Diposkan pada Fanfiction, Oneshoot, Romance

Trap

image

Judul : Trap

Cast : Henry Lau, Kim Yechan, Kim Jongwoon

Genre : Romance

Note: Untuk yang bercetak miring berarti flashback atau ingatan Yechan.

Happy Reading

Yechan melangkahkan kakinya lemah di sepanjang jalan dari kantornya menuju halte bus. Pikirannya terus saja melayang ke kejadian yang dialaminya tadi siang. Kejadian dengan orang yang selama ini mati-matian ia hindari.

Yechan-ssi, sedang apa kau di sini?” suara yang sudah dihafal Yechan itu membuatnya membalikkan badannya.

“Ah, Henry-ssi, aniya, aku suka menghabiskan waktu istirahat di sini.” Yechan menundukkan kepalanya gugup.

“Aaahhh, geurae.” Henry melangkahkan kakinya mendekati Yechan, lebih tepatnya mengarah pada pagar pinggiran yang menjadi sandaran Yechan melamun tadi.

Tindakan Henry sempat membuat Yechan terkesiap kaget dan mengurungkan niatnya untuk meninggalkan tempat itu saking gugupnya. Gadis itu hanya menundukkan wajahnya yang memerah karena sempat berpikir yang tidak-tidak. Ragu, Yechan kembali menyandarkan dagunya pada pagar pinggiran yang ada di gedung tertinggi kantornya itu, memerhatikan betapa padatnya lalu lintas Seoul saat jam makan siang seperti ini.

“Haaaaaahhh!!!!”

Yechan refleks menolehkan kepalanya. Mereka sama-sama tersentak kaget saat mereka beradu pandang. Yechan langsung menundukkan kepala malu sementara Henry tersenyum geli melihat tingkah Yechan lalu kembali mengalihkan pandangan.

“Sudah lama aku menginginkan untuk berada di tempat ini saat musim sudah mulai menghangat seperti sekarang. Tapi kesempatan yang datang benar-benar bertolak belakang dengan keinginanku. Menyedihkan sekali,” Henry menyunggingkan senyum nakalnya, tanpa sadar hal itu membuat Yechan yang memandanginya merasa sesak nafas.

“Walaupun saat musim gugur berada di tempat ini juga sangat menyenangkan. Angin yang berhembus akan menyentuh pipimu, menamparmu untuk tetap semangat seperti angin itu sendiri. Tapi saat sudah memasuki musim semi seperti ini, angin tak hanya berhembus membawa dingin yang makin lama makin menusuk seperti angin di puncak musim dingin, angin yang berhembus di musim semi selalu membawa kehangatan dan semangat baru. Angin yang menampar pipimu seperti mengajakmu untuk bersemangat menyambut kehidupan yang baru usai musim dingin.” Henry berbicara panjang lebar membuat Yechan yang sedari tadi mendengarkannya sambil menatap wajah pria itu membuka mulutnya lebar.

Yechan tetap memusatkan perhatiannya pada Henry yang kini memejamkan matanya dengan tangan terentang seperti menantang angin. Hidung pria di hadapannya kembang kempis bergantian menandakan pria itu tengah menikmati tarikan nafasnya terhadap angin yang berhembus. Tiba-tiba sebuah senyuman yang berbeda dari yang tadi tersungging di bibir Henry, membuat Yechan kembali merasakan dadanya sesak.

“Bukankah ini menyenangkan?”

Yechan sempat hanya terdiam tanpa bisa berfikir sampai ada angin yang berhembus menampar pipinya. Refleks, dia langsung mengikuti apa yang dilakukan Henry tadi. Menikmati tiap hembusan angin hangat yang berhembus menampar pipinya, menerbangkan anak-anak rambutnya yang berantakan akibat tindakan tidak jelasnya saat stres dengan pekerjaannya – mengacak-acak rambutnya. Senyuman tersungging di bibir Yechan saat dirinya mulai merasakan sensasi menyenangkan menyusup masuk ke dalam dadanya. Angin yang berhembus bukan hanya menampar-nampar pipinya tapi juga menabrak tubuh mungilnya, hal itu membuatnya merasa beban yang ada di pundaknya terangkat terbawa angin.

“Ini menyenangkan. Jeongmal joahaeyo,” sahut Yechan tanpa sadar menyuarakan isi hatinya, membuat pria di sampingnya menoleh dan memerhatikannya.

Henry tersenyum memandangi wajah Yechan yang makin memesona di matanya. Senyuman itu berbeda dengan senyuman yang ditunjukkannya selama ini. Senyuman itu terasa begitu tulus. Dia rasa… itulah senyuman paling indah milik gadis itu. Senyuman yang dia pikir tidak akan pernah dilihatnya lagi.

Rasa senang dalam diri Henry membuatnya melupakan segala beban yang terasa menghimpit dada saat berjalan menuju tempat ini. Atas dasar itulah, kini dirinya berani mendekati gadis itu. Memperpendek jarak yang tercipta antara tubuh mereka. Apa yang ia dapatkan ketika baru sedikit saja wajahnya tertampar oleh rambut kucir kuda gadis itu? Seingatnya ia tidak pernah menemukan aroma semenyenangkan ini. Aroma gadis itu membuatnya semakin berani menghilangkan jarak yang membatasi tubuh mereka.

