Diposkan pada Cerpen, Romance

My Dream

Title: My Dream

Author: Cha

Cast: Fanya, Rifqi dan Fariz

Genre: Romance

Length: Oneshoot

Disclaimer : Cast yang ada punya Tuhan dan orang tuanya sendiri-sendiri tapi ide dan cerita ini murni milikku.

Warning: Aneh. Sedikit manis. #hahahahahahaha Ini cerpen yang sebenarnya mau aku bikin panjang. Tapi berhubung buat keperluan lomba jadilah satu judul aja begini. Ikutan lombanya kalah. Jadi maklum kalau mungkin ceritanya agak ajaib. hihihihihi

Happy Reading.

.

.

.

.

.

Seberapa keras usahaku mungkin tak akan pernah cukup untuk menciptakan senyum terindah di wajahmu.

Seberapa besar kuluangkan waktuku mencari cara terbaik untuk menyenangkan hatimu mungkin tak akan bisa.

Tapi kuharap dengan ini kamu cukup senang.

Jadi aku dapat bernafas sedikit lebih baik detik ini.

Fanya tersenyum geli membaca tulisan di halaman depan novel itu. Qiqi, batinnya. Bagaimana mungkin dia terpikir untuk melakukan ini? Memberikan ini kepadaku? pikir Fanya heran bercampur senang. Memang mereka sedang berada dalam jarak yang cukup jauh detik ini. Jarak rumah mereka jauh dan ditambah saat ini Rifqi sedang tugas di luar kota.

Senyuman demi senyuman mengalir di wajah Fanya yang hitam manis. Hatinya memang begitu senang mendapatkan novel bersama sebuah ucapan di dalamnya. Bagaimana tidak? Memang siapa lagi yang pernah dan bisa memperlakukannya seperti ini? Ia mengambil handphonenya yang tergeletak begitu saja di atas meja belajarnya dan mulai mengetikkan sesuatu di dalamnya.

To: Lophely Dream

Hey kau! Dapet ide dari mana hm? Tapi ngomong-ngomong, makasih ya. ^^

Ia melempar handphonenya sembarangan ke samping. Lalu ia sendiri merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Memosisikan diri senyaman mungkin untuk melahap buku barunya malam ini. Baru beberapa menit saja, gadis itu sudah terlarut dalam isi buku itu. Wajahnya mulai serius menekuri jalan cerita yang ada di buku itu.

***

“Hey!!! Fanyaaaa!!! Banguuuuunnn!!!!” Fariz mengguncang tubuh Fanya pelan tapi teriakannya seperti suara petir.

“Euhm…. Apaan ya berisik banget?” gumam Fanya tak jelas.

“Eh?? Apaan apanya Fanya?!? Cepet bangun!!!” sentak Fariz dengan suara melengking.

Fanya kaget dan langsung membelalakkan matanya tapi dengan cepat menutupnya juga menutup mukanya dengan tangan saat ia merasakan cahaya matahari terlalu menyengat indera penglihatannya.

“Dasar cewek males! Cepet mandi atau aku tinggal! Jangan ngurusin mimpi anehmu itu melulu!”

Fanya mendengar cerocosan yang makin lama makin tak terdengar di telinganya karena Fariz – satu-satunya kakak yang ia punya – sudah meninggalkannya sendirian di kamar, berlalu entah ke mana. Menyadari apa yang dikatakan kakaknya, ia langsung melompat turun dari tempat tidur. Mengabaikan pusing di kepalanya yang timbul karena ia bangun tiba-tiba dan langsung melesat ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ia membenahkan diri juga keperluan kuliahnya dengan tergesa-gesa. Riasannya yang biasanya sudah tidak jelas bentuknya sekarang makin berantakan atau bisa dibilang terlalu apa adanya. Ia makin terburu-buru ketika suara Fariz melengking dengan kencang kembali mengomelinya. Dipasangnya sepatu kets kesayangannya dengan serampangan lalu menyusul ke tempat di mana Fariz berada.

