Brunch (Chapter 4)

brunch

BRUNCH

“When we’re together, nothing can be better…”

By

PSEUDONYMOUS

CAST: 2PM’s Nichkhun & SNSD’s Tiffany || GENRE: Family & Life || LENGTH: Chapter || RATING: G || DISCLAIMER: Inspired by Benny and Joon (1993) & Grave of the Fireflies (1988)

PREVIOUS PART:

PROLOGUECHAPTER 1 CHAPTER 2CHAPTER 3

CHAPTER 4

Tiffany tersentak di atas tempat tidur dan terbangun dengan dada berdebar. Ia mendengar suara-suara itu lagi. Sirene ambulance, deru mobil polisi, hujan. Tiffany mendekap kedua telinganya erat-erat dan bergerak dengan gelisah di atas tempat tidur hingga mengacaukan seprainya. Gadis itu menggelengkan kepala dan menjerit-jerit kecil kesakitan. Suara-suara itu menyiksanya dengan sangat dan membuat bulu-bulu halus di tengkuknya meremang.

Tiffany membuka kelopak matanya lebar-lebar dan memerhatikan sekitarnya. Ia merasa harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya. Apa saja.

“Khun!” jeritnya kesakitan. “Khun!”

Dengan langkah terseret-seret, Tiffany turun dari tempat tidur menuju ruang TV. Ia berteriak lagi, memanggil nama kakaknya lebih keras.

“Khun!”

Tapi tidak ada siapapun di situ. Tubuh Tiffany menggigil ketakutan. Bahunya terasa dingin, lututnya bergetar seperti agar-agar, dan telapak tangannya dibanjiri keringat dingin.

“Khun!”

Ia bergerak lagi. Mencari di dapur, melongok ke ruang tamu, tapi tidak menemukan siapa-siapa. Akal sehatnya mulai tidak bekerja, justru didominasi oleh kemungkinan terburuk—halusinasinya. Nichkhun, kakak laki-lakinya, satu-satunya anggota keluarga yang ia punya, telah meninggalkannya sendiri. Memikirkan hal pahit itu membuat air mata Tiffany jatuh. Gadis itu menangis dengan suara terisak sambil terus memanggil nama kakaknya.

“Khun. Khun,” suaranya terdengar lebih pelan, cenderung putus asa.

Masih dengan menyerukan nama kakaknya, Tiffany berjalan keluar rumah seperti mayat hidup, menuju trotoar jalan. Sendirian.

 Nichkhun mengamuk di lengan Taecyeon layaknya orang kesetanan, sementara pria itu terus menyeretnya dengan kasar keluar dari bengkel. Begitu Taecyeon berhasil menyingkirkan Nichkhun dari sana, pria itu mendorong Nichkhun lalu melayangkan sebuah tinju keras pada mulut sahabatnya hingga Nichkhun terpelanting jatuh ke trotoar jalan.

Satu pukulan itu menghasilkan sebuah robekan kecil pada salah satu sudut bibir Nichkhun dan berhasil membuat pria itu berhenti menangis dan mengamuk.

“Sudah tenang sekarang?” kata Taecyeon terengah.

Nichkhun menatap Taecyeon sekilas dan memalingkan wajah. Badannya masih bergetar dan basah oleh keringat. Matanya bengkak luar biasa dan memerah.

Dengan penuh rasa iba, Taecyeon berjongkok di sebelah Nichkhun dan menyentuh pundak sahabatnya. “Khun, dengarkan aku, aku rasa panti rehabilitasi itu memang jawaban yang tepat untuk Tiffany. Ini demi kebaikanmu dan Tiffany, kau harus tahu itu.”

Nichkhun menyingkirkan tangan Taecyeon dengan kasar dari pundaknya dan menatap pria itu tajam. “Jangan menasihatiku soal adikku. Aku tahu apa yang terbaik untuknya.”

“Khun, apa kau tidak sadar bahwa kau membuang banyak waktumu hanya untuk merawat adikmu? Mengapa kau tidak sadar-sadar juga? Berikan waktu untuk dirimu sendiri! Kau pantas mendapatkannya!”