Henry menyandarkan kepalanya di bahu Yechan. Memberanikan diri melingkarkan tangannya ke tubuh mungil Yechan dan meletakkan tangannya di atas perut gadis itu saat merasakan tidak ada penolakan sama sekali. Henry makin mempererat dekapannya saat merasakan angin yang berhembus makin kencang dan tangan Yechan kini berada di atas tangannya. Tindakan bodoh yang membuatnya makin terbuai karena aroma gadis itu merebak memenuhi indera penciumannya.

“Dengan begini lebih menyenangkan bukan? Kau tidak akan kedinginan saat menikmati angin, terutama saat musim gugur. Iya kan?”

“Ne, kau selalu tahu.”

Henry tersenyum senang mendengar jawaban gadis itu tanpa menyadari keanehan yang terjadi. Ia makin mengeratkan dekapannya pada Yechan. Tapi apa yang dikatakan gadis itu selanjutnya membuatnya kembali mengendorkan dekapannya.

“Saranghaeyo Oppa. Jeongmal saranghaeyo Jongwoon Oppa.”

Saat kalimat itu selesai terucap dari bibir Yechan, Henry sudah melepas dekapannya dan membuat jarak yang wajar antara dirinya dengan Yechan. Henry masih tercengang dan tidak percaya dengan apa yang didengarnya, sementara Yechan menyadari ada yang aneh. Dia membuka matanya dan berbalik untuk memandang pria yang mendekapnya tadi.

Mata Yechan membelalak lebar saat melihat Henry ada di depannya. “Henry-ssi! Apa yang kau lakukan di sini? Di mana?” Yechan memandang sekeliling, menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan seolah sedang mencari seseorang sedangkan Henry hanya memandangnya nanar.

“Henry-ssi, di mana….” ucapan Yechan terhenti saat matanya kembali menemukan wajah Henry.

Dalam sekejap dia menyadari apa yang terjadi dan ia tak sanggup melanjutkan ucapannya. Dia masih berada dalam perangkap orang itu. Dia masih berada di dalam bayang-bayang pria itu.

Yechan tersadar dari lamunan saat telinganya mendengar deru suara bus. Dia mendongakkan kepalanya, dan benar saja bus yang akan ditumpanginya untuk pulang sudah datang. Dengan sigap dia melangkahkan kakinya untuk naik ke dalam bus itu saat bus sudah ada di depannya. Dia duduk di kursi kosong yang paling cepat ia temukan. Dihembuskan nafasnya dengan keras. Rasanya ia ingin segera sampai di rumah agar ia bisa melakukan hal-hal yang selama ini dapat menenangkan hatinya.

^^ Trap ^^

“Channie-ya!!! Palliwa!!!” teriak pria berwajah tampan dengan suaranya yang terdengar menyenangkan.

“Ne, oppa… chamkaman,” sahut Yechan malas saat tangannya ditarik-tarik oleh pria yang berjalan di depannya.

Pria itu menampilkan wajah berseri-seri yang membuat ketampanan pria itu meningkat berkali-kali lipat. Yechan ikut melihat apa yang dilihat pria itu. Biasa saja sebenarnya, hanya atap-atap rumah warga yang terlihat kecil dari atas sini. Ya, mereka tengah berada di puncak gedung tertinggi yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.

“Woaaaaaaaahhhh!!!!” pria itu berteriak senang saat angin datang berhembus.

Sekalipun Yechan sudah hafal betul apa yang akan pria itu lakukan, tapi dia tetap menolehkan kepalanya. Melihat wajah tampan pria itu yang makin bersinar ditambah mulutnya yang terbuka lebar seakan ingin memakan semua angin yang berhembus menerpa tubuhnya. Dengan cepat mulut yang terbuka itu berganti dengan senyuman bahagia. Pria itu memejamkan matanya, menikmati angin yang menyibakkan rambutnya menjadi berantakan. Tapi pria itu tak peduli, ia terus saja memejamkan matanya dan mencondongkan wajahnya ke depan seolah menginginkan angin terus berhembus menerpa wajah dan sekujur tubuhnya.

Yechan mengikuti kegiatan pria itu tanpa disuruh. Mulai memejamkan mata dan ikut menikmati angin yang menerpa kulit wajahnya. Senyuman menghiasi bibirnya saat ia juga merasakan kesenangan yang dirasakan pria itu. Senyumnya makin melebar saat ia merasakan tubuhnya didekap oleh seseorang dari belakang. Seseorang yang ia yakin betul pria yang ada di sampingnya tadi. Prianya. Belahan jiwanya. Dingin yang tadi terasa di tubuhnya berganti kehangatan yang sudah menjalar ke sekujur tubuh. Rasa nyaman yang tercipta membuat ia meletakkan tangannya yang tadi terkulai lemah menjadi di atas tangan pria yang tengah mendekapnya.

“Kau selalu tahu oppa. Kapan aku akan mengikutimu dan… menambahkan kesenangan ini,” ujar Yechan sambil tersenyum senang.

Pria itu menyunggingkan senyumnya. Mengecup singkat pipi Yechan lalu menyandarkan dagunya di bahu Yechan sambil tersenyum. “Channie-ya… saranghanda.”

“Nado oppa. Nado saranghanda, Jongwoon opaa.”

Yechan mengerjap-ngerjapkan matanya untuk menyesuaikan pandangan dengan keadaan sekitar. Ia menghembuskan nafas lega saat dirinya menyadari dia masih ada di dalam kamarnya. Sesaat setelah itu, Yechan kembali termenung, memikirkan mengapa mimpi itu datang lagi? Ia tak peduli dan memilih memejamkan matanya kembali. Tidur. Cara paling ampuh menurutnya untuk mehilangkan stress dan tak peduli lagi pada apapun yang mengganggu pikirannya.