“Siap bos! Ayo berangkat!” sahutnya semangat dari boncengan motor Fariz sambil menepuk pelan pundak kakaknya itu.

Dengan segera, Fariz melajukan motornya seperti jet yang melesat di langit. Kecepatannya tidak main-main. Fanya hanya diam saja dengan kecepatan motor Fariz. Tak takut dengan kemungkinan apa pun. Dia malah menikmatinya dengan tersenyum. Dia merasa, kecepatan ini membuatnya semangat. Semangat meraih apapun yang harus diraihnya. Meraih mimpi juga harapan apapun yang belum sempat ia wujudkan.

“Oke. Thanks ya mas.” Fanya turun dari boncengan motor Fariz.

Pria itu tak menyahut apapun. Hanya terus memandang ke depan. Saat Fanya membalikkan badannya, pria itu langsung melajukan motornya secepat kilat.

***

Fanya menghentak-hentakkan kakinya kesal di sepanjang koridor kampusnya. Apalagi? Dosennya, dengan kurang ajarnya nggak masuk kelas hari ini. Padahal dia sudah bangun pagi-pagi untuk kelas hari ini. Benar-benar menyebalkan. Kini, dia melangkahkan kakinya tak tentu arah. Biasanya, dalam keadaan seperti ini, dia sudah memulai kegiatan favoritnya.

Kakinya menuntunnya menuju kantin. Dan dia duduk di tempat favoritnya, di sebuah bangku di bawah pohon. Di tangannya sudah ada beberapa bungkus camilan dan sebotol air mineral. Ia duduk  dengan nyaman sambil mendengarkan lagu yang terputar di MP3 playernya. Tangannya yang satu memegang sebuah notebook dan yang lainnya tengah mengacak-acak camilannya.

Notebook cantik yang Fanya pegang adalah buku mimpinya. Notebook cantik bersampul kertas kado biru berisi cerita tentang mimpinya. Di halaman pertama tersimpan sebuah gambar. Sketsa sederhana Fanya tentang gambaran Rifqi – pengisi mimpinya selama ini. Pada halaman-halaman selanjutnya, notebook itu berisi setiap kejadian yang masuk ke dalam mimpinya. Setiap detail yang masuk ke dalam mimpinya ia masukkan ke dalamnya. Hanya untuk membuatnya ingat akan mimpi-mimpinya yang kini jadi harapannya.

Fanya adalah pemimpi. Pemimpi yang gigih. Mengalami mimpi bersama sosok yang sama selama beberapa bulan terakhir ini menjadikannya percaya pada sebuah harapan. Rifqi, pria yang menemaninya di tiap kejadian dalam mimpinya, adalah takdirnya, jodohnya kalau boleh. Harapannya sudah melambung sangat tinggi saat ini. Ia memupuk mimpi itu setiap hari. Menjadikannya sebuah harapan besar akan cinta yang belum pernah ia rasakan di dunia nyata. Ia berharap dengan menulisnya, membacanya kembali akan menguatkan mimpi itu memasuki dunia nyatanya.

***

Aku memimpikan dirimu di tiap tidurku

Aku mengharapkan hadirmu tiap ku bernafas

Kukumpulkan potongan mozaikku untuk sempurnakan dirimu

Seperti apa hidungmu, matamu, bibirmu, pipimu

Seperti apa senyummu, gaya bicaramu, cara jalanmu.

***

Fanya sedang berada dalam bianglala di sebuah taman bermain di kotanya. Di hadapannya ada seorang pria, pria yang selama ini mengisi hari-harinya. Pria yang kini begitu semangat menatap Fanya dengan tatapan memuja dan mendamba.

“Sebegitu cantikkah diriku di matamu Rifqi? Apa kamu nggak lihat pemandangan di luar sana jauh lebih indah daripada mukaku yang item ini?”

