yetti bakalan punya novel seribu halaman. Atau bahkan serial.

Kubaca kilat dalam sehari, 25.04.24. Ini buku ketiga Yetti yang kubaca, setelah Ketua Klub Gosip dan Anggota Kongsi Kematian dan Penjual Bunga Bersyal Merah. Dan ini yang terbaik. Mungkin karena novel jadi runut, beda sama kumpulan cerpen yang terpecah-pecah jadi tak terkonsentrasi. Trade mark-nya mirip, isinya liar dan menyangkut ke dalam, ke psikologi.

Mengambil tema kehidupan keluarga, dengan salah satunya gila menjadikan kebebasan bercerita lebih jauh. Orang gila, berbuat apa saja bebas. Personifikasi topi jamur, dengan pikiran menjadi jamur raksasa juga kurang lazim sebab orang gila biasanya disebabkab tiga kebutuhan pokok + asmara. Ini bukan ekonomi, juga bisa karena penyimpangan seks. Ini lebih ke pasangan beda generasi yang akhirnya tak sejalan.

Sang penulis sendiri menghilang setelah cerai, bebannya dilepas. Egois, ya. Bukankah kebanyakan lelaki juga egois? Namun memanfaatkan kepolosan gadis yang dirasanya tak baik. Saya yakin dia sudah pengalaman sama perempuan-perempuan lain. Sebagai penulis lajang di usai matang (jelang paruh baya pula), dirinya mengingin kestabilan. Namun sekaligus mengingin kemerdekaan waktu (dibuktikan mengurung diri di kamar untuk menulis dan membaca).

Keinginan yang bertolakbelakang ini jelas sulit. Menikah adalah menyatukan dua individu, jadi sejatinya kemedekaan waktu pastilah terkikis. Sayangnya 45 tahun tak mendewasakan, bukannya syukur dapat istri yang siap mengabdi, Nodee tetap terjebak di masa muda. Padahal waktu terus berjalan dan ia menua. Tak ada jalan kembali.

Tercatat hanya delapan karakter yang ada (mengesampingkan tokoh minor semisal bapak tua yang belum lihat tubuh perempuan telanjang, atau klien Zo lainnya, atau teman kerja, atau bahkan pembeli roti): Pirgi (karakter utama), Misota (sahabat, tukang tunggu telepon rumah bordil), Ibu (penjahit), Bapak (tukang pos), Nodee (suami, Penulis), Zo (sahabat Misota, terapis), Luli dan Suis (sahabat semasa sekolah). Minimalis. Bagus sih, mengingatkanku pada tulisan Haruki Murakami yang minimalis, lalu didedah melebar. Di sini, sayangnya tipis. Kurang banyak konfliksnya, kurang sentuhan luas imaji. Justru nama Kawabata yang disebut, sebab bersinggungan dengan tempat pelacuran. Andai dibuat sepanjang Murakami, bakalan jauh lebih hidup dan menarik. Namun tetap kudu hati-hati juga, sebab novel panjang menjaga konsistensi ketegangan akan sulit.

Satu lagi yang pengen kukomentari adalah, nama-nama karakter yang tak lazim. Tak ada Budi, Agus, Sutopo, atau Ani. Semua nama asing yang pantas ada di anime atau novel futuristic. Pertama lihat, kukira: Pergi, kedua lihat kurasa: Misoto (hehe bercanda). Lebih dalam lagi, nama-namanya antah, bahkan tokoh masa lalu minor di sekolah-pun juga asing di telinga orang Indonesia. Sah saja, tapi jelas saya tak akan melakukannya. Akan membumi bila kalimat ini yang tercantum, “Gus, kita tidak perlu membahasanya sekarang,” jawabku pelan. “Kita masih punya banyak waktu untuk itu.” / “Tidak, Ani. Aku ingin tahu sekarang, aku tidak bisa berhenti bertanya kalau kau belum menjawabnya.” / aku menghela napas, “Aku sungguh tidak tahu.” / “Kau payah, Ani.” / “Gus.”