^^ Trap ^^

“Yechan-ssi!!!”

Yechan menghentikan langkahnya saat mendengar ada seseorang yang memanggilnya. Ia membalikkan badannya dan terkejut saat melihat siapa yang tengah melangkah ke arahnya saat ini. Dia heran dengan telinganya. Banyak hal yang berkecamuk di otaknya sehingga suara pria yang ia hindari tak disadari olehnya.

Dengan cepat Yechan kembali melangkahkan kakinya tanpa memedulikan pria yang tadi memanggilnya. Lamunan singkatnya tadi pagi membuatnya mengambil keputusan untuk menciptakan jarak yang semakin lebar dengan pria itu. Dia sempat berdecak kesal saat pria itu dengan cepat mengimbangi langkahnya dan kini sudah berada di sampingnya.

“Boleh aku ikut denganmu? Kau akan makan siang kan? Eo, eo, eo!” pria itu beraegyo di depan Yechan.

“Kukatakan tidak pun kau tidak akan pergi Henry-ssi,” sahut Yechan kesal.

Henry kembali memamerkan senyum nakalnya yang menawan sambil terus mengikuti langkah Yechan. Apa yang terjadi di lantai tertinggi kantor kemarin membuatnya semakin tak bisa menahan diri lagi. Dia hanya terus tersenyum memandang tubuh mungil gadis di depannya dengan tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya.

Yechan sama sekali tidak menduga Henry akan benar-benar mengikutinya dan duduk di meja yang sama dengannya saat makan. Ingin sekali ia tak peduli dengan keberadaan pria yang duduk di depannya saat ini tapi dengan tingkah pria itu sekarang bagaimana mungkin dia tidak peduli. Pria itu tengah duduk di depannya sambil menopangkan dagu pada tangannya yang ada di atas meja. Wajahnya masih tampan seperti biasa. Tatapannya masih tetap menyiratkan kenakalan seperti biasa, kalau saja tatapan itu tidak terarah padanya. Dan senyum yang tengah tersungging di bibir pria itu sangat mengganggunya. Senyuman itu terasa konyol di matanya.

“Kenapa kau mengikutiku?”

“Aniya. Aku tidak mengikutimu.”

Yechan menyipitkan matanya. Menatap wajah bodoh pria di hadapannya ini. Tidak ada keraguan tapi tetap saja Yechan tidak suka kehadiran pria ini. “Kau mengatakan tidak tapi kau duduk di hadapanku, apa itu bukan mengikutiku namanya?” tanya Yechan tanpa menyembunyikan nada kesalnya sedikitpun.

Henry memalingkan wajahnya bingung. Tak tahu bagaimana menanggapi pertanyaan gadis di depannya. Tapi hanya sesaat sampai matanya berubah cerah. “Kau tidak lihat tempat ini penuh. Dan satu-satunya orang yang kukenal di tempat ini hanya dirimu, jadi aku tidak perlu malu untuk membuatmu mau berbagi meja denganku,” jawab Henry dengan kepedean tingkat tinggi.

Yechan kembali menyipitkan mata untuk menatap tajam pria di hadapannya sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Benar apa yang dikatakan Henry, tempat itu memang tengah penuh dan tak ada satu pun meja kosong.

Yechan kembali memandang Henry. “Tapi aku juga belum mengatakan aku mau berbagi meja denganmu kan? Bukankah masih banyak tempat makan selain tempat ini?”

Henry menatap gadis di hadapannya kaget. “Astaga Yechan-ssi. Aku ini bosmu dan kau berani berkata seperti itu,” ujar Henry galak, hanya untuk menggertak gadis di hadapannya.

Yechan memelototkan matanya tak rela tapi akhirnya ia hanya menunduk sambil mencibirkan bibirnya. “Ukh, terserah kau sajalah,” sahutnya pelan.

Mereka terjebak dalam suasana restoran yang ramai itu dalam diam. Yechan hanya terus bermain dengan handphonenya sementara Henry memerhatikan Yechan sambil tersenyum. Bibir Yechan tengah mengerucut lucu. Wajah cantiknya tampak sebal karena bosan. Hal sesederhana itu mampu membuat Henry tersenyum senang.

Yechan mendongak cepat ketika menyadari pelayan menghampiri meja mereka, menandakan pesanannya sudah datang. Matanya sempat beradu pandang dengan mata Henry yang sedari tadi memerhatikannya. Keduanya sama-sama terlonjak kaget. Tapi Yechan dengan cepat mengendalikan ekspresinya dan mulai menata makanan yang dipesannya.

“Kenapa kau hanya memakan itu?” tanya Henry saat melihat makanan yang tengah ditata Yechan tidak ada unsur sayurannya.

Yechan menghentikan kegiatannya yang sudah mau memasukkan makanan kesukaannya – kimbap – ke dalam mulutnya dan memilih mendongakkan kepalanya. Dia memandang Henry dengan pandangan heran, lalu matanya beralih ke makanan yang ada di depannya dan yang ada di depan Henry. Membandingkan keduanya.

“Waeyo? Kau tidak suka?” tanya Yechan ketus sambil melayangkan pandangan sebal.

Henry menghela nafas kesal. “Aish, neo jinja! Buka mulutmu!”

