JAKARTA–Pengorbanan seorang ayah, cinta seorang anak, kegigihan menggapai mimpi menjadi pemain sepak bola nasional dan patriotisme mewarnai novel terbaru Andrea Hirata, “Sebelas Patriot” yang mulai pekan ini dapat ditemui di toko-toko.

“Novel ini saya harap bisa mengingatkan kita akan pentingnya PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) bagi kita. Ini momen yang tepat di mana PSSI saat ini sedang dalam status quo dan tak memiliki kepemimpinan,” katanya dalam peluncuran novelnya yang ketujuh itu di Belitong dua pekan lalu.

Dalam novel ini, penulis tetralogi Laskar Pelangi yang fenomenal itu menyatakan tak ingin lagi bertele-tele dengan mendasarkan novel pada pertanyaan-pertanyaan retorik seperti bukunya yang lain semisal Maryamah Karpov yang membuat dahi berkerut.

“Tapi lebih kepada logika mekanik di mana kehidupan sepanjang 70 tahun dikisahkan dalam novel setipis 101 halaman,” katanya.

Gaya penulisan seperti dalam novel terbaru ini didapatnya setelah belajar sastra di Universitas Iowa, Amerika Serikat, dari Juli hingga November 2010. Di Iowa itulah, penulis termasyur Mark Twain dilahirkan.

Laskar Pelangi, novel pertamanya, hingga novel keenamnya Cinta Dalam Gelas, ia akui dibuat tanpa pernah belajar sastra.

“Saya hanya menuliskannya saja, bagaimana memotret isu besar dari sebuah pulau terpencil,” katanya.  Ia mengaku baru bisa memiliki inspirasi menulis justru setelah berada jauh dari kampung halamannya.

Di “Sebelas Patriot”, Andrea sudah mengelaborasi teknik-teknik baru, jiwa dari sebuah kisah di mana kisah harus terus terpelihara benang merahnya dengan karakter-karakter yang terjaga.

“Karena itu saya harap novel ini lebih bermakna dan berbobot,” kata anak dari pasangan Masturah (ibu) dan Seman Said Harun (ayah) itu.

Tantangannya adalah temanya berkisar seputar sepak bola belum pernah ada sebelumnya dan bagaimana menangkap ide besar dengan isu yang relevan, ujarnya.

“Buku ini terinspirasi foto ayah saya. Ayah saya tidak boleh menang dari Belanda, tapi ayah melanggar dan memasukkan gol ke gawang mereka,” katanya seraya menekankan bahwa novel terakhirnya ini tidak ditarik dari kisah hidup sebenarnya tetapi diilhami kehidupannya.

Pria lajang ini mengaku tak tertarik lagi pada keindahan kata namun tak memberi dampak. Ia kini lebih memilih menulis dengan gagasan yang menggerakkan.

Karena harapan tersebutlah Andrea Hirata juga mengemas novel Sebelas Patriot ini dengan sebuah compact disc yang berisi tiga lagu yang aransemen hingga liriknya, dia buat sendiri dalam sehari. Judulnya “PSSI Aku Datang”, “Sebelas Patriot” dan “Sorak Indonesia”.

“Saya tidak berharap bisa eksis di musik dan jadi musisi dengan menyebarkan CD ini. Ini sekedar saja, saya menulis baru enam tahun, tapi main musik gitar sejak SMP,” katanya.

Lelaki berambut ikal sebahu ini memang terbiasa bekerja cepat. Bukan saja aransemen hingga lirik tiga lagu yang ia buat sehari, Sebelas Patriot pun dituliskannya hanya dalam tiga minggu.

“Saya tidak seperti halnya penulis lain yang membutuhkan waktu panjang untuk menulis karena saya hanya menggunakan waktu untuk menulis 10 persen, sedangkan 90 persennya untuk riset, misalnya empat tahun untuk riset,” katanya.

Untuk menuntaskan novel Laskar Pelangi misalnya, Andrea hanya butuh dua minggu, namun risetnya justru sepanjang hidupnya.

“Ketika saya menuangkan apa yang ada di pikiran saya, saya menuliskannya sampai selesai tanpa membaca dan memeriksanya lagi. Jadi nanti orang lain saja yang membacanya,” katanya.

Dia mengakui, itulah yang membuat cerita dalam karyanya sering melompat-lompat, kurang tertata dan seperti terburu-buru. Baginya, menulis novel itu layaknya bekerja kantoran, tidak tergantung “mood” atau inspirasi yang tiba-tiba muncul. “Ketika saya akan menulis novel, saya sudah tahu apa kata pertama yang harus saya tulis dan tahu bahwa kata-kata inilah yang saya harus tuliskan sampai kata terakhir,” jelasnya.

(www.antaranews.com)

Tinggalkan komentar