Nichkhun mendorong tubuh Taecyeon dengan kasar dan berteriak penuh marah, “Kau benar! Aku memang banyak menyia-nyiakan waktuku hanya untuk merawat adikku yang sakit. Tapi aku tidak akan pernah menyesalinya. Bahkan jika Tuhan menawarkan kehidupan kedua kepadaku, aku tidak akan menukarkan Tiffany dengan siapapun. Tiffany adalah sumber kebahagiaanku dan aku tidak akan menukarnya dengan kebahagiaan seperti apapun.”

Taecyeon menelan ludah. Ia telah kalah telak di bawah sepasang mata yang bercahaya penuh marah—juga bisa berubah penuh sayang dan meneduhkan jiwa. Taecyeon tergagap-gagap, ingin mengucapkan maaf atas kelancangannya, namun Nichkhun telah duluan berbalik dan pergi meninggalkannya.

 Langit berubah jingga. Kawanan burung terbang pulang ke sarang masing-masing. Begitu pula dengan Nichkhun yang berjalan dengan terseok-seok menuju rumah. Pejalan kaki lainnya yang berpapasan dengannya menatapnya aneh, juga iba. Nichkhun masih saja menangis tanpa suara. Air matanya terus jatuh ke atas trotoar, meninggalkan titik-titik basah di atasnya. Pria itu merasa rongga dadanya disesakki oleh beragam rasa yang menyiksa—kesedihan, putus asa, kecewa, dan marah.

Segenap rasa kerinduan tiba-tiba muncul dari dasar hatinya. Nichkhun merindukan kedua orangtuanya, terutama sang Ibu. Di saat-saat menyedihkan seperti ini, Nichkhun selalu ingat akan dekapan hangat ibunya dan suara wanita itu yang berdengung pelan di telinganya, menyanyikan lagu-lagu masa kecilnya hanya sekadar untuk menenangkan jiwanya yang sedang gundah. Dekapan sang Ibu akan selalu menjadi tempat terakhir di mana ia bisa mencari tempat yang paling aman untuk bersembunyi atau menyembuhkan diri dari segala permasalahan hidup.

“Khun.”

Nichkhun menyeka air matanya dan merinding. Ia merasa baru saja mendengar suara ibunya memanggilnya. Ia juga bisa merasakan sosok wanita itu sedang berdiri tidak jauh darinya. Pria itu mendongak dengan suara terisak, lalu melihat sosok itu berdiri tiga meter jauhnya di hadapannya. Itu ibunya. Namun dalam potret yang lebih muda, segar, dan lebih cantik yang berwujud pada sosok adik perempuannya, Tiffany.

Keduanya saling bertukar pandang dalam diam, dibungkus oleh kecanggungan dan rasa terkejut menemui diri masing-masing dalam keadaan tidak seharusnya. Nichkhun melirik sepasang kaki telanjang Tiffany yang kotor di atas trotoar, lalu melihat wajah adiknya yang bengkak dan lembab karena tangis.

“Tiffany,” gumamnya.

Tiffany menghampiri kakaknya dengan langkah dramatis. Begitu ia berdiri tepat di depan wajah Nichkhun, matanya menangkap darah kering kecoklatan yang mengerak di sudut bibir Nichkhun, lalu menangis tersedu-sedu.

“Apa yang terjadi?” isaknya sembari menyentuh dagu kakaknya.

Nichkhun menatap sepasang mata milik ibunya yang kini diwariskan—yang masih sama indahnya—pada Tiffany dan seketika air mata itu jatuh lagi tanpa isak. “Aku jatuh,” jawabnya berbohong.

Tiffany menangis lebih keras dan memeluk Nichkhun erat-erat. Nichkhun melingkarkan kedua lengannya di pinggang Tiffany dan membenamkan wajahnya di leher dan rambut Tiffany, kemudian ikut menangis dengan suara terisak. Nichkhun merasa damai dan tentram selama di pelukan adiknya untuk beberapa saat. Ia baru menyadari bahwa Tiffany sangat mirip dengan ibunya lebih dari yang ia duga.