Yechan sempat memelototkan matanya dan membuka mulutnya lebar tanda tak percaya. Tapi hal itu malah dijadikan kesempatan emas oleh Henry untuk menyuapkan kimchi padanya. Refleks Yechan mengatupkan mulutnya menyadari ada makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Dan dia mulai mengunyahnya tanpa tahu apa yang ia makan.

“Yaiks!” ujarnya sambil menyerbu segelas es kopi yang terletak di atas mejanya. “Rasanya aneh. Kau tega sekali!” maki Yechan pada Henry.

Tapi Henry sudah tak peduli lagi. Otaknya memerintahkan untuk mengisi perutnya yang sudah lapar. Dan Yechan hanya bisa terpaku memandang Henry. Dengan pandangan tak percaya dia mengamati wajah Henry. Wajah itu kini mendongak, menciptakan senyuman yang paling Yechan sukai. Senyum jahil setelah mengerjainya.

“Jongwoon oppa…” lirih Yechan sambil menatap tak percaya dengan pandangan matanya.

Henry menghentikan makannya dan mendongak menatap Yechan. “Kau memanggilku?”

Yechan menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai refleks tercepat yang dia bisa. Karena mulutnya seolah tak bisa digerakkan lagi. Otaknya tak mau memerintahkan mulutnya untuk bersuara. Yechan menundukkan kepalanya. Mulai menyumpit potongan kimbap lagi dan memasukkan ke dalam mulutnya, mengunyahnya, memasukkan lagi sebelum kunyahannya masuk ke tenggorokan lalu mengunyah kembali. Dia makan seperti orang tak makan berbulan-bulan.

Henry yang awalnya tak lagi peduli dan memilih melanjutkan makannya, menjadi memerhatikan tingkah aneh Yechan. “Ya! Ya! Ya! Neo jinja! Makannya pelan-pelan saja,” ujar Henry sambil menahan sumpit Yechan yang hendak mengambil potongan kimbap lagi untuk dimasukkan ke mulutnya yang masih penuh.

Yechan memandang Henry tanpa melanjutkan kunyahannya. Pipinya menggembung karena makanan yang memenuhi rongga mulutnya. Dan tangannya tengah melayang sambil memegang sumpit.

Henry memandang gadis di depannya bingung. “Gwaenchana?”

Yechan berusaha mengembalikan konsentrasinya. Membuang jauh-jauh bayangan-bayangan yang tadi begitu memengaruhinya. Digeleng-gelengkan kepalanya untuk membantu otaknya kembali ke dunia nyata. “Nan gwaenchana. Lanjutkan makanmu!” sahut Yechan sambil memandang Henry setelah menelan makanan yang tadi memenuhi rongga mulutnya.

^^ Trap ^^

Yechan memandangi bingkai foto yang berisi fotonya bersama pria yang dicintainya sampai saat ini. Kim Jongwoon. Ia mengalihkan pandangan. Matanya tertumbuk ke titik-titik hujan yang dengan kejamnya menghunjam turun ke tanah dengan titik-titik tajam. Hanya sebentar, sampai dia mengembalikan matanya untuk menatap pria yang ada di dalam bingkai foto tersebut.

“Waeyo oppa? Waeyo? Kenapa kau masih terus membayangi hidupku? Kenapa kau masih memerangkapku sejauh ini? Aku lelah oppa. Aku ingin hidup dengan benar. Aku ingin mencintai orang lain sebesar aku mencintaimu dulu. Aku ingin bebas. Aku ingin bebas dari bayang-bayangmu oppa.”

Yechan menurunkan kakinya. Tubuhnya sedikit bergidik saat merasakan lantai kamarnya begitu dingin. Tak memedulikan rasa dingin yang menyengat telapak kakinya, ia mulai melangkahkan kakinya. Bahkan ketika kakinya sudah menyentuh tanah yang basah di luar rumah juga tubuhnya mulai dihantam titik-titik hujan, ia masih terus melangkahkan kakinya dengan mantap. “Apa oppa akan tetap memerangkapku juga setelah ini? Apa bayangan oppa akan terlihat setelah ini?” desis Yechan putus asa.

Ia tak memedulikan sekujur tubuhnya yang menandakan ia kedinginan. Ia hanya mengikuti kakinya melangkah, tak peduli menuju ke mana pun. Angin yang sesekali berhembus menampar tubuh mungilnya dengan kasar tak sedikitpun membuat kakinya gentar untuk terus melangkah. Tak peduli dengan hawa sedingin apa pun yang menyengat sekujur tubuhnya.

Kakinya berhenti tiba-tiba. Bahkan matanya sudah mulai sayuh karena kelelahan saat memandang tempat yang dituntun kakinya sendiri. Di hadapannya tidak ada pemandangan yang indahnya berlebihan. Di hadapannya hanya sebuah taman kecil. Taman yang begitu sederhana. Taman yang hanya ditumbuhi rumput liar yang dipotong rapi setiap kali tumbuh tinggi. Taman yang hanya ditumbuhi tanaman yang iseng ditanam warga sekitar. Taman yang hanya ada dua bangku di bawah dua pohon rindang di dalamnya.

Mata lelahnya tertumbuk pada salah satu bangku yang ada di taman itu. Ada begitu banyak pandangan di dalam matanya dan berubah-ubah dalam hitungan detik. Rindu, cinta, sedih, kecewa sekaligus marah. Di dalam otaknya kini terputar memori-memori yang bahkan tidak dia inginkan untuk hadir di otaknya. Ia tak sanggup menolak memori yang berkelebat-kelebat cepat di otak seperti sebuah film. Memori yang dulu ia buat dengan pria yang sangat dicintainya.