Pirgi dan Misota | by Yetti A.KA | Penyunting Addin Negara | Penyelaras akhir Athena | Tata sampul sukutangan | Tata isi Vitrya | Pracetak Antini, Dwi, Wardi | Cetakan pertama, September 2019 | Penerbit Diva Press | 132 hlmn, 14 x 20 cm | ISBN 978-602-391-753-2 | Skor: 4/5

Karawang, 270524 – Dinah Washington – Cry Me a River

Thx to Gramedia Karawang

Misteri Kamar Tersembunyi


“Itu Buster dengan Fatty, aduh bukan main. Fatty kelihatan semakin bertambah gendut.”

Buku tipis kubaca kilat dini hari tadi, dari tengah malam sampai jam 2 lalu tidur lagi. Anehnya, saat sampai di bacaan: “Dipandanginya arloji, sudah pukul satu seperempat.” Jam di dinding menunjukkan waktu yang sama. Wow… kok bisa. Karawang sempat gerimis ketika saya selesai baca, keluar bentar ke pombensin isi full lalu kembali tidur.

Hari kejepit, tapi tetap masuk kerja. Ada meeting sama bos, jadi tidak bisa cuti. Kubaca santuy sama jazz dan kopi, sampai dua bab akhir hampir ketiduran, tapi tetap kupaksakan selesai. Ini buku ketiga Enid yang kubaca ulas setelah Sapta Siaga: Menerima Tanda Jasa dan Si Badung Jadi Pengawas. Serial Lima Sekawan dari Inggris yang mengedepankan deduksi penyelidikan ala detektif. Ini buku remaja, jadi kasus-kasusnya juga menyesuaikan. Kali ini ada kasus ketiga, saya belum baca, tapi tetap bisa langsung klik. Pendekatan cerita detektif remaja jelas jauh lebih lembut. Nama Sherlock disebut, jelas jadi panutan para remaja penyukia spionase.

Jadi lima sekawan: Fatty, Larry, Daisy, Pip, Bets bersama Buster, anjing Fatty yang cerdas. Mereka menyebut dirinya: Pasukan Mau Tahu. Baru saja menyelesaikandua kasus, kali ini liburan Natal sehingga lega rasanya bisa istirahat dan bersenang-senang. Dalam tukar kado Natal ada yang ulang tahun, dan apesnya orang yang ulang tahun setelah Natal beberapa kado biasanya adalah hadiah Natal yang dibungkus ulang. Hehe…

Kapten Tim Mau Tahu adalah Fatty. Apakah hari libur ini petualang detektif ini akan libur juga? Maka dipersiapkan beberapa trik untuk penyelidikan. Fatty ke London membeli perlengkapan penyamaran: kumis palsu, gigi palsu, rambut palsu, baju pendukung, dll. Nantinya dipakai untuk trik menjadi tamu remaja dari Prancis, mengelabuhi banyak orang. Trik berikutnya adalah tulisan samar. Jadi dengan jeruk sebagai alat tulis, kertas kosong ditulisi dan dikeringkan. Tulisan tak terlihat, kertas itu tetap kosong. baru bisa dilihat kala kertasnya dipanaskan dengan setrika. Trik lanjutnya, keluar dari kamar yang terkunci. Jadi Fatty dikunci tertutup di lantai atas, lalu dalam sekejap sudah ada di lantai bawah. Kok bisa? Ternyata menggunakan kertas yang didorong di bawah pintu, lalu kunci didorong keluar sehingga jatuh di atas kertas yang kemudian ditarik ke dalam. Trik-trik yang tampak sederhana, tapi semuanya akan dipraktekkan.