Setelah merasa jauh lebih tenang, keduanya saling melepaskan pelukan. Nichkhun menyeka air mata Tiffany dan berkata penuh sayang, “Apa yang kau lakukan di sini? Tidak seharusnya kau berada di luar sendirian.”

“Aku mencarimu,” kata Tiffany dengan suara tersendat oleh isakan yang tersisa.

Nichkhun tersenyum lembut. “Aku di sini sekarang.”

Tiffany balas tersenyum, namun wajahnya berubah sedih lagi. “Aku ingin buang air kecil,” rengeknya manja.

Nichkhun mendongak ke seberang jalan. “Rumah kita masih beberapa blok dari sini, kau masih bisa menahannya sebentar, kan?”

Tiffany mengangguk kecil.

Nichkhun segera membungkuk di depan adiknya, lalu gadis itu melompat ke atas punggung Nichkhun. Pria itu kemudian mulai berlari menuju rumah, secepat yang ia bisa.

Jaekyung memarkir Kia Picanto-nya dengan asal di depan bengkel dengan terburu-buru. Tirai-tirai malam mulai turun dan begitu pula pintu bengkel yang satu per satu mulai digembok. Jaekyung melompat turun dari mobil, lalu mencari-cari Nichkhun di antara pekerja-pekerja bengkel lainnya yang keluar dari dalam sana. Di mana dia?

Jaekyung menggigit bibirnya. Ia mendesah kecewa setiap kali gagal menemui Nichkhun di antara pria-pria itu. Satu orang terakhir yang tampak keluar dari dalam bengkel adalah seorang yang dikenalinya—Taecyeon.

“Taecyeon!” Jaekyung berseru kearah pria itu dan melambaikan tangan.

Pria itu melihatnya, tersenyum, lalu menghampirinya.

“Kau datang di saat yang tidak tepat,” kata Taecyeon penuh sesal.

Jaekyung menaikkan sebelah alisnya. “Apa?”

Taecyeon menunjuk Kia Picanto Jaekyung, lalu mengedikkan dagu kearah bengkel yang sudah gelap dan sepi. “Kami sudah tutup.”

“Oh,” Jaekyung tertawa kecil dan menggeleng, “aku datang kemari bukan ingin memperbaiki mobil.”

“Lalu?”

Jaekyung terdiam penuh ragu.

Taecyeon mengangkat dagunya, “Ah,” serunya ringan, “Nichkhun?”

Jaekyung mengangguk malu-malu.

Taecyeon tersenyum maklum, namun senyum itu berubah menjadi senyum yang dipaksakan. “Dia sudah pulang duluan.”

“O ya?”

“Kau tahu, adiknya,” Taecyeon berdeham, “tidak bisa ditinggalkan sendirian lama-lama.”

Jaekyung tertunduk sedih dan dihinggapi rasa sesal yang menekan tengkuknya dengan berat.

“Dia juga telah dipecat oleh atasanku.”

Kali ini Jaekyung mengangkat kepalanya lagi dengan ekspresi terperanjat. “Dipecat? Tapi, kenapa?”

“Dia membuat kekacauan hari ini dengan memukuli atasanku. Atasanku mengatakan sesuatu yang buruk tentang adiknya, jadi…”

Jaekyung menenggak ludahnya dengan pahit. Ia merasa sedikit beruntung dan bersyukur, mengingat Nichkhun tidak sampai menghajarnya waktu itu.

 Nichkhun sedang membungkuk di dalam kulkas, sibuk menentukan menu makan malamnya bersama Tiffany waktu mendengar pintu rumahnya diketuk oleh seseorang. Pria itu mendongak, lalu berlari kecil menuju pintu.

“Tunggu sebentar,” teriaknya pelan ketika pintu itu diketuk lagi.

Nichkhun memutar kunci, lalu memutar knop pintu dan membukanya.