Otaknya terpaku pada sebuah adegan. Di mana di dalamnya ada seorang gadis dan pria yang tengah berpelukan erat, menantang angin yang tengah berhembus. Dan tiba-tiba saja matanya melebar saat apa yang ada dalam otaknya tertumpah begitu saja dalam pandangan matanya. Bayangan itu terlihat nyata di depan matanya. Membuatnya makin tak suka. Membuatnya makin benci. Dan matanya mulai berair karenanya.

“Ssshhh,” desis Yechan. Mulai merasa angin begitu jahat padanya, menjadikan tubuhnya makin kedinginan. Tangannya tergerak untuk memeluk dirinya sendiri bersamaan dengan air yang mengalir ke pipinya. Air mata yang ditahan-tahannya sedari ini. Dan adegan yang dilihatnya tadi makin memenuhi pandangan dan juga otaknya.

“Channie-ya kau kedinginan?” tanya Jongwoon dengan pandangan khawatir yang tertuju pada wajah gadisnya.

“Aniya oppa. Gwaenchana,” elak Yechan tetapi tangannya tak lepas mengusap bagian lengannya berkali-kali.

“Ayo pulang saja! Kau kedinginan begitu. Kajja!”

Langkah semangat Jongwon terhenti ketika ia merasakan genggaman tangannya terlepas dari tangan gadisnya, menandakan gadis itu tak mengikuti langkahnya. Ia memutar badannya untuk memastikan apa yang terjadi. Matanya membelalak ketika melihat bibir gadis itu mulai bergetar karena kedinginan.

Dengan payung yang masih berada di genggaman tangannya yang lain, ia merangkul tubuh Yechan. Membawa gadis itu menuju tempat teduh pertama yang ditemuinya, sebuah halte. Di halte itu hanya ada mereka berdua, karena semua orang akan berpikir seribu kali untuk berada di luar rumah saat ini. Jongwoon mendudukkan Yechan di salah satu bangku halte setelah meletakkan payung yang tadi dibawanya dengan sembarangan. Dengan wajah panik, ia melepaskan mantel yang dipakainya untuk dipakaikan pada Yechan.

“Oppaahh… ssshhh… diii…ngiiin… op…pa…,” ujar Yechan tak jelas karena bibirnya bergetar hebat.

“Aigo… Channie-ya. Sabar ya,” ujar Jongwoon panik sambil mengusap-usap lengan Yechan dengan kedua tangannya, duduk di samping gadis itu dan mendekapnya. Berharap gadisnya tidak lagi merasa kedinginan.

“Otokhae Channie-ya? Masih dingin?”

“Mahh…shiih… ssshhhh opphah….”

Wajah Jongwoon makin panik mendengar nada bicara Yechan dan melihat wajah gadis itu makin pucat karena berkali-kali angin berhembus menampar tubuh mereka yang basah. Tangan Jongwon beralih meraih dagu Yechan, mendongakkan kepala gadis itu untuk menatapnya. Sempat ada ragu dalam sorot matanya. Tapi segera ia tepis perasaan itu bersamaan dengan tangannya yang menangkup kedua pipi Yechan.

“Aku tidak tahu ini benar atau tidak Channie-ya. Tapi ini mungkin bisa menghangatkanmu,” ragu Jongwoon.

Tapi pria itu tak peduli, ia mulai mempersempit jarak tubuh mereka. Menghilangkannya dalam sekejap saat bibirnya menyentuh bibir Yechan. Dengan keraguan yang masih memenuhi rongga dadanya ia menyesap bibir yang menempel pada bibirnya dengan perlahan. Berusaha menyesap dingin yang ada di bibir gadisnya dengan kelembutan. Sementara tangannya makin mempererat dekapan mereka. Lengannya melingkar posesif ke sekeliling tubuh Yechan.

Tanpa Yechan sendiri sadari, ada rasa hangat yang mulai merasuk ke dalam tubuhnya. Rasa hangat yang ia ragu ia dapatkan dari mana. Dari ciuman hangat dan penuh kelembutan yang diberikan Jongwoon? Atau dari mantel hangat pria itu? Ia tak mau tahu akan hal itu, saat ini ia hanya perlu menikmati apa yang dimulai pria itu. Apa yang dilakukan pria itu untuk dirinya. Yechan mulai memejamkan matanya. Merasa nyaman sekaligus hangat sebelum akhirnya ia membalas ciuman pria itu dengan ciuman yang tak kalah lembutnya.

“Yechan-ssi. Apa yang kau lakukan di sini?” terdengar suara seorang pria.

‘Suara itu,’ batin Yechan.

“Yechan-ssi,” teriak suara itu lagi yang kali ini diikuti goyangan pelan pada bahunya.

Yechan berusaha mengumpulkan kesadarannya. Membuka matanya perlahan, sempat memejamkan matanya kembali karena cahaya yang menyilaukan matanya. Hanya sebentar sebelum akhirnya ia membuka mata kembali dan menemukan wajah yang begitu familiar di hadapannya. Ada rasa senang dan lega yang membuncah dari dalam dirinya hingga membuat senyumnya mengembang begitu saja.

“Bodoh! Kenapa malah tersenyum?” tanya pria yang ada di hadapannya heran.

