gmnisumedang

Pejuang Pemikir-Pemikir Pejuang!

Kuda Lumping sebagai Simbolisasi Perlawanan Rakyat*)

Oleh : Hiski Darmayana**)

Sejak kecil penulis sudah menyaksikan atraksi tarian kuda lumping, yang sering dipentaskan oleh kelompok seniman dengan berkeliling kampung dan kompleks perumahan. Seperti layaknya musisi atau seniman jalanan yang mencari penghidupan dengan mengamen dari satu bus ke bus lainnya,  penulis juga sering menyaksikan kelompok seni kuda lumping ini beraksi. Dengan atraksi tarian dan unjuk kekebalan yang memukau, para seniman tersebut berhasil menyedot perhatian masyarakat.

Ketika itu penulis hanya tertarik dengan hal-hal yang dianggap luar biasa dalam atraksi kuda lumping, seperti tubuh yang kebal ketika dipecut, kekuatan sang seniman saat makan beling serta pengupasan kulit batok kelapa dengan menggunakan gigi. Ditambah lagi, beberapa adegan kesurupan yang dialami beberapa seniman.  Kebanyakan orang pun hanya tertarik dengan hal-hal seperti itu. Tidak banyak yang tahu mengenai asal muasal dan makna dari simbol-simbol yang terdapat dalam  tarian yang berasal dari kebudayaan masyarakat Jawa itu.

Sebagai Media Perlawanan

 

Tidak ada sumber sejarah yang dapat memastikan kapan dan dari daerah mana persisnya atraksi kuda lumping ini berasal. Namun, dari beberapa versi yang penulis dapatkan, tarian  ini kental dengan nuansa perlawanan rakyat di Jawa terhadap kaum elit kerajaan maupun kolonialis Belanda.

Salah satu dari versi tersebut menyatakan bahwa tari kuda lumping erat kaitannya dengan masa Perang Diponegoro (1825-1830). Ketika itu, banyak rakyat yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah, namun bentuk dukungannya itu tidak seluruhnya dimanifestasikan dengan turut berperang bersama pasukan Diponegoro. Dukungan tersebut ada pula yang diwujudkan dalam bentuk seni pertunjukkan yang merepresentasikan perjuangan pasukan berkuda Pangeran Diponegoro. Seni pertunjukkan itulah yang di kemudian hari dikenal sebagai tarian kuda lumping.

Versi lainnya menyebutkan bahwa tradisi tari kuda lumping sebenarnya menggambarkan latihan perang tentara Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I dalam  menghadapi pertempuran melawan pasukan Belanda.

Kemudian, ada pula versi yang menyebutkan bahwa tarian ini sudah ada jauh sebelum masa kolonialisme. Tepatnya, ketika era kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Jawa. Pada masa itu, struktur masyarakat Jawa yang sangat feodalistis dan menindas wong cilik menyebabkan timbulnya rasa benci dari kalangan kaum kromo terhadap kaum ningrat dan elit feodal kerajaan. Namun rasa benci tersebut tak dapat mereka salurkan melalui perlawanan secara frontal. Maka mereka mengekspresikan perlawanan mereka pada kaum ningrat dengan menciptakan simbolisasi melalui sebuah karya seni. Kuda lumping adalah wujud dari simbolisasi tersebut.

Kuda merupakan hewan simbol prestise dan kemewahan kaum bangsawan di masa feodalisme Jawa dahulu. Mustahil kaum kromo dapat memiliki kuda ketika itu. Maka seni kuda lumping yang mereka ciptakan menggambarkan kemampuan mereka memiliki kuda seperti halnya kaum ningrat. Meskipun kuda yang mereka tampilkan dalam atraksi tersebut hanya kuda yang dibuat dari anyaman bambu atau kepang.  Kuda lumping juga dapat dimaknai sebagai simbol ‘penghinaan’ yang dilakukan wong cilik terhadap kaum ningrat dengan cara menduduki dan mempermainkan hewan kebanggan mereka. Hal ini mengingatkan kita pada seni sisingaan dari Subang, yang juga merupakan simbolisasi penghinaan warga Subang terhadap simbol kebanggaan penjajah yakni hewan singa.