Kasus bermula kala Polisi Desa Pak Goon, atau di sini dijuluki Pak Ayo Pergi kesal sama anak-anak detektif sebab mendapat kertas kosong dari Pemuda Prancis. Kertas isi berisi olok-olok bila disetrika. Namun karena khawatir Pak Goon tahu, dan akhirnya memang tahu, maka diambillah kertas itu lagi. proses mengambil ulangnya penuh keberuntungan sebab kertas itu kena angin dan ditukar dengan kertas kosong berisi pujian. Pak Goon jelas marah merasa dipermainkan. Maka ia punya dendam.

Suatu hari dalam pelarian Pak Goon mengejar anak-anak, Pip kabur naik pohon di rumah kosong. semakin ke atas semakin aman sebab ditutup dahan. Namun betapa terkejutnya Pip sebab ternyata melalui jendela terteralis, sebuah kamar di lantai tiga ternyata rapid an bersih sehingga jelas rumah Milton dihuni. Ruang dan kamar bawahnya kosong dan terbengkelai. Temuan ini lalu dilaporkan ke tim, dan dilakukanlah penyelidikan. Di sini buku mulai menarik.

Penyelidikan dimulai rumah milik siapakah ini? Ke marketing. Dua kali coba, percobaan kedua berhasil mengorek kepemilikan rumah Milton yang sudah dibeli oleh Miss Crump setahun yang lalu, tapi entahlah kenapa tidak ditempati langsung. Fatty dengan cerdik mengaku tertarik rumah tersebut dengan iming-iming 5 ribu Pound (mulanya), jadi kesempatan kedua 50 ribu pound dan cukup gede.

Penyelidikan berikunya ke rumah yang pemilik, dan dengan berbagai cara berhasil masuk. Pakai acara Buster maju dan berkelahi. Miss Crump dengan anjingnya yang galak. Dalam penyelidikan itu terungkap bahwa rumah itu akan dibeli oleh Tuan John Henry Smith yang merupakan penghuni masa lalu. Sehingga ingin memilikinya kembali. Sudah sejauh ini, bagus. “Kurasa tabir yang menutupi misteri kita sekarang sudah mulai terangkat dikit.”

Lalu pasukan melanjutkan penyelidikan dengan menanyai tukang pos Sims yang merupakan orang lama. Larry dan Daisy dengan cerdik memainkan kata, sehingga sebagai tukang pos senior ia tentunya hapal seluruh penghuni kompleks Peterswood, dan benar saja. Rumah Milton dulunya dihuni oleh orangtua tunggal Kapten Duncan dengan tiga anak perempuan! Miss Lucy, Hannah, dan Sarah. Wew, ditemukanlah kejanggalan tersebut. Tak ada yang namanya Smith yang pernah tinggal. Ini jelas misteri, ini jelas bau petualangan. Dan segera diselidiki lebih lanjut siapa penghuni kamar lantai 3 tersebut. Boom! Akhir yang menyala.

Ini adalah buku anak, dan serial jadi saya bisa dengan mudah menebak bakalan selamat semuanya. Apalagi ini, seri ketiga dari lima. Itu artinya ada lanjutkan dan kelima detektif cilik aman. Bahkan saat Fatty ditangkap, ditambok, sampai akhirnya dikurung dana cekam. Temang saja, ia memiliki prinsip dasar yaitu, “… ini petualangan, dan orang kayak aku takkan pernah mundur dalam menghadapi petualangan.”

Saya tak terlalu getol mengoleksi buku-buku Enid yang sangat banyak. Namun setiap punya kesempatan memiliki, harganya miring, ya saya ambil. Sejauh ini bagus semua, dan dari tiga buku yang kubaca ini yang paling bagus. Ada unsur misteri dan thilling walau kadarnya rendah. Ada masalah, ada komedi, ada penyelidikan panjang dan bertahap, dan yang utama ketiga trik praktik detektif yang disampaikan ilmiah serta masuk akal. Walau kemungkina kecil dilakukan anak zaman sekarang, dengan adanya HP, atau logika menarik kunci di bawah pintu sudah sulit sebab jedanya kecil, tapi jelas triknya jitu dan bagus. Ketiganya benar-benar jadi unsur penting memainkan plot sehingga tak sekadar ilmu kosong. Ini memang buku anak, maka posisikan jadi anak-anak. Masa lalu kalian, dan juga saya yang menyukai cerita detektif jelas diwakilkan Pasukan Mau Tahu ini. dan itu keren!