“Henry-ssi,” sahutnya lirih dengan wajah yang menunjukkan kegembiraan sebelum akhirnya kesadarannya menghilang.

“Yechan-ssi! Yechan-ssi!” teriak Henry panik sambil mengguncang tubuh mungil Yechan yang ada dalam pangkuannya tetapi apa yang dilakukannya tetap tak berpengaruh apa pun.

“Aish!!! Neo jinja baboya Yechan-ssi,” gerutu Henry kesal lalu membawa Yechan bersamanya.

^^ Trap ^^

Yechan membuka matanya pelan saat merasakan sinar matahari menyusup masuk menempa wajahnya. Dia hendak bangun dari tempatnya tidur. Tapi dia mengurungkan niatnya saat menyadari dia tidak berada di kamarnya. Ia hendak mengusap matanya yang terasa perih dan detik itulah ia menyadari tangannya bertautan dengan sebuah tangan asing. Tangan asing yang entah mengapa bukan membuatnya merasa takut melainkan merasa luar biasa nyaman. Bibirnya membentuk sebuah senyuman yang seakan mengatakan dirinya sendiri gila. Kemudian matanya menoleh ke samping tempatnya tidur tadi, dalam sekejap senyuman itu berubah. Wajahnya menegang dan matanya melebar. Dengan pandangan tak percaya ia memastikan lagi siapa pria yang tengah tidur dengan pulas di sampingnya.

“Henry-ssi?”

Pria itu langsung membuka matanya begitu mendengar suara Yechan. Suara yang termasuk pelan dan bagi orang lain tak bisa didengar tapi entah mengapa saat mendengar suara itu otak Henry memerintahkan matanya untuk membuka. Mata pria itu menemukan wajah Yechan. Wajah bangun tidur dengan mata bengkak dan rona yang sedikit mencuat di balik warna pucatnya. Bibirnya tertarik begitu saja lalu ia menarik tubuhnya untuk duduk.

“Yechan-ssi,” ujarnya bersemangat lalu membiarkan tautan tangan mereka terlepas begitu saja tanpa peduli bagaimana penasarannya Yechan dengan tautan itu. Tangan besar pria itu malah menyentuh keningnya.

“Woaaahhhh!!! Panasnya sudah turun. Bagaimana tidurmu?” tanya Henry riang.

“Kenapa aku bisa di sini? Dan… kenapa kau tidur di sampingku?” tanya Yechan dengan nada menyelidik padahal ada sebersit rasa takut dalam hatinya.

Henry terdiam. Berfikir sejenak untuk mengatakan apa yang terjadi semalam. Sesuatu yang sepertinya dilupakan gadis yang ada di depannya.

“Gwaenchana Yechan-ssi. Aku tidak berbuat apa-apa. Kau ini sudah pikun ya? Kau tidak ingat kau seperti apa semalam, hmm?” tanya Henry sambil memiringkan kepalanya.

Yechan mulai mengumpulkan ingatannya tentang kejadian semalam. Kepalanya langsung tertunduk saat dirinya merasakan sesak di dalam dadanya. Perasaan bersalah

“Kau benar-benar tidak ingat? Kau seperti orang bodoh tadi malam. Berdiri di taman di bawah hujan deras dan angin kencang. Membiarkan tubuhmu tetap basah dan kedinginan meskipun sekujur tubuhmu sudah bergetar karena tak tahan. Dan matamu malah terpejam seperti sedang menikmati hujan,” jelas Henry, menutupi pemikirannya tentang Yechan yang sedang terluka semalam.

“Dan kebetulan sekali aku sedang kehabisan kopi di apartemenku jadi aku keluar dan menemukanmu. Bagaimana kalau aku sedang tidak kehabisan kopi? Wajahmu pasti akan masuk koran pagi ini dengan judul ‘Seorang gadis cantik mati kedinginan’. Itu kan sangat tidak elit Yechan-ssi,” candanya sedikit tapi Yechan sama sekali tak merespon.

“Aku tidak tau harus apa ketika tiba-tiba kau pingsan di pangkuanku. Aku begitu panik. Apalagi reaksimu yang aneh ketika menatapku sebelum pingsan. Aku jadi takut. Dan yang terfikir di otakku hanya membawamu ke sini.”

Henry berhenti sejenak, berharap konfrontasinya berhasil dan membuat gadis di depannya kembali berdebat dengannya. Tapi apa yang diharapkannya tidak terjadi. Gadis itu masih menunduk dalam.

“Dan… eung, itu, eumm, itu…”

Yechan mendengar nada aneh yang dilontarkan Henry padanya. Nada itu membuat perasaannya tidak enak. Ia mendongak, menatap wajah Henry yang tak terlihat sepenuhnya karena pria itu tengah menunduk. Pria itu mendongak sejenak, memerlihatkan wajah takut dan ragu. Mulutnya membuka dan menutup dengan cepat. Membuat Yechan memandangnya heran. Tapi mata Yechan langsung menunduk ke bawah, ke arah pakaian yang dipakainya ketika menyadari tatapan pria itu tertuju pada apa yang dipakainya.

Mata Yechan membelalak lebar. Ia tak begitu memerhatikan pakaian apa yang melekat di tubuhnya. Ia tadi hanya terfikir pada apa yang terjadi padanya hingga berada di tempat ini. Di apartemen Henry dan tidur di samping pria itu. Membuatnya merasa bersalah pada pria itu. Tapi detik ini ia merasa kesal. Ia mendongakkan kepalanya kasar, menghunjamkan tatapan paling tajam yang bisa ia berikan pada pria di depannya.