Dirasuki ‘Roh’ Perlawanan

 

Atraksi kuda lumping dimasa kini memang lebih dikenal sebagai tontonan yang bersifat menghibur semata dan banyak dipentaskan dalam hajatan syukuran atau dimainkan oleh kalangan seniman jalanan. Seperti halnya pengalaman masa kecil penulis, image kuda lumping di mata masyarakat tak bisa dilepaskan dari atraksi-atraksi magis yang tidak normal bahkan ‘mengerikan’ bagi orang kebanyakan. Namun, justru hal-hal seperti itulah yang menjadi daya tarik tarian kuda lumping. Pertunjukkan yang bernuansa magis dan pada umumnya menunjukkan kekuatan fisik atau kekebalan tubuh sesungguhnya juga terkait dengan era perjuangan melawan pasukan Belanda dahulu. Ketika itu para pejuang atau pendekar di tanah Jawa berusaha melawan Belanda dengan ‘kesaktian’ dan  “ilmu kanuragan” yang mereka miliki.

Secara garis besar, tarian kuda lumping terdiri dari empat bagian atau fragmen tarian, yaitu 2 kali tari Buto Lawas serta  tari Senterewe dan tari Begon Putri masing-masing satu kali.

Tari Buto Lawas pada umumnya dipentaskan oleh  4 sampai 6 orang penari pria yang menari dengan menunggangi kuda (yang terbuat dari anyaman bambu) dan diiringi alunan musik. Uniknya, sering sekali para penari tarian Buto Lawas ini  mengalami kesurupan. Hal ini juga menjadi salah satu ciri tarian kuda lumping.

Biasanya, disela-sela tarian Buto Lawas dengan tarian berikutnya dimunculkanlah atraksi-atraksi yang bernuansa magis, seperti makan beling dan pamer kekebalan tubuh.

Setelah tarian Buto Lawas dan atraksi khas kuda lumping berlalu, dipentaskanlah tari Senterewe. Tarian ini pun pada umumnya dimainkan oleh penari laki-laki. Namun penari wanita juga sudah diperbolehkan tampil dalam tarian ini, bergabung dengan para penari laki-laki.

Pada bagian terakhir tarian kuda lumping, lima atau   enam orang wanita tampil membawakan tari Begon Putri. Karena yang memainkannya kaum wanita, maka gerakan-gerakan dalam tarian yang menjadi tarian penutup ini lebih santai dan lembut dibandingkan tarian-tarian sebelumnya.

Tarian Kuda Lumping sebagai seni budaya yang lahir dari rakyat memiliki perangkat musik pengiring yang terbilang sederhana. Alat-alat musik yang mengiringi tarian kuda lumping adalah kendang, Gong, kenong dan slompret. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari sebuah karya seni yang lahir dari ‘rahim’ rakyat kebanyakan, karena baik dimasa feodal maupun kolonial mereka tidak mempunyai kapasitas untuk mengkreasi produk kesenian yang kompleks dengan segala atribut yang mewah seperti halnya kesenian yang lahir dari kalangan ningrat atau bangsawan.

Seni kuda lumping yang kini sarat dengan nuansa hiburan, juga memunculkan respon negatif dari kalangan agama yang puritan. Mereka menganggap seni kuda lumping sebagai kesenian yang mengandung unsur musyrik karena menampilkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia magis dan roh halus. Meskipun tidak jarang atraksi kuda lumping diiringi dengan sajak-sajak yang isinya mengandung ajakan  untuk mengabdi pada Tuhan.

Sebagai sebuah karya seni yang berasal dari ekspresi perlawanan rakyat jelata terhadap penindasan kaum elit feodal dan kolonial, tarian kuda lumping sangat relevan dijadikan sebagai salah satu media perlawanan rakyat terhadap imperialisme beserta elit kompradornya di dalam negeri  pada masa kini. Pergolakan rakyat secara revolusioner yang terjadi di jantung kapitalisme liberal seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa kini, dengan simbolisasi pendudukan (occupy) simbol-simbol kapitalisme seperti Wall Street harus membuka mata kita bersama bahwa untuk merubah sistem yang gagal ini dibutuhkan intensitas perlawanan yang tiada henti dari kita sebagai rakyat yang sadar. Dan seni kuda lumping sebagai simbol occupy rakyat jelata terhadap kaum elit yang anti rakyat dapat dijadikan salah satu media perlawanan sekaligus penyadaran bagi rakyat yang belum sadar, agar merekapun turut  kerasukan “roh perlawanan” untuk merubah sistem yang gagal dan menindas ini.

(Dari berbagai sumber)

Tulisan ini dimuat dalam rubrik Sisi  Lain situs BERDIKARI ONLINE*)

**) Penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan alumnus Antroplogi Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung.

 

Tinggalkan komentar

Information

This entry was posted on Desember 13, 2013 by in Suara Umum.

Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

Bergabung dengan 50 ribu pelanggan lain

Visitors

free counters