Misteri Kamar Tersembunyi | by Enid Blyton | The Mystery of the Secret Room | Copyright 2012 Holder and Stoughton Ltd. | Alih bahasa Agus Setiadi | GM 305 01 12 0009 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Jakarta, 1981 | Cetakan keenam, Mei 2012 | 288 hlm, 18 cm | ISBN 978-979-22-8331-0 | Skor: 4/5

Karawang, 240524 – Sarah Vaughan – Misty

Thx to Saepul Gobed, Jkt

Pengalaman Menghidupkan Kembali SIM Card XL Pra Bayar


“Registrasi ulang SIM Card, setelah nomor mati. Ada yg pernah alami?”

Saya punya dua nomor SIM Card, dan keduanya aktif pemakaian. Yang utama memang nomor 3 sebab sudah punya sejak tahun 2008/2009 dan hanya 11 angka. Setia sejak lajang. Yang kedua adalah XL, ini baru kumiliki sejak 2017 dari kantor. Yang namanya nomor kantor, semua tanggungan dibebankan ke kantor sehingga saya tak ambil pusing masalah pembayaran. Yang jelas sebulan dapat jatah 150 ribu. Ini mulanya pasca bayar, tapi sejak tahun 2020 nomornya jadi pra bayar karena dihentikan. Perubahan manajemen membuat perampingan pengeluaran, dan jatah pulsa dari 20 karyawan hanya tinggal 8. Saya termasuk yang kena sebab sudah tidak handle rekrut. Ya sudah, nomornya mau dimatikan atau dijadikan nomor pribadi menjadi pra bayar? Karena nomor cantik 11 digit, saya ambil. Dan kontak ini sudah terlanjut menyebar ke teman-teman, sayang sekali kalau off.

Sejak itu setiap gajian saya isi pulsa 10 ribu sekadar menyalakan masa aktif. WA aktif, kuota dari 3 sebab jauh lebih hemat. Ketika pulsa mencapai 60-100 ribu, baru saya pakai buat kuota. Begitu terus, hingga kemarin ke Singapura saya lupa tidak isi ulang. Penyebab utama lupa adalah notifnya kumatikan, saya pindahkan SMS ke aplikasi ‘Message’ dimana bisa untuk blokir SMS spam dari judi slot. Makanya setiap XL kirim pemberitahuan masa tenggang sudah masuk, tinggal beberapa hari, sampai H-1 masih diingatkan untuk isi pulsa, akhirnya kelewat. Tahu-tahu nomor tidak bisa digunakan sama sekali, kecuali WA. Terakhir isi pulsa adalah sebelum ke Singapura buat jaga-jaga roaming, itu tanggal 23 Februari 2024.

Masa tenggang sampai Sabtu, 20 April 2024. Sabtu itu SMS reminder sore, dan baru kubaca Minggunya. Duh! Googlinglah cara mengaktifkan kembali, deadline adalah 60 hari, dua bulan yang cukup. Tanya-tanya ke Twitter, sampai tag akun remsi XL. Ga ada respons, justru teman-teman yang kasih saran. Suruh ke XL Center, berhubung Sabtu libur yo wes nunggu Sabtu saja. Sayang kalau izin keluar kantor atau cuti sekadar mengaktifkan kartu.

