Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999

TENTANG

KEHUTANAN

 

Pasal 4
(1)  Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.  
(2)  Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada Pemerintah untuk :
a.  mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b.  menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; atau
c.  mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta  mengatur
perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
(3)  Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Pasal 27
(1)  Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada :
a.  perorangan,
b.  koperasi.
(2)  Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada :
a.  perorangan,
b.  koperasi,
c.  badan usaha milik swasta Indonesia,
d.  badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.  
(3)  Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada :
a.  perorangan,
b.  koperasi.

Pasal 28
(1)  Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(2)  Pemanfaatan hutan  produksi dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemanfaatan hasil hutan kayu, izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.

Pasal 29
(1)  Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada :
a.  perorangan,
b.  koperasi.
(2)  Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada :
a.  perorangan,
b.  koperasi,

c.  badan usaha milik swasta Indonesia,
d.  badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.  
(3)  Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada :
a.  perorangan,
b.  koperasi.
c.  badan usaha milik swasta Indonesia,
d.  badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.  
(4)  Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada :
a.  perorangan,
b.  koperasi.
c.  badan usaha milik swasta Indonesia,
d.  badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.  
(5)  Izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada :
a.  perorangan,
b.  koperasi.

Pasal 38
(1)  Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
(2)  Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan .
(3)  Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.  
(4)  Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
(5)  Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 50
(1)  Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
(2)  Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan hutan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan hutan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.  
(3)  Setiap orang dilarang :
a.  mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
b.  merambah kawasan hutan;
c.  melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan :
1.  500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2.  200 (dua ratus) dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3.  100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;  
4.  50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;  
5.  2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6.  130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
d.  membakar hutan;
e.  menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan  tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f.  menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g.  melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;  
h.  mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat
keterangan sahnya has il hutan;
i.  menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
j.  membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasi l hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
k.  membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
l.  membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan
keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
m.   mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
(4)  Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 66
(1)  Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah.  
(2)  Pelaksanaan penyerahan sebagaian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.  
(3)  Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

Pasal 71
(1)  Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.  
(2)  Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 72
Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi Pemerintah atau instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.

Pasal 73
(1)  Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan.
(2)  Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a.  berbentuk badan hukum;  
b.  organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan; dan
c.  telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Pasal 78
(1)  Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penajara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.000,00 (lima milyar  rupiah).
(2)  Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam P asal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.000,00 (lima milyar  rupiah).
(3)  Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.000,00 (lima milyar  rupiah).
(4)  Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).

(5)  Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e, atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.000,00 (lima milyar  rupiah).
(6)  Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.000,00 (lima milyar  rupiah).
(7)  Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
(8)  Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(9)  Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
(12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10) dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.  
(14) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana  masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.  
(15) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dirampas untuk Negara.

Pasal 79
(1)  Kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilelang untuk Negara.
(2)  Bagi pihak-pihak  yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang yang dimaksud.  
(3)  Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Detailnya klik disini uu_41_1999_kehutanan

Diterbitkan oleh kamoenyo

34 AGE, SKIN BLACK,JOB:WORKER

Tinggalkan komentar