“Hai.”

Nichkhun mengerjap-ngerjapkan mata. “Ha-hai,” balasnya ragu-ragu. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Jaekyung tersenyum manis, lalu berseru, “Ta-da!” Ia mengeluarkan sebuah kantung plastik berisi makanan yang dibelinya di restoran Cina dari belakang punggungnya.

“Apa ini?” tanya Nichkhun.

“Makan malam,” sahut Jaekyung, tersenyum, “untukku, kau, dan Tiffany.”

Nichkhun mengangkat kedua alisnya bingung.

“Hitung-hitung sebagai permintaan maafku soal ucapanku yang kemarin,” lanjut Jaekyung.

Nichkhun tidak bereaksi untuk beberapa detik, namun seulas senyum lalu tergambar dengan jelas di bibirnya.

“Masuklah.”

“Di mana Tiffany?” tanya Jaekyung seraya meletakkan kantung plastiknya di atas meja.

“Tiffany?” Nichkhun menengadah ke lantai atas, “Mungkin sedang berada di kamarnya. Tidur atau menggambar.”

“Hm,” Jaekyung mengangguk-angguk. “Kita harus mengajaknya makan malam bersama.”

“Tidak usah,” suara Nichkhun teredam di dalam lemari gantung—pria itu sedang mencari-cari piring untuk menyalin makanan mereka, “Tiffany tidak begitu suka diganggu saat sedang tidur atau menggambar. Dia bisa sangat marah dan mengamuk, karena tidur dan menggambar itu rutinitas yang sangat penting untuknya. Jika dia lapar, dia pasti akan datang ke dapur.”

“Hm,” Jaekyung mengangguk-angguk lagi. “Ngomong-ngomong, apa yang terjadi padamu?” tanyanya saat Nichkhun meletakkan dua piring ke atas meja.

Nichkhun mengangkat wajah. “Apa?”

“Itu,” Jaekyung menyentuh sudut bibirnya sambil menuding punya Nichkhun.

“Oh,” Nichkhun tersenyum samar sembari menyentuh luka kering pada bibirnya, “biasa, laki-laki,” ujarnya berusaha terdengar seolah itu hal biasa.

“Kau berkelahi,” gumam Jaekyung sedih.

Nichkhun diam saja. Entah tidak mendengarnya atau sedang berpura-pura.

“Taecyeon sudah menceritakannya kepadaku,” lanjut Jaekyung, “Aku turut menyesal.”

Nichkhun tersenyum kaku. “Aku baik-baik saja. Aku masih bisa mencari pekerjaan yang lebih baik.”

Jaekyung menatap Nichkhun iba, kemudian mengulurkan lengan untuk meraih tangan Nichkhun. Digenggamnya tangan pria itu. Hangat. Nichkhun mendelik dengan gugup kearah tangannya yang telah digenggam erat. Jaekyung berdiri dari duduknya dan melayangkan satu tangannya lagi untuk menyentuh pipi Nichkhun. Wanita itu berjinjit kearahnya, lalu…

Prang!

“Apa itu?” pekik Jaekyung terkejut.

Nichkhun mendongak ke atas tangga. “Tiffany.”

Tiffany meremas seprai tempat tidurnya hingga kusut dan menjerit dengan suara tertahan. Suara-suara itu terdengar lagi dan kali ini terdengar lebih kencang dan jelas. Sirene ambulance, deru mesin mobil polisi, suara-suara polisi dan petugas rumah sakit yang berseru, suara derai hujan yang mengguyur kota. Semuanya sangat jelas dan mengantar Tiffany ke malam itu. Malam yang tidak ingin diingat-ingatnya lagi.

Gadis itu meronta di atas tempat tidur, menutup kedua telinganya dengan tangan. Ia mulai menangis seperti orang kesakitan. Tiffany terjatuh dari tempat tidur dan mengulurkan tangan ke sekelilingnya, menggapai-gapai sesuatu. Tangannya berhasil menangkap leher lampu tidur di atas meja. Dengan marah, Tiffany mengangkat lampu tidur itu, lalu melemparnya ke dinding kamar hingga pecah berantakan di atas lantai.