Senin sibuk sampai lupa, Selasa sama saja, Rabu baru ingat, akhirnya saya googling lagi, dan ternyata bisa menghidupkan kembali daring. Akhirnya kucoba ke web: https://xlcenter.xl.co.id/transaction/simcard-services/reactivation saya pilih ‘Reaktivasi Kartu’ lalu input nomornya: 0817sekian, klik lanjut. Kalau masih bisa diaktifkan akan masuk ke laman Informasi Pribadi. Isi data sesuai indentitas. Oiya, siapkan KTP, KK, dan ttd di kertas kosong, nomor HP lainnya yang ada WAnya, dan alamat email. Setelah itu diminta upload, termasuk foto selfie dengan KTP. Ikuti alurnya, dan setelah persetujuan diklik. Persetujuan terkirim. Dalam waktu singkat, dapat email pemberitahuan tiket [registration]. Katanya akan dihubungi dalam 1×24 jam. Dan wuuuz… sorenya sudah dapat pemberitahuan nomor kembali aktif! [Selamat! Nomor XL Anda sudah AKTIF]. Namun ternyata belum aktif, belum bisa digunakan sekalipun sinyal sudah muncul kembali.

24 jam yang ditunggu, tak ada yang menghubungi, japri XL di Twitter tak dijawab. Besok dan besoknya saya coba telepon pakai nomor kantor, tetap tak bisa dihubungi. Cek *808# tertera pulsa nol rupiah (pulsa lama hangus/hilang); Nomor sudah aktif sampai 23 Mei 2024. Tapi kok belum bisa digunakan? Ada yang salah? Dimana? Mau isi pulsa, masih takut gagal sebab temanku pernah isi pulsa di masa hangus, kelewat masa tenggang pulsa terkirim, tapi pulsa tidak masuk. Makanya hati-hati, mau memastikan lagi.

Sabtu, 27 April 2024 saya ke Jakarta ada acara ketemu teman, ambil buku di Pluit sampai rumah sudah siang. Sabtu, 4 Mei 2024 ulang tahun istri, jalan. Sabtu, 11 Mei 2024 saya naik gunung Sanggabuana sampai sore. Belum sempat ke XL Center sesuai saran teman-teman. Karena khawatir kelewat lagi, pada Jumat, 10 Mei 2024 sempat saya isi pulsa 10 ribu. Masuk, tanpa notif. Sama konternya berhasil. Pulsanya masuk, tapi tetap tidak bisa digunakan. Tak lama kemudian, muncullah SMS dari 4444. “Layanan dihentikan sementara krn nomor tidak terdaftar. Daftarkan dng ketik ULANG#NIK#Nomor KK kirim ke 4444. Karena data semua sudah kusimpan HP, langsung bisa kulakukan. Dapat balasan Registrasi nomor baru: DAFTAR#NIK#Nomor KK kirim ke 4444. Dapat balasan NIK anda tidak dapat digunakan untuk pendaftaran, silakan menghubungi Layanan Halo DUKCAPIL di 1500537. Duh! Kok jadi panjang.

Saya meyakinan NIK KTP saya tak bermasalah sebab sudah terverifikasi ke mana-mana, KK juga aman. Untuk BPJS, untuk NPWP, untuk payroll ke perusahaan, sampai registrasi apapun baik resmi atau tak resmi, NIK saya bersih jadi kenapa gagal? Apakah karena sudah kupakai registrasi nomor 3? Entahlah…

Jawabnya tidak ketemu, tapi urusan beres kala Sabtu, 18 Mei 2024 saya dan istri ke XL Center di Komplek Ruko Broadway, Jl. Galuh Mas Raya nomor 19, Galuh Mas, Karawang. Mulanya mau berangkat pagi-pagi sambil jalan kaki cari sarapan, nyatanya bangun siang. Yang namanya hari libur ya santuy, pukul 10:30 ke Daya Motor dulu di Kertabumi ambil BPKB. Antri 3 orang, sat set. Pulang mau makan dulu apa ke XL Center dulu? Ke XL dulu aja biar semua urusan beres. Kan sabtu setengah hari. Yo wes, menahan lapar kami ke Galuh Mas.