“Jelaskan sekarang Henry-ssi!!!”

Seringaian kecil muncul di bibir Henry. Seringaian nakal dan senang. Seringaian yang menunjukkan rasa senangnya karena berhasil mengubah reaksi Yechan. Pasti setelah ini akan lebih menyenangkan.

“Kau! Kenapa – malah – tersenyum – tidak – jelas – seperti – itu!” ujar Yechan menekankan tiap kata dalam kalimatnya sambil menunjuk-nunjuk dada Henry dengan jarinya.

“Itu bajuku. Aku tak punya baju yeoja di tempat ini. Jadi kupinjamkan padamu seadanya.”

Yechan menatap Henry geram. “Bodoh! Kau tidak sebodoh itu! Kau tau apa maksudku! Apa yang sudah kau lakukan hah?” teriak Yechan frustasi sambil memukul-mukul dada pria itu.

Yechan mulai menangis sesenggukan dan masih terus memukul-mukul dada Henry. Reaksi yang membuat Henry terdiam dan melongo. Reaksi yang sama sekali tak pernah diduganya. Bukan ini reaksi yang diinginkannya. Bukan ini yang ia harapkan akan menjadi reaksi gadis itu. Bukan air mata yang ia inginkan tumpah lagi di pipi gadis itu. Air mata yang sakitnya adalah karena perbuatannya.

“Nuna…”

“Jongwoon oppa tidak pernah melakukan apa pun padaku. Jongwoon oppa tidak akan pernah melakukan apa pun padaku. Kenapa kau? Kenapa kau Mochi-ya?” teriak Yechan dengan tak sabar dan makin memukuli dada juga bahu Henry sembarangan.

“NUNA!!!” teriak Henry sambil mencengkram erat tangan Yechan yang terkepal untuk memukulinya, menghentikan pukulan-pukulan gadis itu kepadanya.

“Dengar aku nuna.”

Yechan terdiam. Memejamkan matanya. Masih terisak keras dan air matanya masih mengalir deras.

“Lihat aku nuna! Lihat aku dan dengarkan aku Yechan-ssi!” tegas Henry sambil mendongakkan kepalanya Yechan dengan paksa.

“Nuna….” Yechan membuka matanya perlahan mendengar panggilan lembut itu.

“Aku… aku tidak akan pernah suka melakukan hal itu padamu. Tidak akan pernah nuna. Aku punya tetangga di apartemen ini nuna. Kau tidak berfikir tentang itu? Aku meminta tolong padanya untuk mengurusmu. Melakukan hal-hal pribadi yang diperlukan olehmu, termasuk mengganti bajumu. Aku berada di sini hanya menungguimu. Duduk di samping tubuhmu yang demam tinggi dan wajahmu yang pucat. Aku tak berniat tidur di tempat yang sama denganmu. Tak berniat sama sekali.”

Yechan menyimak penjelasan Henry masih sambil terisak, tapi tak ada lagi air mata yang turun di pipinya.

Henry menghela nafas lelah. “Tapi kau tiba-tiba mengigau. Menyebutkan nama yang selalu kudengar tiap kali aku bersamamu. Aku tau siapa pria itu. Tapi apa yang sudah terjadi antara kau dan pria itu aku tak tahu. Aku tak peduli dengan hal itu. Tapi melihat wajah gelisahmu aku jadi tak tega untuk berada jauh darimu. Aku hanya bisa menggenggam tanganmu dengan satu tanganku kemudian mengusap kepalamu dengan tanganku yang lainnya. Setidaknya itu yang aku tahu untuk menenangkan seseorang dari mimpi buruk apa pun dalam tidurnya. Eommaku sering melakukannya pada kakak perempuanku dulu. Kakak yang tak pernah bisa kupanggil nuna lagi setelah dia pergi untuk selamanya.” Henry menundukkan kepalanya.

“Tapi,” ia mengangkat kepalanya lagi, menatap mata Yechan dengan pandangan penuh keyakinan. “Tanganmu tak pernah mau lepas dari genggamanku. Semakin keras aku mencoba melepaskan genggaman kita semakin kuat genggaman tanganmu di tanganku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Mataku sudah begitu pedih dan tak kuat lagi menahan kantuk. Aku harus tidur di sofa dan tak boleh tidur di sampingmu. Tapi aku akhirnya mengalah untuk duduk sebentar lagi di sampingmu. Berusaha mengusir rasa kantuk yang menyerangku tanpa ampun sampai kau tidur sedikit lebih lelap dan aku bisa melepas genggaman kita. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya sampai tadi saat kau menyebutkan namaku.” Henry melepas tangan Yechan yang berada dalam cengkramannya membiarkan tangan mereka terkulai lemah di samping tubuh masing-masing.

“Aku tidak melakukan apa pun nuna. Tidak menyentuh bagian tubuhmu kecuali jari-jemari dan kepalamu. Tidak sedikitpun Yechan nuna.” Henry mengakhiri penjelasannya dengan nada frustasi lalu menurunkan kakinya dan mulai melangkah meninggalkan Yechan sendirian di dalam ruangan tidur itu.

Yechan terdiam. Memandangi punggung Henry yang makin menjauh dari pandangannya dan menghilang begitu saja di balik pintu. Segala macam informasi baru berkecamuk di dalam otaknya. Semuanya terasa diproses begitu lambat. Ia merasa begitu sulit memahami situasi apa yang tengah terjadi.