Rifqi mengalihkan sudut matanya untuk melihat apa yang dimaksud gadis di depannya ini. Memang indah, bagi mata orang biasanya. Tapi dia bukan orang biasanya bukan? Ia adalah Rifqi dan bukan orang biasanya. Biarlah di tempat tertinggi dari bianglala ini diimpikan banyak orang hanya untuk melihat pemandangan dari atas sini, tapi dia hanya memimpikan untuk memandang satu pemandangan. Gadis di depannya.

“Kau tau? Ada keindahan yang seribu kali lebih indah daripada apa yang kau sebut indah tadi.”

Fanya mendengar nada lembut itu. Nada yang biasa digunakan Rifqi saat berbicara berdua dengannya. Fanya sempat terkejut dan menatap wajah tampan pria yang tengah tersenyum padanya saat ini. “Sinting!” hardiknya lalu kembali mengalihkan pandangan ke luar kotak bianglala. Tindakan yang ia lakukan hanya untuk menahan degupan jantungnya yang menggila. Hanya agar ia dapat bernafas dengan benar sebentar saja.

Rifqi tersenyum makin lebar. Ia tau gadisnya. Gadis itu pasti tengah gugup. Tangannya meraih dagu Fanya. Dan tubuh gadis itu langsung menegang dalam sekejap. Saat tangannya menuntun wajah Fanya untuk menatapnya ia menemukan mata gadis itu membulat kaget. Lagi, ia sunggingkan senyum terbaiknya. Ia ingin gadis itu sedikit rileks,  meskipun itu tidak akan pernah terjadi selama ia ada di hadapan gadis itu dengan pesona yang tak bisa tergambarkan.

“Keindahan itu. Adalah gadis di depanku. Gadis yang tidak pernah bisa tenang selama aku ada di hadapannya. Gadis yang memiliki tingkah unik dan wajah menyenangkan yang jarang sekali aku lihat. Jadi, untuk apa aku menjadi orang biasanya yang suka menontoni pemandangan kota yang mungkin bisa kulihat setiap hari jika ku mau. Aku tak mau menjadi orang biasanya, untuk itu aku lebih suka melihatmu. Menyaksikan keindahan yang akan sangat kurindukan setiap waktunya.”

***

Sudah terkumpul semua mozaikku tentang dirimu

Sudah kutancapkan kuat-kuat di hatiku

Dan kupastikan dari sekarang

Saat kau bertemu denganku

Kau tak akan pernah bisa lepas dariku

Kau harus jadi milikku

Mau tidak mau, suka tidak suka

Kau harus hadapi takdirmu

***

Fanya mengerjapkan matanya ketika menyadari waktu telah berlalu begitu cepat semalam. Matanya merasakan cahaya matahari yang menyusup lewat celah tirai jendela menampar wajahnya, membangunkannya. Segurat senyum tercipta ketika matanya sepenuhnya terbuka dan kesadarannya telah terisi penuh. Bayangan mimpinya membuat tubuhnya jadi bahagia sekaligus tak tenang. Hanya memikirkannya saja jantungnya sudah berdegup tak nyaman.

Ia bawa tubuhnya bangun. Tangannya mengambil notebook birunya yang selalu ia letakkan di samping kepalanya saat tidur. Dengan cepat, ia kisahkan kembali tiap detail kejadian yang mengisi mimpinya tadi malam. Menuliskannya dengan semangat yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Membiarkan apa yang ia rasakan dalam mimpinya ikut terasa saat ini. Di akhir tulisannya ia menulis.

I’LL GET MY DREAM

***

Ketika takdir memilih hari ini

Ketika takdir memutuskan detik ini untukku menatap matamu

Sungguh sekujur tubuhku belum siap

Dream for real

***

Fanya tengah tergesa-gesa, tapi beban yang dibawanya membuat langkahnya terhambat. Buku-buku yang dipinjamnya dari perpustakaan untuk tugas terbarunya membuatnya kepayahan. Awalnya, ia masih bisa berjalan cepat. Tapi kini, kakinya sudah lemas. Ia hanya berjalan sekuatnya saja sambil melamunkan es jeruk yang bisa didapatkannya begitu ia bisa menemukan kantin yang masih jauh dari tempatnya berjalan saat ini.