Pukul 11 masuk ke deretan ruko, kena parkir motor 3 ribu flat. Sayangnya bukan parkir resmi dengan palang dan cetak print, tulisan tangan. Malesi parkir seperti ini, entah warlok atau memang pengelolaan ruko seadanya, padahal sekelas Galuh Mas. Di XL Center disambut dua security ramah menanyakan keperluan, kujelaskan mau menghidupkan kartu. Dibukakan pintu, disambut front girl, diminta menunjukkan KTP dan cek online di komputer. Saya jelaskan, sudah pernah isi form online, dapat artrian pula, jadi tak bisa kalau online. Lalu diminta ambil kartu artrian, diminta menunjukkan KK sebagai syarat untuk registrasi. Tak bawa KK copy, tapi ada di HP, diminta tunjukkan, dikasih tahu nanti inputnya nomor KK yang tengah dicetak tebal itu ya. Ok. Dapat nomor antrian C021. Saat ini nomor berapa? 15. Wah, 6 lagi. Takkan lama, dalam pikiran saya…

Tempat duduk di dalam penuh, dikasih kursi kaki lima duduk di depan ruko. Kulihat CSnya ada 3, yang antri di dalam banyak. Ya udah ngalah saja tunggu di luar. Sama pak security diinfo, kalau Sabtu memang ramai. Dan ternyata nunggunya lama, sejam belum dipanggil juga. Nunggu di luar panasnya tengah hari.

Pukul 12:15 saya masuk sebab sudah di angka 20. Disitulah, saya melihat pelanggan di depan saya konsultasi nomor. Ternyata yang bikin lama adalah, pelanggan menanyakan hal-hal remeh, dari cara pembayaran, sampai aturan kartu kredit. Alamak, sabar. Saya pribadi selalu mencoba menghormati orang lain, kalau lihat antrian di belakang panjang, maka urusan akan saya percepat sebisanya. Maka saat nomorku disebut, saya gegas menjelaskan dengan menunjukkan KTP dan nomor KK, serta menyebut nomor XL dengan cepat. CSnya tanggap, cek di komputer bahwa nomornya perlu registrasi, cek lagi apakah bisa cukup buat surat pernyataan, dan cling, ‘bisa’.

Dengan materai 10 ribu, saya tak bawa. Bisa langsung beli di tempat, isi form pernyataan. Tempel materai, ttd. Ta-daa… langsung aktif. Tak lebih dari 15 menit selesai. Saya coba telepon nomor istri, nyambung. Saya cek pulsa *808# bisa, dan dapat sms pemberitahuan dari 4444: Terima kasih telah bergabung di jaringan XL/AXIS. Selesai. Uniknya, akun XL Twitter baru balas twit setelah segalanya beres. Duh!

Saya login ke aplikasi myXL berhasil, tanpa perlu isi nomor PUK (entahlah nomor ini tentunya tak simpan). Hanya kode OTP saja, otomatis keisi dan segalanya kembali normal. Tak lama kemudian dapat SMS untuk memberi feedback pelayanan: saya kasih 10 bintang, tapi dengan catatan untuk XL Center: tempat duduk diperbanyak, atau kalaupun tak bisa, CSnya ditambah, bisa memanfaatkan ruang lain yang ada. Sayang kan security OK, front girl OK, CS ok, malah tempatnya yang kurang OK. Apalagi ini di ruko yang masuknya bayar parkir, makin tampak sempit. Menunggu di luar di udara sepanas itu, tengah hari sungguh tak nyaman.

Itu saja, catatan pengalaman pribadi ini. Semoga bermanfaat. Terima kasih.

Bandung, 220524 – Anita O’Day – Tenderly

Kazak dan Penyerbuan


“Aku punya segala yang kuinginkan. Aku punya makanan, puji Tuhan.”