Ia melangkahkan kakinya dengan semangat ketika pikirannya terasa cerah secerah matahari yang tengah bersinar di luar sana. Dicarinya sosok pria yang tadi terlihat begitu lemah di hadapannya. Pria yang lebih muda darinya dan juga merupakan bos di kantornya. Pria yang tidak lagi dia ijinkan untuk memanggilnya ‘Nuna’ sejak ia tahu pria itu adalah bosnya. Pria yang dulunya memiliki hubungan yang hangat dengannya hanya karena pria itu memiliki hubungan dekat dengan Jongjin – adik Jongwoon. Dan sejak saat dia tahu pria itu adalah bosnya, tak ada lagi hubungan hangat. Semua itu terjadi hanya karena dia kesal. Amat sangat kesal.

Dia sudah melakukan banyak cara untuk melupakan pria yang pernah dan masih dicintainya sampai akhir hidup pria itu. Meninggalkan rumah lamanya di kampung halaman dan pindah ke kota yang sama sekali asing baginya. Membuang tiap benda yang memiliki kenangan bersama pria itu. Tapi ia harus bertemu Henry, pria yang pernah memiliki hubungan dengannya dan juga dengan Jongwoon. Membuatnya teringat dengan memori-memori yang selama ini berusaha ia hapus. Bahkan ia melihat bayangan Jongwoon dari dalam diri Henry. Bayangan yang entah mengapa bisa tercipta dengan begitu saja. Menyiksanya tiap kali berhadapan dengan bos mudanya itu. Memerangkapnya dalam penjara yang baginya tak memiliki celah untuk melarikan diri.

Matanya bersinar senang ketika menemukan punggung Henry. Kakinya terhenti di ambang pintu dapur. Menatap punggung pria itu yang sepertinya sedang membuat kopi. Sebuah senyuman tercipta di wajahnya. Bersamaan dengan itu, kakinya kembali melangkah. Menuntunnya menuju pria yang tengah berkutat dengan sendok di dalam gelas, mengaduk kopi yang aromanya menyenangkan hidung.

Tubuh pria itu menegang. Tangannya yang tengah mengaduk cairan hitam di dalam gelas terhenti begitu saja. Sepasang lengan mungil melingkar di sekeliling perutnya. Dan sebuah tubuh mungil tengah bersandar di punggungnya, begitu juga kepala pemiliknya. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Dilepaskannya sendok yang tadi ia pegang, memindahkan tangannya ke atas tangan yang tengah memeluknya dengan posesif.

“Mianhae Henry-ya. Jeongmal mianhae.”

“Aniyo nuna. Aku yang seharusnya minta maaf. Aku tidak seharusnya kembali ke hidupmu. Aku tidak seharusnya mengusikmu. Kalau aku tidak begitu pasti kau takkan dalam keadaan seperti ini. Mianhaeyo nuna.”

Yechan melepaskan lengannya yang tadinya memeluk Henry erat. Membalik tubuh pria yang jauh lebih tinggi darinya itu dengan kasar. “Kau ini! Baboya! Jeongmal baboya mochi!”

“Ya nuna! Kenapa mengataiku bodoh?”

“Kau memang bodoh Henry-ssi. Bodoh. Sangat bodoh.” Yechan tiba-tiba menangkup kedua pipi gembul Henry dengan kedua tangannya. “Jeongmal gomawoyo. Jangan meminta maaf lagi. Terima kasih untuk semuanya Mochi-ya. Gomawoyo.” Yechan mendaratkan kecupan ringan di bibir Henry.

Henry hanya memandang takjub dan tak percaya pada Yechan yang tengah tersenyum senang padanya. Ia tak bisa melakukan apa pun. Otaknya terasa kosong dalam sekejab dan sarafnya terasa mati rasa karena tak bisa melakukan tindakan refleks apa pun. Sebelum ia menemukan kesadarannya kembali gadis itu sudah memeluknya. Menyandarkan kepala di dadanya. Membuatnya takut gadis itu akan mendengar detak jantungnya yang tak terkontrol di dalam rongga dadanya. Tangannya dengan refleks membalas pelukan gadis itu.

“Aku akan berusaha untukmu. Aku akan berusaha bersamamu Mochi-ya. Aku akan mendorong memori tentang Jongwoon oppa ke tempat paling belakang di otakku, dan membiarkan tempat terdepan di otakku terisi dengan kenangan-kenangan baru bersamamu. Kau mau kan Henry-ya?”

“Apakah itu salah satu ungkapan cinta nuna padaku? Apakah ini ajakan untuk berpacaran nuna?”

“Kau ini.” Yechan memukul punggung Henry pelan sambil terkikik lalu menganggukkan kepalanya pelan.

Pria itu makin mengeratkan pelukannya lalu mengecup puncak kepalanya dengan lembut dan lama. Kemudian sebelah pipi pria itu bersandar di atas kepalanya. Tindakan yang membuatnya makin merasa nyaman. Tindakan yang membuat hatinya tak lagi gelisah. Dan ia memilih memejamkan matanya. Menikmati momen yang ada bersama pria baru dalam hidupnya. Henry-nya. Henry, pria yang tetap akan memanggilnya ‘nuna’ setelah ini sekalipun ia berkata jangan.

Inspired by Trap (Song by Henry Lau)

Penulis:

Penggila Buku Penimbun Buku Elf Clouds String Yesung and Henry Fans Everlasting Friends of Super Junior

Tinggalkan komentar