Suara pecahan itu rupanya cukup membantu untuk menghalau suara-suara di kepalanya. Tiffany bergerak dengan putus asa ke sekeliling kamarnya, mencari-cari barang lain yang bisa dihancurkannya—apa saja, asal itu bisa membuat suara-suara itu pergi atau hilang sejenak dari kepalanya.

Tiffany mendorong seluruh barang-barangnya—kotak pensil, buku-buku gambar, lampu belajar, gelas, semuanya—hingga jatuh dari meja. Prang. Pecah lagi. Tiffany tidak berhenti sampai di situ. Ia mencari lagi, lalu menemukan sebingkai foto lama keluarganya. Foto itu hitam-putih, tidak fokus hingga wajah kedua orangtuanya tidak tampak jelas di sana, namun Tiffany masih bisa mengenali senyum canggung Nichkhun yang tidak disuka difoto, dan seringai lucu dirinya yang menggemaskan di masa kecil.

Tiffany menyambar foto itu, hendak menghempaskannya ke atas lantai, namun digagalkan oleh cengkeraman erat sebuah tangan pada pergelangan tangannya. Ia berbalik dan melihat Nichkhun di sana.

“Lepaskan!” jeritnya kesakitan.

Nichkhun merampas foto itu darinya dan meletakkannya ke atas meja. “Tiffany, tenanglah!”

Tiffany menggeleng-geleng dan terus menangis. Suara-suara itu semakin menyiksanya dari dalam. Ia mendorong Nichkhun dengan kasar, lalu memungut gunting di lantai. Nichkhun mundur dengan khawatir saat Tiffany mengacung-acungkannya ke udara.

“Katakan, di mana orangtuaku?” seru Tiffany marah.

“Fany, ini aku, Nichkhun,” kata Nichkhun dengan was-was. Ia bergerak dengan waspada sambil sesekali melirik sekilas kearah gunting yang dipegang Tiffany. “Sekarang, lepaskan gunting itu.”

“Tidak! Katakan terlebih dahulu, di mana orangtuaku? Di mana kau menyembunyikannya?”

Jaekyung muncul di luar kamar dengan terperangah. Ia memerhatikan seekitarnya yang kacau dan merasa harus melakukan sesuatu.

“Khun, menyingkir dari situ,” teriak Jaekyung. “Biar kutelepon rumah sakit untuk membantunya.”

“Tidak!” balas Nichkhun berteriak. “Aku kakaknya. Aku bisa mengatasinya.”

Jaekyung tidak peduli. Ia berlari ke lantai bawah dan menuju meja telepon, lalu menghubungi rumah sakit terdekat. Tiffany sempat menangkap bayangan sekilas Jaekyung yang berlari ke bawah tangga dan mulai marah lagi.

“Siapa dia?” tanyanya sambil melotot. “Dia pasti yang menyembunyikan orangtuaku. Aku harus menuntutnya. Aku harus menuntutnya.”

“Tiffany, jangan!” Nichkhun menahan lengan Tiffany yang masih memegang gunting dan menahan pinggangnya untuk mengunci pegerakannya. “Tiffany, tenanglah,” katanya dengan suara tersedak.

Tiffany menjerit lagi, menangis sekuat-kuatnya, dan mencoba melepaskan diri. Namun Nichkhun dengan sabar mengkokohkan diri, tidak melepaskan adiknya ke manapun.

Tidak berselang lama kemudian, suara ambulance terdengar dari luar rumah. Kedua kakak beradik itu terdiam beberapa saat, lalu kekacauan yang sebenarnya pun dimulai. Suara yang didengar Tiffany menjadi nyata dan semakin dekat. Dan gadis itu semakin menggila. Suara-suara langkah kaki terdengar masuk ke dalam rumah dan Nichkhun mulai panik. Pria-pria berseragam putih muncul di depan pintu, disusul oleh Jaekyung yang berlari-lari kecil dengan khawatir di belakang mereka.