Cerita dari buku masa lalu kebanyakan memang tentang cinta dan pertempuran sebab memang itulah dunia apa adanya. Lihat saja daftar buku Jane Austen, romansa cinta begitu dominan. Cerita perang, well karena kita mencatat dua Perang Dunia maka dua item itulah yang sering dijadikan latar. Namun sejatinya perang sebelum itu juga sangat banyak walau secara regional. Dan buku-buku masalah actual selalu hadir. Kazak dan Penyerbuan adalah bukti langsung, bahwa Penulis terlibat di dalamnya. Manjadi latar utama, seperti kala Leo Tolstoy menjalankan tugas di tempat yang sama tahun 1851.

Makanya, kisah yang dipaparkan begitu nyata, hidup, bagus banget. Untuk bumbu cinta, jelas ada singgungan pengalaman pribadi, dan itu menjadikan patah hatinya Olenin turut dirasakan pembaca.

Buku dibagi dua, satu novella Kazak. Panjang nan melelahkan, padahal intinya hanya cinta segitiga. Atau cinta abu-abu seorang tua kaya terhadap gadis lokal yang sudah tunangan. Hanya latarnya masa perang Rusia melawan gerakan radikal, jadi memang sifatnya lokal. Namun perang tetaplah perang, dan kepedihan yang dirasakan tetap sungguh menyakitkan. Kedua tentang proses penyerbuan pasukan, poin utamanya adalah para perwira muda yang menjadi pasukan, dipastikan aka nada yang cedera dan mati. Jadi apanya yang bikin bahagia? Sekitar dua ouluh perwira akan ambil bagian dalam ekpedisi itu, dan anehnya paling tidak salah satu dari mereka akan terbunuh atau terluka. Itu tidak diragukan lagi. Hari ini, mungkin giliranku, besok mungkin dia, selanjutnya mungkin orang lain. Lalu, kenapa pula bahagia?

Kekuatan utama Kazak adalah bahasanya yang sedap dibaca. Bagus banget terjemahannya, sampai-sampai pilihan kata menyatu dengan alam itu teresapi. Hidup akrab dengan alam, tidak menyakiti siapa pun, justru memberikan kebaikan kepada orang lain. “Kebun-kebun anggur juga diliputi kesunyian, namun desa-desa itu menjadi sangat hidup ketika senja datang.”

Adalah Olenin, bangsawan Rusia terhormat yang menjalankan tugas operasi militer di Kaukasus, sebuah wilayah abu-abu yang menjadi basis militer perbatasan. Di sana ia bergaul dengan warga lokal, orang-orang Kazak yang kasar, bengis, dan mengandalkan otot. Pergaulan itu mencipta cinta. Sama orang tua Eroshka yang berpengalaman di banyak perang, memberi contoh dengan masa lalu.

Sama induk semangnya yang dibanjiri hadiah, sebab orang kaya ngekos di pedalaman jelas dapat kehormatan. Sama sahabat pasukannya Lukasha, pemuda lokal yang semangat-semangatnya berjuang. Dan yang utama adalah sama gadis cantik bunga desa Maryanka, hati tuanya meronta-ronta, dalam tulisan-tulisannya begitu syahdu nan memuja kecantikan. “Menurutmu, dicintai itu sama hebatnya dengan mencintai, dan jika seorang lelaki mendapatkan cinta, maka itu sudah cukup untuk seumur hidup.”

Perangnya sendiri melawan gerakan radikal. Dan dalam satu gambaran, Chechnya adalah wilayah muslim, yang digambarkan bar-bar atau tar-tar, “Dikelilingi oleh para tentara dan suku-suku pengikut Muhammad yang setengah tak beradab.”

Dalam gambaran Leo, juga tersaji kepercayaan kritiani, dan juga hal-hal pamali. “Saat ada tongkat tergeletak seperti itu, jangan kau lintasi, tetapi berjalanlah mengitarinya atau lemparkan dari jalan setapak seperti ini, dan katakana ‘Bapa, Putra dan Roh Kudus’, dan dengan berkah Tuhan lanjutkanlah perjalanan, kau akan baik-baik saja. Itulah yang diajarkan orang tua kepadaku.”