Begitu asyiknya ia melamunkan banyak hal setelah es jeruk, sampai tak menyadari pria yang tengah berjalan ke arahnya dengan menunduk menghadap buku yang dibaca pria itu. Mereka tak saling menyadari keberadaan masing. Dan hal yang paling tidak diinginkan terjadi begitu saja.

Buk! Buk! Buk!

“Aduh, bukunya!”

“Aghh!!!” terdengar desisan pria yang tertimpa buku-buku tebal yang dipinjam Fanya.

“Yah, bukunya,” wajahnya mendongak dan matanya menemukan kaki yang tertumpuk buku-buku tebalnya, “Aduh, mati deh!”

Fanya mengumpulkan buku-bukunya dengan cepat. Berusaha menyingkirkan buku-bukunya dari kaki seseorang yang ia dengar mendesis kesakitan tadi. Ditumpuknya kembali buku itu dalam tumpukan yang rapi. Lalu ia mengangkat wajahya, hendak meminta maaf pada seseorang yang sudah tak sengaja ia buat kesakitan.

Matanya menemukan wajah yang membuatnya mengaduk-aduk ingatannya. Matanya mendapati mata yang tak asing lagi bagi otaknya. Hal itu membuatnya terpaku. Menatap dalam-dalam ke wajah seseorang – yang ternyata pria – di hadapannya. Otaknya berusaha mencari-cari di mana ia mendapatkan wajah dan mata itu. Ia tak menemukannya. Tapi hatinya mengatakan pria itu, orang yang berharga di hidupnya. Benarkah? Bukankah selama ini ia tak pernah menganggap pria manapun berharga kecuali….

“Rifqi.”

“Fanya.”

Suara mereka terdengar bersamaan. Kata yang tak mereka sadari keluar dari bibir mereka. Mereka kembali terpaku. Menyelami mata masing-masing. Menebak-nebak. Teka-teki apa yang ada di hadapan mereka. Membiarkan mata masing-masing terpaku seakan melihat keindahan yang tak ada duanya. Tak peduli terhadap keadaan di sekitar mereka. Mahasiswa-mahasiswa yang lewat tengah menatap heran keduanya.

“Rifqiku.” Fanya melontarkan kata itu begitu saja, seolah memang itulah yang harus diucapkannya sedari tadi.

Pria dia hadapan Fanya tersenyum lembut. Lebih lembut dari yang dikira Fanya. Mata pria itu menunjukkan sesuatu yang aneh. Lega dan bahagia. Membuat Fanya menatap pria itu tak percaya. Apakah pria ini juga mencarinya? Ah, tidak. Apakah pria ini juga menantinya sepertia dirinya yang menantikan pria itu?

“Ya, my Fanya. It’s your Rifqi.” Suara halus pria di depannya semakin menguatkan pemikirannya.

Ia lemparkan tubuhnya pada pria itu. Melingkarkan tangannya di sekeliling tubuh pria itu yang langsung dibalas oleh pria itu. Fanya menghirup aroma menyenangkan pria itu. Membiarkan jantungnya berdebar sesuka hati. Tak peduli pada nafasnya yang tertahan karena bahagia. Yang ia ingat hanya pria itu. Mendapati pria itu di pelukannya. Nyata, bukan mimpi semata.

***

Semuanya, semuanya tentang dirimu

Segala hal yang berhubungan dengan eksistensimu

Semua itu telah terpatri jelas dalam hatiku bukannya otakku

Karena otakku bisa saja melupakan seperti apa dirimu

 Tapi hatiku tidak akan pernah lupa

Bagaimanapun lemahnya otakku dalam mengingatmu

Tapi hatiku akan tau jika itu dirimu

˜END˜

/spanspan style=”color:#000000;”

Penulis:

Penggila Buku Penimbun Buku Elf Clouds String Yesung and Henry Fans Everlasting Friends of Super Junior

Tinggalkan komentar