“Biar kami yang menanganinya,” kata salah seorang dari mereka.

Nichkhun mencengkeram lengan Tiffany lebih kuat. “Tidak. Jangan bawa adikku ke mana-mana.”

“Kami hanya ingin membantu.”

“Tidak, biar aku. Aku kakaknya!”

“Serahkan dia pada kami.”

“Dia tidak tahu apa-apa!” teriak Nichkhun putus asa. “Jangan sentuh adikku. Dia sakit! Dia tidak tahu apa-apa!”

Seorang pria berhasil menangkap lengan Tiffany dan terjadi saling merebut antara Nichkhun dan petugas-petugas itu. Nichkhun bersikeras tidak ingin melepaskan Tiffany karena ia tahu adiknya akan dibawa ke mana. Dan Nichkhun tetap mengharamkan tempat itu untuk Tiffany.

Sayangnya, pertarungan itu dimenangkan secara tidak adil oleh para petugas yang menang jumlah. Seorang petugas menahan tubuh Nichkhun sementara yang lainnya berusaha melepaskan dan menenangkan Tiffany. Nichkhun menangis, memberontak. Begitu pula Tiffany.

Tiffany mengulurkan tangan kearah Nichkhun dan menangis ketika mereka mulai menyeretnya keluar. “Khun!”

Nichkhun balas berteriak, memanggil nama adiknya. “Lepaskan dia! Dia tidak tahu apa-apa! Aku mohon!”

Tidak satupun petugas itu mendengar perpisahan yang memilukan itu dengan saksama. Mereka hanya memasang wajah datar dan menyeret untuk memisahkan keduanya sebagai kewajiban mereka tanpa mementingkan keinginan pasien yang sebenarnya. Nichkhun terus mengejar petugas-petugas yang membawa adiknya itu sampai ke pekarangan, tepat di mana ambulance itu berada. Namun perjuangannya menjadi sia-sia begitu pintu ambulance ditutup dan membawa pergi adiknya ditelan kepekatan malam.

Nichkhun jatuh dengan lemas di atas trotoar dan menangis dengan suara pilu. Jaekyung berdiri di depan pintu dengan cemas tanpa tahu harus berbuat apa. Ada banyak perasaan berkecamuk di dadanya—perasaan bersalah, khawatir, dan takut. Wanita itu mendatangi Nichkhun, lalu berdiri tepat di belakangnya tanpa berani ingin lebih dekat lagi.

“Khun, maafkan aku. Aku hanya ingin mencoba membantu, tapi…” Jaekyung tidak melanjutkan. Nichkhun masih tetap menangis dan seperti apapun Jaekyung berusaha menjelaskannya, Nichkhun juga tidak akan mendengarkannya.

To be continued…

53 thoughts on “Brunch (Chapter 4)

  1. Huaaaa part ini kok mengharukan bgt? 😦
    hampir nangis aku bacanya..
    dan ga bisa ngebayangin gmana rasanya jd jaekyung,.

  2. Haduhh…. *NangisPakeToA*
    Sedih Amattt…, Kasihan Nickhun dan Tiffany, Harus terpisahh… :”( :”( :”(
    Sabar Aja deh Nickhun ya…

    Tp buat FF nya 10 Jempol Deh…
    Daebak^^

  3. mengharukan….
    kasian saat khun yang sangat menyayangi adiknya harus dipisahkan secara paksa seperti itu.
    aku lanjut

  4. Ooo ga tau harus gimana
    Kasian Khun nyaa
    Tp sebenernya bagus jg sih, siapa tau kondisi Fany bisa lebih baik kalau dibawa ke panti rehabilitasi
    Makin seru ceritanya~

  5. mungkin benar nichkhun terlalu keras kepala, walau bgaimanapun tiffany harus segera diobati tapi aku sedih juga mereka harus berpisah hiks.

    -khunfany REAL-

Don't be a silent reader & leave your comment, please!