Olenin melakukan pendekatan dengan cara aneh. Ia memberi hadiah kuda pada Luke (yang otomatis sebenarnya adalah pemuda pesaingnya), katanya, “Kadet yang tinggal di Elias Vasilich memberikan kuda seharga lima puluh rubel secara Cuma-Cuma, dia kaya.” Lalu sering menggoda Mary, bahkan pernah mencium pipinya. Padahal Mary dan Luke telah bertunangan, nanti saat panen raya selesai akan melangsungkan pernikahan. Dan dengan amarah memertanyakan cinta. “Kenapa kita tidak mencintai? Karena cinta tidak datang. Tidak, dicintai adalah kesialan. Sungguh sial ketika kita merasa bersalah karena tidak memberikan sesuatu yang tidak bisa kita berikan.”

Konyolnya Olenin, justru malah tertantang. Udah tahu sahabatnya mau nikah sama sahabatnya, bisa-bisanya masih menanyakan, “Apa kau mau menikahiku? Pernikahan tidak bergantung pada kita. Cintailah aku sungguh-sungguh Maryanka sayang.”
Dan dengan iseng Mary bertanya, nanti Luke mau dikemanakan?

Hal itu terjawab ketika perang meletus. Perang lokal melawan Chechnya itu berakhir tragis. Dan dengan itu muncul pertanyaan relavan? Apakah Olenin terlibat? Sesaat, Olenin pun merasa bahagia sekaligus gentar. Namun apakah cinta bisa dibentuk ulang? Apakah sejatinya kata-kata manis bisa mengubah pendirian seorang gadis? Atau justru membikin muak sebab ada ujung sebab lainnya? Kalian harus baca Kazak!

Sementara cerita kedua adalah pure cerita berbeda, lebih tipis. Sekadar detail serbuan, kehebatannya memang di prosa menawannya. Detailnya mengagumkan. “Ada seorang lelaki yang memiliki segala yang mungkin diinginkan seseorang – pangkat, kekayaan, kemasyuran. Dan sekarang pada malam menjelang pertempuran, di mana tak seorang pun bisa tahu berapa banyak nyawa yang akan melayang, lelaki itu menggoda seorang perempuan dan menjajikan minum teh keesokan harinya.”

Terakhir, banyak tulisan Olenin tentang cinta yang patut didiskusikan. Di sini ia adalah representasi Leo. Salah satu yang melankolis, “Cintaku tidak lahir dari perasaan galau karena kesepian dan hasrat ingin menikah, tidak pula cintaku ini platonis, apalagi cinta nafsu seperti yang pernah kualami. Aku hanya perlu melihat dia, mendengar dia, mengetahui bahwa dia dekat, dan jika pun aku tidak merasa bahagia, setidaknya aku merasa damai.”

Ini adalah buku ketiga Leo yang kubaca setelah Anne Karenina yang versi tipis, Kumpulan Cerita Pendek Terbaik (sayangnya belum ulas, kayaknya perlu baca ulang segera untuk ulas. Mumpung ingat), dan ini. Dan sudah cukup untuk kuberikan 5 bintang. Semoga semua buku Leo bisa kukejar. Ada rekomendasi bukunya yang bisa kukejar segera?

“Tabik! Sehat selalu untuk Anda sekalian.”

Kazak dan Penyerbuan | by Leo Tolstoy | Judul dalam terjemahan Inggris The Cossocks; The Raid | Penerjemah Wawan Eko Yulianto | Editor Damhuri Muhammad dan Sandria Komalasari | Desain dan ilustrasi sampul Hadi Sidarta | Tata letak Junaedi | Penerbit Jalasutra | Yogyakarta, Januari 2010 | xii + 376 hlm; 12 x 19 cm | ISBN 978-602-8252-26-3 | Skor: 5/5

Bandung, 220524 – Dinah Washington – Cry me a River

Thx to Daniel, DIY